Jika ucapan itu masuk akal dan didukung oleh argumen yang rasional serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits Nabi, maka mengapa patut dibuang dan ditinggalkan. (Iamam Al Gazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal, hlm. 45-46)
Pada tanggal 03 Februari 2019 lalu saya diundang oleh Jaringan Gusdurian, untuk bicara dalam acara FGD bertema : “Perempuan dan Eksklusivisme Beragama”. Tema ini diambil untuk didiskusikan kembali, sebagai respon atas penolakan sebagian kaum muslimin terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang tengah dibahas di DPR RI.
Ada sejumlah alasan penolakan atasnya. Yang paling mengemuka dan terus disuarakan adalah bahwa RUU tersebut membuka pintu perzinaan, seks bebas atau prostitusi. Para konseptor dan pendukungnya telah memberikan penjelasan bahwa RUU ini difokuskan pada soal “Kekerasan Seksual”. Sementara soal zina sudah ada dalam UU yang lain. Dan adalah tidak mungkin para anggota Legislatif yang mayoritas mutlak adalah muslim menghalalkannya.
Terlepas dari debat panjang soal itu, ada satu hal yang sempat disampaikan mereka yang menolak. Yaitu bahwa RUU tersebut merupakan agenda kaum feminis. Feminisme menurut mereka adalah produk Barat yang sekuler. Dan Barat itu “Liberal” sebuah terma yang mengandung makna stigmatik: sesat, liar dan menyimpang dari norma sosial dan agama. Jadi RUU P-KS itu menurut mereka harus ditolak, di samping mengandung bahaya yang mengancam norma agama, juga didalangi oleh pemikiran feminisme yang berasal dari Barat yang non Islam.
Nah, isu yang terakhir ini menjadi problem krusial kita. Jika kita menolak pandangan orang hanya karena dia “orang lain”, maka inilah yang disebut pandangan dan sikap eksklusiv. Eksklusivisme biasanya didefinisikan sebagai paham yang memisahkan diri dari pandangan umum. Paham ini menutup diri dari masuknya paham orang lain dan kokoh dengan pahamnya sendiri.
Sikap mempertahankan pendapat sendiri sebagai paling benar dan baik, sejatinya tidak masalah. Adalah hak setiap orang untuk meyakini suatu paham baik dalam dimensi agama maupun non agama. Tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya. Tetapi mengharuskan atau memaksakan orang lain mengikuti pendapatnya dengan keyakinan bahwa pendapat dirinya sebagai satu-satunya kebenaran dan yang lain itu sebagai kesesatan dan harus diperangi adalah suatu kebodohan dan kekeliruan besar. Cara pandang ini bisa disebut sebagai eksklusivisme ekstrim.
Pandangan Ekslusif Ektrem
Apa yang banyak terjadi dewasa ini adalah sikap eksklusif ekstrim ini. Tidak sedikit di antara kaum muslimin yang terjebak pada cara pandang ini. Kebenaran hanyalah menurut “aku”, bukan menurut “dia” atau “mereka”. Kata ini mengandung arti “orang lain” atau “liyan”. Kata “orang lain” (liyan) bisa berarti orang asing (barat), non muslim, atau orang yang berbeda ideologinya. Jadi mereka yang eksklusif hanya memercayai pendapat dirinya atau kelompok/ideologi, atau orang yang seagama saja. Sementara yang lain dipandang dengan mata curiga dan sepenuhnya salah.
Para pengikut cara pandang eksklusif ini biasanya adalah kaum tekstualis konservatif. Mereka mengerti agama melalui teks-teks agama yang dipahami secara harfiyah, literal. Mereka tidak pernah mau mempertanyakan “mengapa” begitu hukumnya?. Sebuah pertanyaan filosofis yang menukik ke dalam substansi masalah.
Cara pandang ini di samping menunjukkan pengetahuan yang dangkal, rigid (kaku), juga berpotensi menimbulkan sikap dan tindakan intoleran. Keadaan ini pada gilirannya bisa mengantarkan pada situasi ketegangan relasi antar masyarakat, konflik dan permusuhan. Situasi seperti ini bukan hanya akan merugikan Islam, tetapi juga bertentangan dengan prinsip “Tasamuh” sebagaimana diajarkan Islam dan etika kemanusiaan. Ia juga membahayakan bagi masa depan Islam dan kaum muslimin.
Cara Pandang Inklusiv
Lalu kita harus bagaimana?.Begitu tanya salah seorang peserta FGD. Saya mengatakan : Kita harus terbuka dan membentangkan hati kita terhadap pikiran-pikiran, gagasan-gagasan dan ide-ide yang baik dan bermanfaat dari siapapun dan dari manapun datangnya. Ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan (wisdom) dinyatakan Nabi sebagai “kekayaan kaum muslim yang hilang. Maka siapa saja yang menemukannya dia berhak mengambilnya”.
Al-Qur’an menyatakan bahwa “ilmu yang bermanfaat dan wisdom itu merupakan anugerah Allah yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya”. Sebelum Nabi Muhammad dan Nabi Isa lahir, anugerah Allah itu diberikan kepada Socrates, Platon dan Aristoteles.
Imam al Ghazali, yang dikenal sebagai sang “hujjah al-Islam” (argumentator Islam) dikritik habis-habisan oleh kaum fundamentalis konservatif bahwa pikiran-pikirannya terpengaruh oleh kaum filosof awal/falasifah al qudama (filosof Yunani). Terhadap hal itu al- Ghazali menjawab dalam buku otobiografinya yang terkenal “Al-Munqidz min al-Dhalal”:
إذا كان الكلام معقولا فى نفسه مؤيدا بالبرهان ولم يكن على مخالفة الكتاب والسنة فلم ينبغى ان يهجر ويترك. (المنقذ من الضلال, ص 45-46)
“Jika ucapan itu masuk akal dan didukung oleh argumen yang rasional serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits Nabi, maka mengapa patut dibuang dan ditinggalkan”. (Al-Munqidz min al-Dhalal, hlm. 45-46).
Ibnu Rusyd, filsuf, dokter dan ahli hukum, bahkan mengatakan :
فما كان منها موافقا للحق قبلنا منهم وسررنا به وشكرناهم عليه. وما كان منها غير موافق للحق نبهنا عليه وحذَّرنا منه وعذرناهم.
“Jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda (agama) dari kita, semestinya kita menerima dengan gembira dan menghargainya. Tetapi, jika kita menemukan kesalahan dari mereka, kita patut mengingatkan, memperingatkan dan menerima maafnya”.
Dua tokoh besar di atas sedang memperlihatkan pandangannya yang inklusiv atau terbuka. Inklusivis menganggap pendapat orang lain mengandung elemen kebenaran, meski kebenaran dirinya masih lebih utama. []