Oleh: ABDULLAH FIKRI ASHRI
Ternyata bukan perkara mudah menyemai toleransi di Cirebon yang kerap dijuluki “Kota Wali”. Beruntung sejumlah anak muda kini paham hal itu sepadan untuk terus diperjuangkan.
Devida (37) dan sejumlah pemuda jatuh-bangun menyuarakan toleransi melalui Fahmina Institute. Berbagai stigma negatif menimpa mereka. Namun, mereka menolak diam dan memilih menjadi lilin di tengah gelapnya ekstremisme dan radikalisme.
Pria itu tersenyum lepas setelah Program Moderasi Beragama di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, tuntas, Sabtu (18/12/2021). Kegiatan itu digelar Forum Kerukunan Umat Beragama Cirebon dan Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.
Sekitar 20 anak muda beragama Islam dan Nasrani turut serta selama tiga pertemuan tatap muka itu. Kegiatannya berupa diskusi dan pelatihan itu dilaksanakan pagi hingga sore. Lokasinya berpindah-pindah, seperti di pendopo depan masjid, gereja, hingga wihara. Tempat ibadah itu berada dalam satu kecamatan.
”Awalnya, kami ragu enggak ada yang datang. Apalagi, dana sangat terbatas,” kata anggota staf Fahmina ini sembari menghela napas. Kekhawatiran juga membayanginya saat kegiatan serupa di Kecamatan Arjawinangun, Weru, Losari, dan Gebang. Ternyata, acara itu diminati meskipun tidak mencapai target 30 peserta setiap daerah.
Ia mafhum, isu toleransi tidak setenar info artis menikah atau cerai di media. Bahkan, tidak jarang ada kelompok tertentu yang memandang kegiatannya keliru. Pertengahan 2012 lalu, misalnya, puluhan orang mengancam menggeruduk acara bakti sosial dan pasar murah di Cangkol, Kota Cirebon.
Acara diinisiasi Pelita atau Pemuda Lintas Iman. Ada yang beragama Islam dan Kristen. Berjilbab dan bersalib, semua berkumpul. Warga setempat menyambut meriah. Anak-anak ikut bernyanyi.
”Tapi, kami digerebek orang (Islam) garis keras. Kami disebut melakukan Kristenisasi,” ingat Devida (37), Ketua Pelita saat itu.
Bersama rekannya, Rudi Ahmad (36), Devida berdialog dengan perwakilan kelompok itu, sedangkan massa menunggu tak jauh dari tempat acara. ”Kami enggak goyah dengan gerakan itu. Ada yang ngajak debat. Saya bilang, ini kegiatan sosial, keinginan masyarakat. Silakan bilang sama warga,” ungkapnya.
Potensi bentrokan pun bisa diredam. Namun, kelompok itu tetap menuding Pelita, yang juga diinisiasi Fahmina Institute, sesat. Alasannya, kegiatannya, antara lain, mengunjungi berbagai tempat ibadah. Dari masjid, gereja, hingga wihara. Padahal, aktivitas itu agar pemuda saling mengenal meski berbeda agama.
Teman pesantren Devida bahkan menganggapnya ”menyimpang” karena kerap keluar-masuk gereja. Padahal, akidahnya sama sekali tak surut. Justru semakin kuat. ”Waktu saya ke jaringan alumni, ada yang nanyain. Kamu sekarang jadi pendeta?” ucapnya menirukan ungkapan seniornya tersebut.
”Tidak ada orang yang menjelaskan Islam untuk orang di luar Islam. Sehingga, Islam dilihat dengan perspektif teroris. Saya masuk gereja itu untuk menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam),” ungkap Devida yang menambahkan ”Rohmat” di depan namanya. Katanya, supaya tidak dikira orang Nasrani.
Rawan terorisme
Soal terorisme, pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Cirebon ini tak asal bicara. Data Fahmina menunjukkan, 30 warga Cirebon pernah ditangkap terkait terorisme selama 2015-September 2021. Mereka tersebar di berbagai kecamatan, seperti Jamblang, Plered, dan Dukupuntang.
Marzuki Wahid dalam bukunya, Menggagas Fiqh Ikhtilaf, Potret dan Prakarsa Cirebon, menilai, benih-benih terorisme mulai menyebar di Cirebon pascareformasi. ”Sejak itu, tokoh-tokoh dan ormas-ormas Islam garis keras merangsek ke Cirebon. Mereka membangun basis komunitasnya di masjid, mushalah, dan majelis taklim,” tulis aktivis multikulturalisme ini.
