Oleh: Dewi Laily Purnamasari
Profil Fahmina
Keberadaan Fahmina berawal dari pergumulan intelektual anak-anak muda yang berakar dari dunia pesantren. Ada semacam kegundahan terhadap etos sosial dan intelektual yang tidak lagi diperankan pesantren, karena penetrasi politik yang sangat dalam dan lama. Padahal, pada pendirian awalnya pesantren secara sengaja didesain untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat, sekaligus melakukan pendidikan dan pengembangan intelektual untuk kepentingan rakyat.
Yayasan ini didirikan di Cirebon pada tanggal 10 Nopember 2000 oleh Husein Muhammad, Affandi Mochtar, Marzuki Wahid, dan Faqihuddin Abdul Kodir.
Pilihan Fahmina pada awalnya adalah kerja-kerja strategis. Menyangkut pengembangan kultur dan budaya, terutama yang mewujud dalam pemahaman agama, agar menjadi landasan penciptaan cita-cita keadilan dan keberpihakan terhadap mereka yang lemah. Perempuan, sekalipun jumlahnya cukup banyak, tetapi sistem sosial yang patriarkhi menjadikan mereka sebagai obyek, dilemahkan dan rentan terhadap segala bentuk kekerasan. Tetapi kedekatan fahmina secara fisik dengan komunitas, menyulitkan fahmina untuk membuat pilihan ini secara tegas sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar.
Sejak tahun 2001, baik perempuan korban, keluarga korban atau kelompok-kelompok pendamping menuntut fahmina untuk aksi, terjun langsung dan nyata dalam mengadvokasi perempuan korban kekerasan. Sekalipun yang ditangani fahmina, tidak seefektif dan sebanyak yang ditangani kelompok-kelompok pendamping; seperti WCC Balqis, FWBMI, Bannati, Puspita ass-Sakinah. Karena fahmina dalam banyak kesempatan, menekankan pentingnya berbagi tugas dengan melihat kemampuan dan keterbatasan lembaga masing-masing.
Pendekatan Fahmina telah mengembangkan wacana sosial dan keagamaan melalui pembacaan kritis dan kontekstual warisan intelektual Islam . Fahmina mengakui bahwa, di Indonesia, kita hidup dalam pengaturan sosial-budaya di mana agama merupakan pondasi lama untuk berpikir, berekspresi, tindakan dan kesopanan. Cirebon , tempat organisasi ini bekerja, dikelilingi oleh ratusan pusat pendidikan Islam tradisional yang dikenal sebagai pesantren. Para pendiri Fahmina juga lahir dan dibesarkan dari rahim tradisi ini keagamaan intelektual.
Fahmina dan Opus Prize 2013
Setiap tahun Opus Prize Foundation yang bermitra dengan beberapa universitas di AS memberikan Opus Prize kepada individu atau organisasi yang berhasil membuat perubahan dan menyelesaikan persoalan paling nyata yang dihadapi masyarakat disekitarnya. Universitas pendukung Opus Prize diantaranya adalah Marquette University dan Georgetown University.
Tahun 2013 salah satu pemenang Opus Prize adalah NGO Fahmina Institute yang berbasis di Kota Cirebon Jawa Barat Indonesia. Pemenang lainnya adalah dari negara Afganistan dan Amerika Serikat. Penghargaan ini tentu sangat membanggakan dan memberikan inspirasi bagi banyak lembaga swadaya masyarakat lainnya. Bahwa perjuangan dan komitmen untuk terus menerus menjalankan program yang mengangkat isu-isu kemiskinan, buta huruf, kelaparan, penyakit, dan ketidakadilan tanpa membedakan agama dan keyakinan adalah penting.
The Opus Prize recognizes unsung heroes of any faith tradition, anywhere in the world, solving today’s most persistent social problems. Given annually, this $1 million faith-based humanitarian award and awards for the other finalists are collectively one of the world’s largest faith-based, humanitarian awards for social innovation. Recipients are selected on the basis of their entrepreneurial spirit and abiding faith to address global issues like poverty, illiteracy, hunger, disease, and injustice. In November 2013 Georgetown University and the Opus Prize Foundation awarded the 2013 Opus Prize to Sakena Yacoobi, founder of the Afghan Institute of Learning in Afghanistan. The Fahmina Institute in Indonesia and Sister Carol Keehan, president of the Catholic Health Association in Washington, D.C., each won $75,000.
