Pada awal kehadirannya, pesantren dimaksudkan sebagai institusi dengan visi profetik (cita-cita kenabian). Cita-cita ini tidak lain adalah cita-cita kemanusiaan. Ia bekerja untuk “memutus mata rantai penindasan manusia atas manusia, membebaskan manusia dari struktur sosial yang tiranik yang membodohi mereka, mengajarkan pengetahuan, dan menegakkan keadilan”. Visi ini diungkapkan secara eksplisit oleh al-Qur’an :
الَر كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Ketika saya belajar di Pesantren, Kiyai mengatakan : “Belajar dan mengaji itu untuk menghilangkan kebodohan”. Kalimat ini tampak amat sederhana memang, tetapi ia amat mendasar, prinsipal. Kebodohan adalah kegelapan. Permusuhan lebih sering akibat dari kebodohan atau ketidakmengertian. Jadi kebodohan berpotensi untuk bertindak zalim.
Dari sumber keagamaan paling otoritatif inilah, lalu para pendiri pesantren menanamkan sejumlah nilai kehidupan profetik bagi komunitanya. Ia antara lain adalah:
Keikhlasan,
Kemandirian,
Kebersamaan,
Qana’ah (menerima apa adanya atas pemberian Tuhan dan
Al-Zuhd (kebersahajaan hidup).
Pendiri pondok pesantren “modern” Gontor; K.H. Imam Zarkasyi menyebut “Panca Jiwa” :
Keikhlasan,
Kesederhanaan,
Persaudaraan,
Kemandirian dan
Kebebasan.
Keikhlasan adalah yang pertama dan utama.
Nili-nilai profetik di atas adalah merupakan karakter Pesantren yang harus selalu ada dan menyertai hidup dan kehidupan pesantren dan komunitasnya, kapanpun dan di manapun. Jika nilai-nilai ini hilang dari institusi keagamaan ini, maka ia telah kehilangan jati dirinya, kehilangan jiwanya.