Sejarah lahirnya Islam selalu dinisbatkan pada peristiwa pewahyuan Nabi Muhammad. Karena memang, Islam dalam artian lembaga agama dengan seperangkat syari’atnya dibawa dan dibawa pertama kali oleh Nabi Muhammad. Agama Islam berbeda dengan agama sebelumnya hingga dia membentuk peradabannya sendiri.
Peradaban Islam yang sempat mencapai kejayaannya dan hingga saat ini mencakup sebaran wilayah yang luas menggambarkan betapa tangguhnya peradaban ini. Peradaban lain boleh mengatakan bahwa peradaban Islam merupakan hasil dari ekspansi berlumuran darah. Tapi yang pasti peradaban ini menjamin keberlangsungan ilmu pengetahuan bagi semua manusia: golden bridge.
Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap Ilmu Pengetahuan. Telah diketahui bahwa Islam ada dan hadir di dunia sejak surat pertama al-‘Alaq turun kepada Nabi. Ayat itu berbunyi perintah membaca: bacalah!. Membaca terbukti secara aqli dan naqli menjadi aktifitas yang wajib dilakukan oleh seluruh umat Islam.
Islam mempunyai komitmen yang kuat untuk memelihara Ilmu Pengetahuan. Hal ini sebagaimana banyak tertulis di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Selain dalam surat al-‘Alaq, Allah dalam firmannya menggambarkan dengan sangat luas dan tegas bagaimana pengetahuan harus menjadi elan utama kehidupan. Seringkali untuk menambah ketegasan, dalam bagian terakhir ayat Allah menambahi kalimat setengah mengancam: “apakah kamu tidak berfikir?”, “apakah kamu tidak berakal?”.
Dalam hadits, Nabi mewanti-wanti pentingnya ilmu dan pengetahuan. Bahkan Nabi menandaskan bahwa menuntut ilmu adalahkewajibansemua orang. Mencari ilmu dan pengetahuan pun menjadi kewajiban seumur hidup, karena ilmu ada di manapun selagi nafas masih berhembus, selagi jantung masih berdetak.
Apa yang diajarkan oleh Nabi pada gilirannya menjadi panutan bagi generasi setelahnya. Geliat pengetahuan terus terpancang, meskipun perbedaan kepentingan politik dan kekuasaan kadang menciptakan iklim keilmuan yang tidak sehat. Ilmuwan saling serang dengan argumen pengkafiran satu sama lain. Ilmu kalam yang mempunyai madzhab tertentu merajalela dengan legitimasi ketauhidannya. Satu sama lain saling menjatuhkan dengan menuduh yang lainnya kafir dan ahli neraka.
Terlepas dari hal tersebut, keilmuan pada masa umat Islam di bawah kekuasaan Dinasti Abasyiah bisa dikatakan mencapai puncaknya. Seluruh ilmu dan pengetahuan dari berbagai wiayah diterjemahkan, dikumpulkan dan dipelajari. Untuk mewadahi itu semua, dinasti kemudian membentuk lembaga bernama “Bayt al-Hikmah”, prototipe perpustakaan di jaman sekarang.
Semua literatur dikumpulkan dalam satu tempat dengan tujuan agar semua orang terutama umat Islam bisa mempelajarinya. Pikiran dan wawasan umat Islam tidak sempit dan picik. Karena mereka tidak hidup sendiri di tengah hutan, akan tetapi hidup di tengah peradaban lain yang jauh lebih tua dan berpengalaman. Ada peradaban Yunani (Helenisme), Romawi dan Persia. Bayt al-Hikmah tidak ambil pusing dengan perbedaan agama, kesadaran pentingnya ilmu meninggalkan sentimen beda agama. Tidak ada buku kafir dan buku Islam, tidak ada pula ilmu kafir dan ilmu Islam. Ilmu itu netral tidak berjenis kelamin. Kecenderungan ilmu ada pada manusia dan kemahardikaan berfikir dan berakidahnya.
Membangun Peradaban
Membangun peradaban,berarti kembali mempelajari ilmu dan pengetahuan. Untuk memfasilitasi hal tersebut langkah yang sudah teruji sejarah adalah dengan membangun Perpustakaan. Kita sebagai orang Islam juga orang Indonesia seharusnya malu: Library of Congress (Washington DC, Amerika Serikat) yang berdiri sejak tahun 1800 M memiliki koleksi lebih dari 30 juta buku. National Library of China (Beijing, Cina) yang didirikan pada tahun 1909M memiliki koleksi 22 juta buku.
Sepertinya negara dan peradaban besar memang tidak lepas dari perpustakaannya yang besar. Lihat saja bagaimana seperti tidak mau kalah: Library of the Russian Academy of Sciences ( St Petersburg, Rusia)mengoleksi lebih dari 20 juta buku. Sementara itu, Indonesia (PNRI) Memiliki hanya sekitar sekitar satu juta koleksi buku.
Dari perbandingan di atas setidaknya kita bisa meraba-raba: “lebih banyak tahu mana, masyarakat yang mempunyai koleksi perpustakaan banyak atau yang sedikit?”, tentu jawabannya yang lebih banyak koleksinya yang “mengetahui” banyak hal. Aksi “mengetahui” pada akhirnya menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi ilmu, sistem keilmuan pada ahirnya membentuk kemajuan peradaban.
Lalu dari sedikitnya jumlah literatur di dalam perpustakaan, apakah negara kita benar-benar tidak produktif? Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena media pengetahuan Nusantara terhitung sangat banyak. Tidak hanya dalam bentuk tertulis di dalam buku, pengetahuan Indonesia tersebar dalam budaya dan tradisi. Walaupun buku-buku dan naskah dari dalam negeri juga sangat banyak.
Setelah sekian lama kita tenggelamdan selalu menjadi subordinat dari peradaban Barat. Sudah saatnyalah sekarang untuk bangkit dan merintis kembali perpustakaan sebagai agen untuk mencerahkan, membuat terang benderang peradaban yang telah lama berubah menjadi kemiskinan, kejumudan, dan kebodohan.
Perpustakaan merupakan barometer kemajuan suatu bangsa, artinya maju dan mundurnya suatu bangsa dapat dilihat dari perpustakaannya, termasuk Indonesia dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Untuk itu kita mencoba memajukan perpustakaan.Selain dalam bentuk fisik, bentuk digital pun perlu diperhatikan dengan cermat karena perpustakaan yang baik adalah yang sesuai dengan kondisi zaman di mana penggunanya hidup.
Apalagi, orang-orang besar di Indonesia umumnya adalah tukang nongkrong di perpustakaan atau dia mempunyai perpustakaan pribadi di rumahnya. Maka, perpustakaan laik menjadi lembaga yang perlu pertama kali dibenahi untuk kembali menciptakan gerakan mencerdaskan. Dengan masyarakat yang cerdaslah, peradaban dapat dibangun dengan megah. Sedikit asa dari situasi bangsa yang dilanda gelap gulita. Wallahu a’lamu.
_____________________
Abdul Rosyidi adalah mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon