Minggu, 22 Desember 2024

Halal bi Halal Muhajirin, Menjaga Bebaturan hingga Menyusun Tafsir

Baca Juga

Laiknya komunitas muslim pada umumnya, halal bi halal menjadi tradisi yang membumi saat lebaran Iedul Fitri. Bulan Syawal adalah waktu yang sangat tepat bagi sementara orang, mempunyai waktu khusus untuk bertemu sanak keluarga. Begitu pun bagi warga Nadlatul Ulama (NU) di Cirebon, silaturahim menjadi ajang menjaga bebaturan antar warga NU. Hal itu seperti harapan yang terungkap dalam sambutan sohibul bayt, Affandi Mukhtar atau yang akrab disapa kang Fandi. Halal bi halal yang digelar di Pesantren al Biruni Babakan Ciwaringin pada Kamis (24/09), ini merupakan pertemuan ketiga setelah di Fahmina-Institute Cirebon pada tahun 2007 dan pesantren Kempek pada Syawal tahun 2008 (1429 H).

Halal bi halal juga dihadiri oleh KH Syarif Usman Yahya, KH Husein Muhammad, KH Wawan Arwani, lembaga-lembaga NU seperti Anshor, PC NU, NU kultural, LP Maarif, ISNU, Lakpesdam, peserta juga 100 orang dari sejumlah kota di luar Cirebon. Seperti Gorontalo, Palangkaraya, Yogyakarta, Bandung, Subang dan Indramayu.

Kendati tak ada tema khusus, pertemuan tetap mampu membangun kehangatan. Terlebih ketika banyak gagasan yang dikemukakan para peserta. “Kepada setiap peserta, agar memberikan gagasan positif demi kemajuan NU secara umum,” jelas Marzuki Wahid selaku moderator, mencoba mengarahkan forum. Ada dua point yang menjadi titik fokus pertemuan. Pertama, kontribusi warga NU Cirebon dalam muktamar NU yang akan diamanatkan melalui pengurus NU, agar tidak hanya menjadi wacana di ‘luar’ NU, tetapi bisa diperbincangkan dalam ruang muktamar.

Kedua, pesantren dan Kyai Cirebon banyak memberikan kontribusi keilmuan dalam khasanah Islam tetapi kurang dipublikasikan, maka perlu menyusun tafsir dengan perspektif yang khas, yang akan disusun oleh para Kyai Cirebon, seperti KH Usman Yahya atau biasa disapa abah Ayip, KH Husein Muhammad atau biasa disapa kang Husein, dan KH Akhsin Sakho atau biasa disapa kang Akhsin.

Bagi abah Ayip, selama ini pemikiran intelektual hanya berlaku 2 sampai 3 tahun, setelah itu dianggap out of date. Maka tafsir yang akan disusun harus memikirkan perubahan manusia di masa mendatang, itulah nilai yang harus dibangun.

Di akhir pertemuan, akhirnya muncul kesepakatan akan dibentuk tim untuk kedua gagasan tersebut. Kontribusi pada Muktamar NU 2010 di Makassar dan tim penggagas tafsir Kyai Cirebon. Selamat untuk seluruh warga NU.(Alip)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya