Idul Fitri banyak melahirkan pesan dan hikmah bagi umat manusia. Dalam kacamata ubudiyah maupun mu’ammalah semua dapat dimaknai secara jelas, melalui rangkaian sakral peringatan raya umat Islam setelah bulan Ramadlan ini. Melalui pemaknaan Idul Fitri sebagai media silaturrahmi, saling memaafkan, dan ajang kunjung antar sanak keluarga, tentu dapat diluas-jabarkan sebagai bentuk persaudaraan dan hari kepedulian seluruh manusia secara lebih universal. Dalam arti lain, Idul Fitri juga dapat dibangun sebuah makna tentang peningkatan kepedulian antar sesama, dibuktikan dengan diperintahkannya zakat fitrah sebagai bentuk perpanjangan sikap toleransi dan solidaritas dalam jejaring kadar kemanusiaan. Jadi, Idul Fitri benar-benar harus dijadikan sebagai wahana penguatan peran manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, peduli, dan saling melindungi.
Ke-Idulfitri-an Indonesia
Terdapat tiga momentum unik dalam perayaan Idul Fitri di Indonesia. Pertama momentum spiritual, yakni pemaknaan Idul Fitri secara keagamaan, dalam arti Idul Fitri masih ditempatkan dalam titik nilai ibadah manusia terhadap Tuhannya, berupa hari kemenangan dengan gema-gema takbir yang disunahkan. Kedua sebagai momentum kultural, inilah ciri khas Idul Fitri di Indonesia, di mana masyarakat urban saling berbondong untuk menuju kampung halamannya kemudian berbagi keluh kesah dalam wahana silaturrahmi kekeluargaan. Ketiga sebagai momentum kepedulian antar sesama, melalui zakat, shodaqoh, maupun tradisi “pecingan” terhadap anggota keluarga lain. Membahas keterkaitan kuat antara momentum kultural berupa budaya “mudik” dan sarana kepedulian antar sesama manusia, ini akan sedikit teringat tentang sinyal kepedulian yang benar-benar harus ditumbuhkan dalam hari sesakral Idul Fitri ini.
Lalu bagaimanakah tentang kaum dhu’afa dalam melaksanakan gempita Idul Fitri? Ataupun saudara-saudara urban yang jauh di sana merasakan kerinduan yang sangat terhadap keluarga? Tentunya karena sebuah keterbatasan dan ketidak-mampuan, yang terbangun karena sebuah ketidakadilan yang sangat menindas mereka.
Dalam hidmat Idul Fitri seperti ini, sebelumnya nalar kemanusiaan kita sempat terhenyak oleh berita-berita tentang ketertindasan saudara-saudara buruh migran di luar sana, bahkan, di negeri tetangga mereka sekilas dijadikan korban keretakan hubungan bilateral yang bersifat kenegaraan. Atau nasib mereka yang acap kali terhina karena dalih ketidak-mampuan atau keterbatasan skill yang seharusnya mereka pahami dan sikapi jauh sebelum berangkat sebagai buruh migran. Inilah yang seharusnya kita renungkan dari raya Idul Fitri kali ini.
Buruh Migran dan suhu ketertindasan
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah {60}: 7)
Tidak terhitung banyaknya berita yang cukup mengerutkan dahi tentang nasib para buruh migran atau tenaga kerja Indonesia (TKI). Baru-baru ini sebuah koinsidensi yang tidak menyenangkan harus kembali kita terima. Dua warga negara kita yang bekerja di Malaysia akan segera menjalani hukuman gantung karena terlibat kasus narkorba. Pelaksanaan hukuman itu dilakukan di saat Polis Diraja Malaysia baru saja menerabas masuk wilayah perairan Indonesia, menangkap tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan, dan baru melepas petugas itu setelah dibarter dengan tujuh maling ikan asal Negeri Jiran itu yang ditangkap petugas DKP.
Selain sebelumnya masalah-masalah klasik seperti upah yang tidak dibayarkan, jam masa kerja yang tak sesuai nalar kemampuan manusia, atau perilaku-perilaku penganiayaan dan sikap yang tidak layak hampir selalu menyandangi mereka. Lalu apa lagi setelah ini? Lagi-lagi perhatian, perlindungan, serta pembelaan terhadap mereka harus kembali dibangun-kuatkan oleh kita sendiri, agar mereka mampu bangkit dan beranjak dari segenap ketertindasan.
Ketegasan sikap pemerintah adalah tonggak utama untuk pencerahan masa depan para buruh migran. Setelah itu kerjasama antarkomponen masyarakat harus benar-benar terbangun, ditambah lagi dengan peningkatan kemampuan dan bekal buruh migran sebelum memasuki pergulatan pemenuhan ekonomi lintas negara tersebut. Perputaran tiga poros kebangkitan buruh migran tersebut masih terasa sangat lemah di negeri ini. Karena memang kurangnya keterbukaan akses informasi yang sangat mendukung dan dibutuhkan merekapun tampak sebagai kendala utama dalam lingkaran ketergantungan di atas.
Melalui raya sakral nan fitri ini, masalah ketertindasan para buruh migran harus mencoba diangkat untuk menjadi wacana yang lebih universal dan menyeluruh. Sehingga kepedulian berbagai kelompok penopang keterbangkitan para pejuang devisa, ini benar-benar terwujud dengan kokohnya. Sampai pada suatu titik, para buruh migran dapat memperoleh sebuah kemenangan yang semakin fitri, terutama ketika mereka dipaksa harus tercekik kerinduan memluk bangsa dan keluarga, dalam derai keharuan hari raya Idul Fitri.
“Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. As-Syu’aro {42}: 23)[]
*) Penulis adalah Staff Pengajar/Pengurus Pondok Pesantren Majlis Tarbiyah Hidayatul Mubtadiin Ketitang, Japurabakti, Astanajapura – Cirebon