Cirebon menjadi salah satu daerah tujuan pelaku teror, antara lain, karena karakter masyarakatnya terbuka. Marzuki bahkan menyebut, masyarakat terkesan cuek dan tidak sensitif pada ancaman terorisme. Begitupun dengan pemerintah setempat. Pesantren dan sekolah yang baru berdiri pun jadi sasaran mereka.
Kelompok ini umumnya punya ciri khas eksklusif, fanatik, dan militan. Mereka, misalnya, menutup diri dari orang di luar kelompoknya serta menebarkan kebencian. Mereka menganggap dirinya paling benar dan yang lain salah, kafir. Salah satu agenda politiknya adalah mengubah dasar negara dari Pancasila menjadi khilafah.
Pada tahap selanjutnya, gerakan ini bisa menjelma teror. Cirebon pun termasuk zona merah terorisme. Secara nasional, dari data Fahmina Institute, lebih kurang 3.000 orang pernah diperiksa terkait terorisme dalam enam tahun terakhir. Ironisnya, mereka mengatasnamakan Islam meski melukai orang lain.
Padahal, semua agama, termasuk Islam, mengajarkan perdamaian. Bahkan, menurut Program Manager Global Affairs International Committee of The Red Cross (ICRC) Novriantoni Kaharudin, hukum humaniter internasional yang mengatur hubungan manusia saat perang dan damai juga selaras dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
Prinsip untuk saling membantu sesama manusia dan kebebasan, misalnya. ”Dalam sejarah penaklukan (oleh) Islam, konversi atau pindah agama itu tidak dipaksakan. Tidak serta-merta setelah ditaklukan, mereka yang enggak mau konversi bisa dibunuh. Ini sesuatu yang maju pada zamannya, sekitar abad ketujuh,” ujarnya.
Akan tetapi, di masa modern ini, lanjutnya, nyawa manusia berjatuhan dengan dalih agama. Orang yang tidak satu keyakinan dianggap musuh. ”Ini bertentangan dengan prinsip paling klasik dalam hukum perang Islam, yakni keimanan itu tidak pernah menjadi jaminan keamanan,” ungkapnya.
Apa pun agamanya, setiap orang berhak atas keamanan, tidak mendapat paksaan dan kekerasan, serta menghargai perbedaan. ”Ini yang kami perjuangkan. Kalau tidak, kelompok yang cenderung tekstual memahami agama 10 tahun ke depan bisa semakin banyak dan jadi ekstremisme. Tahap selanjutnya, kelompok ini bisa jadi teroris,” kata Direktur Fahmina Institute Rosidin.
Visi menghargai perbedaan coba ditularkan. Mulai dari Pelita, Sekolah Cinta Perdamaian (Setaman), hingga Program Moderasi Beragama. Pemuda menjadi sasaran karena mereka bakal menjadi penerus bangsa. Tidak kurang dari 400 pemuda telah mengikuti kegiatan penguatan toleransi oleh Fahmina.
Akan tetapi, jalan terjal menyuarakan toleransi selalu menghadang. Komala Dewi (37), misalnya, ditinggalkan teman-teman satu organisasinya di kampus. Alasannya, ia bergabung dengan Fahmina. ”Katanya, aku anak organisasi dakwah yang murtad,” ucap lulusan pesantren ini.
Bahkan, rekan-rekannya itu tidak lagi menyapanya hanya karena pakaian. ”Kalau aku pakai rok, disenyumi mereka. Pas aku pakai celana panjang, mereka kayak enggak kenal,” ungkap Dewi yang aktif di Bayt al Hikmah, komunitas yang fokus pada informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas di Cirebon.
Dewi memilih acuh tak acuh menanggapi pandangan sinis tentangnya dan Fahmina. ”Aku merasa hidup lebih bermanfaat. Sampai akhir hayat aku akan menyebarkan ini (toleransi),” ucapnya.
Devida juga tidak ingin menyerah menularkan ”virus” toleransi seperti tulisan di kaos hitamnya, ”Gen Toleran”. Ia, Dewi, dan pemuda lainnya tidak peduli dengan label negatif yang ditancapkan untuknya. Mereka memilih memancarkan lilin toleransi lalu membawanya ke tempat gelap agar orang bisa merasakan cahayanya.
Sumber Tulisan: Kompas.id