Senin, 23 Desember 2024

DISKUSI TERORISME; Bangsa Karut-marut Munculkan Terorisme

Baca Juga

Persoalan kebangsaan yang karut-marut dinilai menjadi salah satu sumber munculnya terorisme. Pelaku terorisme frustrasi dengan kondisi negara sehingga melakukan perlawanan untuk mewujudkan kondisi ideal yang mereka cita-citakan.

Persoalan kebangsaan yang karut-marut dinilai menjadi salah satu sumber munculnya terorisme. Pelaku terorisme frustrasi dengan kondisi negara sehingga melakukan perlawanan untuk mewujudkan kondisi ideal yang mereka cita-citakan.

”Mereka beranggapan, solusinya adalah dengan menegakkan syariat Islam,” ucap Subkhi Ridho, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Islam dan Politik Yogyakarta, dalam diskusi buku Politik Para Teroris, Rabu (10/3) di Multiculture Campus Realino Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Subkhi mengatakan, terorisme di negara ini muncul karena beberapa kelompok Islam merasa dianaktirikan negara, padahal Islam menjadi agama mayoritas. Perasaan dianaktirikan ini misalnya pranata kehidupan negara dan masyarakat tidak didasarkan pada syariat Islam. Mereka beranggapan, kehidupan di masyarakat yang semakin mengarah ke sekuler, liberal, dan pluralis-me telah menyalahi hukum Tuhan.

”Bila dilihat secara global, terorisme muncul akibat kesenjangan Utara-Selatan di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Ada hegemoni begitu kuat dari negara-negara Barat, ditambah lagi penerapan standar ganda oleh negara-negara itu, seperti isu HAM, seolah-olah mereka pembela HAM, tetapi, misalnya, ketika di Irak, mereka dinilai berlaku sebaliknya. Kondisi-kondisi seperti memunculkan frustrasi dan membuat gerakan Islam radikal semakin menggeliat,” katanya.

Subkhi mengatakan, gerakan Islam radikal ada sebelum era kemerdekaan, diawali dengan munculnya Sarekat Islam, kemudian berlanjut dengan gerakan DI/TII, hingga peristiwa pengeboman Candi Borobudur tahun 1980-an oleh Komando Jihad. Setelah era reformasi 1998, organisasi gerakan radikal Islam berbasis kultural tumbuh menjamur.
”Agendanya lebih ke motif- motif politik, bukan alasan religius. Cita-citanya adalah penegakan negara Islam, penerapan syariat Islam yang kini di beberapa daerah sudah diberlakukan,” ungkapnya.

Aktif dialog

Menurut Subkhi, untuk mencegah munculnya embrio-embrio baru gerakan radikal Islam, perlu dilakukan pemahaman agama yang tepat dengan melakukan dekonstruksi syariah dan kontekstualisasi agama. ”Harus aktif dilakukan dialog, seminar, pertemuan informal dengan yang berbeda, baik agama, etnis, budaya, maupun aliran,” ujarnya.

Lilik Krismanto, aktivis Lingkar Muda, mengatakan, hampir tiap agama memiliki kelompok- kelompok garis keras. Ini misalnya gerakan-gerakan perlawanan di Amerika Latin. (RWN/Kompas cetak)

 


 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya