Fahmina.or.id, Cirebon. Cirebon kembali menjadi tuan rumah Festival Keraton Nusantara (FKN) XI, setelah 10 tahun yang lalau tepatnya pada gelaran kedua FKN di tahun 1997. Gelaran pertamanya di Yogyakarta pada tahun 1995. FKN merupakan pengembangan dari Festifal Keraton Se-Jawa yang diadakan di Solo Jawa Timur pada tahun 1992 silam.
Agenda ini salah satu bentuk eksistensi raja-raja nusantara dari berbagai penjuru nusantara.Tercatat sekitar 144 peserta dari kerajaan dan kesultanan Nusantara termasuk perwakilan kesultanan dari luar negeri seprti Malaysia, Thailand, Brunei, Philipina dan Bangsawan Amerika mengikuti acara ini.
Acara ini berlangsung lima hari, sejak tanggal 15-19 September 2017. Pertamakali dibuka oleh PRA Sultan Arif Natadiningrat S.E pada malam Gala Dinner atau malam ramah tamah kalangan raja-raja nusantara yang bertempat di Taman Air Goa Sunyaragi, Jumat malam (15/9).
Di atas kemegahan Goa Sunyaragi yang dihiasi dengan kilauan lampu menambah kesan mewah. Ratusan undangan dan peserta FKN XI dimanjakan oleh tarian-tarian tradisional Keraton Yogyakarta. Bukan hanya itu, hadirin diajak mengenal keraton Yogyakarta melalui peragaan busana-busana khas yang dikenakan para raja, ratu dan keluarganya.
Bagi sebagian hadirin kegiatan ini adalah momen yang langka di mana kita dapat secara langsung mengetahui kekhasan dari berbagai hal terkait dunia keraton nusantara seperti pakaian adat, kesenian, kebudayaan dan bahasnya.
Tim redaksi Fahmina.or.id berhasil menemui salah satu peserta FKN dari Kerajaan Wuna Sulawesi Tenggara. Kerajaan yang terletak di Bagian Utara Pulau Muna dan beribukota di Kotano Wuna kini Kecamatan Tongkuno didirikan pada tahun 1371 hingga tahun 1956. Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Raja La Eli alias Baidhuldhamani yang bergelar Bheteno Ne Tombula, kerajaan ini juga terkenal dengan pasukan perangnya yang berhasil mengusir penjah Baelanda bahkan termasuk salah satu kerajaan yang berdaulat samapai ssekarnag tanpa terjajah.
Dr. Baharudin salah satu pewaris kerajaan mengatakan, kerajaan Wuna merupakan kerajaan yang berhasil mempertahankan kedaulatannya dari penjajarhan Belanda sampai akhirnya bergabung dengan negara Kesatuan republik Indonesia yang ditandai dengan penandatanganan Perjanjian Malino pada tahun 1946.
Keikutsertaannya pada festival kali ini ingin mempererat kesatuan dan persatuan dengan para raja dan sultan se-nusantara dan masyarakatnya dalam bingkai NKRI. Pertemuan ini juga ajang memperkenalkan kembali sejarah kerajaan-kerajaan nusantara dan promosi kebudayaan kepada seluruh warga.
Baharudin juga menjelaskan, kerajaan Wuna dikenal juga sebagai Kerajaan Muna. Namun menurut Baharudin, masyarkat sekitar kerajaan sebenarnya enggan disebut dengan Muna. Karena penamaan Muna dianggap berasal dari propaganda yang dilakukan penjajah Balanda, sebgai kerajaan berdaulat tentu tidak mau menerima penamaan itu.
Keluarga kerajaan dan masyarakatnya lebih senang disebut sebagai Wuna. Penamaan ini tentu berkaitan erat dengan kesejarahan dan identitas sebuah kerjaan. Wuna bermakna bunga, penaman ini berdasar pada sejarah bahwa di daerahnya terdapat batu besar yang di atasnya tumbuh bunga yang indah yang berbunga sepanjang tahun yang kokoh seperti karang. Sehingga kerajaan itu dinamai dengan Wuna.
Selain itu ketua adat Kerajaan Wuna La Ode Sirad Imbo menyatakan apresiasinya terkait gelaran FKN XI di Cirebon kali ini, Pasalnya kegiatan ini menunjukkan betapa kaya negeri ini namun tetap terjaga persatuannya. “Festival ini akan mempersekutukan seluruh warga indonesia,” pungkas La Ode Sirad.
Ia juga berharap dapat mengembangkan dan melestarikan kebudayaan Wuna dan mengenalkannya kepada masyarakat. Salah satunya dengan keinginanya menjadi tuan rumah FKN berikikutnya. (Zen)