Sumber: https://berkleycenter.georgetown.edu/opusprize
KH. Husein Muhammad sebagai salah satu pendiri Fahmina Institute mengatakan bahwa Fahmina percaya bahwa perubahan harus datang dari dalam masyarakat , membangun kekuatan dan tradisi sendiri . Kami yakin bahwa tujuan transformasi sosial tidak akan pernah tercapai jika organisasi terpisah dari akar sejarah masyarakat dan tradisi.
Fahmina di Era Kekinian
Dari pesantrenlah mereka memahami dan menerima doktrin agama bahwa agama diturunkan untuk manusia untuk tujuan mewujudkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Alquran menyatakan bahwa peran agama adalah untuk membebaskan manusia dari kegelapan dan untuk memimpin mereka ke jalan cahaya “Li Tukhrij al – Nas min al- Zhukumat ila al – Nur”. Dunia kegelapan adalah dunia tirani dan penindasan , dunia cahaya merupakan salah satu pengetahuan dan keadilan. Nabi Muhammad berulang kali menekankan bahwa karya manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang mengurangi penderitaan manusia, menghilangkan rasa lapar, berbagi sukacita penuh ketulusan, dan menyebar kedamaian.
Fahmina percaya bahwa agama tidak harus menjadi kekuatan politik dimanfaatkan oleh mereka yang berkuasa untuk merusak keragaman dan menindas orang. Sebaliknya, agama harus menjadi sumber kekuatan untuk mencerahkan, bergerak, dan memberdayakan masyarakat. Agama harus memberikan solusi nyata bagi masalah dan kesulitan manusia. Semua gerakan sosial-keagamaan harus ditujukan untuk mencapai keadilan, demokrasi, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Islam menekankan nilai-nilai normatif dan kewajiban universal. Islam dengan tegas menolak penindasan, arogansi, dan diskriminasi. Singkatnya, agama mengharuskan para penganutnya untuk berjuang keras (jihad) untuk mencapai dua tujuan simultan : untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar berakhlak mulia dan untuk menghapuskan segala bentuk praktek tidak manusiawi.
VOA Indonesia menuliskan bahwa Fahmina adalah pusat riset, pengajaran dan jangkauan berbasis Islam yang progresif dan bersandarkan pada tradisi pesantren. Fahmina dianggap berhasil mengerakkan berbagai program inovatif untuk membangun komunitas di sekitar mereka dan mengajak warga memahami isu-isu pluralisme, kesetaraan gender, demokrasi, HAM dan berbagai isu-isu sosial lainnya.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits :
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخَلاقِ
Artinya : “Sungguh aku diutus menjadi untuk menyempurnaka akhlak yang mulia.”
Hadits in menegaskan bahwa Islam hadir ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak manusia. Rasulullah SAW menyatakan bahwa manusia terbaik adalah manusia baik akhlaknya:
خَيْرُ النَّاسِ أحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Hadits ini menjadi sangat penting dan relevan pada saat
Sekarang di mana manusia berlomba-lomba memburu hal-hal yang bersifat duniawi yang sering tanpa menghiraukan norma-norma hukum agama – halal dan haram – maupun etika bermasyarakat. Berita-berita di media massa masih banyak dipenuhi hal-hal negatif seperti caci maki, ujaran kebencian, fitnah memfitnah, korupsi, penipuan, kejahatan, penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya. Semua perbuatan itu merupakan perilaku yang tidak terpuji atau akhlak yang buruk. Semua perbuatan itu bertentangan dengan aturan-aturan agama Islam.
Ahsan al-Nas khalqan wa khuluqan. Beliau manusia yang tidak pernah berkata-kata buruk, apalagi mengutuk atau mencaci-maki orang lain, meskipun sering disakiti, dihina dan dicaci-maki. Mereka mengatakan:
لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاحِشًا وَلاَ لَعَّاناً ولا سَبَّاباً
“Nabi saw. bukanlah orang yang biasa berkata-kata kotor, bukan orang yang suka mengutuk dan bukan pula tukang cacimaki,” [HR. Muslim dari Anas].
Fahmina dan KUPI
KUPI adalah akumulasi dari proses panjang gerakan sosial keagamaan sejumlah organisasi yang memprakarsai kongres ini. Oleh karena itu, membaca KUPI tidak bisa hanya memotret momentum saat itu saja, melainkan harus dikaitkan dengan proses panjang sebelumnya yang telah dilakukan oleh tiga organisasi yang memelopori penyelenggaraan KUPI, yakni Fahmina, Rahima, dan Alimat. Lebih dari itu, membaca KUPI harus juga membaca aktivitas dan gerakan para partisipan yang terlibat di dalamnya. KUPI adalah melting pot (titik temu-red) dari irisan banyak gerakan perempuan Indonesia sepanjang sejarah Indonesia.
