Setelah lulus tes seleksi di Depnaker, saya dan sejumlah teman harus menjalani medical check-up. Proses ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan menjadi karyawan salah satu perusahaan elektronik di Malaysia. Salah seorang yang terseleksi adalah seorang ibu muda yang akrab dipanggil Mami (bukan nama sebenarnya).
Mami (38 th), seorang janda dengan dua orang anak asal Ciledug Kabupaten Cirebon, terpaksa menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia, mengais rezeki demi menghidupi kedua anaknya. Dia adalah sosok ibu yang baik, ramah dan pandai bergaul.
Jika dilihat dari usia, sebenarnya Mami sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai calon TKI di pabrik. Akan tetapi karena Mami memaksa, dibuatlah dokumen dengan mengubah usianya menjadi lebih muda. Sikap pemaksaan diri Mami tidak terlepas dari tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, sekaligus kepala keluarga (single parent) dari dua orang anaknya.
Setahun sudah dia bekerja di Malaysia, seluruh TKI diharuskan menjalani medical check-up tahunan, termasuk Mami. Selama setahun itulah, Mami selalu tampak bersemangat dan sehat. Tetapi ketika menjalani medical check-up, ternyata Mami menderita kanker payudara stadium tinggi. Atas kesepakatan dari pihak perusahaan dan dokter, akhirnya Mami dianjurkan untuk berobat jalan. Namun apa hasilnya? penyakitnya semakin parah. Hingga suatu hari Mami meninggal dunia di Malaysia.
Semangat kemandirian Mami sangat sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad SAW, Imam Al-Ghozali pun pernah mengutip nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya (505H/1111 M): “Wahai anakku, lakukanlah pekerjaan yang halal, agar kamu bisa memenuhikebutuhan kamu dan tidak jatuh miskin. Karena ketika seseorang jatuh miskin, ia akan mengalami tiga hal : Lemah agamanya, pendek pikirannya dan hilang kehormatannya. Lebih dari itu, ia akan direndahkan orang lain”
Memang kematian seseorang itu kehendak-Nya. Namun jika saat Mami medical check-up di Indonesia sudah terdeteksi gejala penyakitnya, mungkin Mami akan mengurungkan niatnya untuk pergi bekerja di Malaysia. Kalau sudah begitu kejadiannya, siapa yang harus mempertanggungjawabkan tentang kesehatan calon TKI saat mau bekerja ke luar negeri?
Terkadang atas permintaan calon TKI sendiri, meskipun hasil medical check-upnya unfit (tidak sehat). Tetapi dengan menggunakan surat pernyataan, akhirnya dibuat keterangan fit (sehat) dengan tanpa memperhitungkan risiko yang akan ditanggung nanti. Sedangkan untuk mendapatkan surat pernyataan pada umumnya menggunakan uang “pelicin” kepada pihak medical check-up. Bukankah lembaga-lembaga kesehatan yang ditunjuk untuk medical check-up telah mengetahui standar kesehatan bagi para calon TKI? Kenapa masih banyak masalah TKI yang belum terpenuhi hak-hak kesehatannya?
Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) sudah jelas bahwa calon TKI harus memenuhi syarat sehat jasmani dan rohani (UU RI Nomor 39 Tahun 2004, Pasal 35). Dalam Pasal tersebut juga dinyatakan, “Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan psikologi.” Undang-undang ini dibuat untuk menghindari segala kemungkinan buruk yang terjadi kepada TKI di luar negeri.
Perjalanan Mami adalah jihad buruh migran yang penting untuk menjadi pelajaran bagi kita semua. Mami telah berjuang keras lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi untuk kesejahteraan kehidupan diri dan keluarganya. Dia adalah seorang ibu, orang tua tunggal, dan sekaligus perempuan kepala keluarga. Belajar dari kasus Mami, kepada para calon TKI, para calo, para pemimpin perusahaan tenaga kerja, dan para pejabat pemerintah: jangan sekali-sekali memaksakan kehendak kita dengan realitas yang ada, ikuti aturan yang berlaku, jujur pada diri sendiri, tunjukkan sikap tanggungjawab kepada profesi dan kemanusiaan. Jika tidak, maka dampak yang buruk, bahkan tak terduga sebelumnya, akan menimpa kita. Semoga tidak akan ada lagi Mami-mami berikutnya. Semoga arwahnya tenang dan selalu dikenang. Semoga Mami damai di sisi-Nya. Amin. Wallahu’alam.[]