Menyikapi berbagai persoalan di tengah masyarakat, Fahmina dan KUPI menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
- Mendukung dan mendorong diwujudkannya syariat Islam yang Rahmatan Lil Alamin, yakni syariat yang menjadi rahmah bagi semua makhluk dan semesta, bagi semua warga bangsa terutama perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya. Syariat yang menjamin kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan sebagai sesama hamba Allah dan sesama manusia.
- Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam Surat Ali Imran ayat 195, Surat Al- Ahzab ayat 35, Surat Al- Hujuraat ayat 13. Syariat yang memberikan ruang partisipasi yang sama dan saling mendukung antara laki-laki dan perempuan untuk kebaikan, kemaslahatan dan ketakwaan, baik di ruang domestik maupun publik, sebagaimana disirat dan suratkan dalam dalam Al-Qur’an Surat AtTaubah ayat 71, dan Surat Al-Maidah ayat 2, serta direkam dalam lembar-lembar Sirah Nabawiyah.
- Syariat yang memberikan jaminan kehidupan yang baik, di dunia maupun di akhirat, bagi laki-laki dan perempuan beriman sebagaimana dinyatakan dalam surat An-Nakhl ayat 97 dan Surat Ghaafir ayat 40.
- Syariat yang berangkat dari Tauhid, dijalankan dengan Akhlakul Karimah, serta dibuktikan dengan perlindungan dan pemajuan hak perempuan, anak, dan semua kelompok mustadh’afin yang sebelum kehadiran Islam ternistakan.
Syariat yang adil, mendamaikan, melindungi dan menyetarakan semua manusia, sebagaimana sudah dicontohkan dan diperjuangkan oleh Rasulullah Saw dalam membangun peradaban Islam di Madinah bersama para sahabat dan sahabiyat.
Ulama perempuan juga menetapkan bahwa kekerasan seksual dalam segala bentuknya, baik di luar maupun di dalam perkawinan, hukumnya haram. Ulama perempuan juga memandang bahwa perzinahan dan pemerkosaan adalah dua pidana (jarimah) (yang berbeda, baik dari sisi definisi, unsur-unsur, maupun sanksi pidana dan pembuktiannya. Pemerkosaan memiliki sanksi yang lebih berat dari perzinahan, karena ada tindak pidana pemaksaan (ikrah) yang dilakukan pemerkosa–yang pada umumnya–dengan memanfaatkan relasi kuasa.
Dalam pemerkosaan, yang berdosa dan wajib dihukum adalah pemerkosa, sementara pihak yang diperkosa tidak berdosa dan tidak terkena sanksi apapun, malah wajib memperoleh perlindungan dan pemulihan. Ini ketentuan yang sangat baru, karena dalam banyak kitab fiqh tidak pernah dijelaskan perbedaan antara perzinahan dan pemerkosaan. Malah banyak pandangan fikih menyamakan perzinahan dengan pemerkosaan.
Tidak hanya isu perempuan, KUPI juga membahas isu kemanusiaan dan perusakan alam. Dalam keputusan musyawarah keagamaan ulama perempuan, hukum perusakan alam adalah haram mutlak, meskipun atas nama pembangunan. Pembangunan tidak boleh merusak alam (air, udara, tanah, flora, fauna, dan keseimbangan ekosistem). Apabila ada kerusakan akibat pembangunan, maka negara berkewajiban untuk memulihkannya (ishlahiha). Dalam keputusannya, negara wajib menghukum seberat-beratnya pihak-pihak yang merusak alam, utamanya korporasi, pengusaha besar, dan mereka yang merusak dengan menggunakan kekuasaan politik.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) akan menggelar acara peluncuran KUPIPEDIA. KUPIPEDIA adalah ensiklopedia digital yang memuat seluruh dokumen, informasi, dan pengetahuan tentang Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Ensiklopedia ini akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan data yang sesuai dengan entri dan rubrik KUPIPEDIA.
Dirilis-nya KUPIPEDIA ke publik adalah sebuah terobosan inovatif dalam mengimbangi perkembangan kecepatan teknologi informasi saat ini. Kehadiran KUPIPEDIA tentu akan semakin menggencarkan dan meramaikan wacana dan pandangan keagamaan moderat dan nilai-nilai progresif Islam. Semoga eksistensi keulamaan perempuan dan jejaring keulamaan perempuan akan semakin kuat dan berkembang.
Selamat Ulangtahun Ke-21 Fahmina
Walau telat aku ucapkan selamat ulangtahun ke-21 Fahmina tanggal 10 November 2021, Barakallah