Senin, 23 Desember 2024

(ke-)BANJIR(-an): Wewenang Antara Tuhan dan Pemerintah (?)

Baca Juga

Hari-hari ini, sebagian masyarakat Indonesia merasa cemas, was-was, dan gundah gulanah. Bukan sekedar dampak dari kenaikan bahan bakar minyak yang menyebabkan sebagian tarip kendaraan turut naik, pun harga sembako melambung, dst. Tapi, sebagian warga kota dan kampung juga takut kalau hujan turun lagi, lalu banjir dan rumah-rumah, areal pertanian, jalan-jalan macet, dst. yang mengakibatkan sebagian rakyat tidak dapat memenuhi hajat setiap harinya.

 

“Losari Terendam Banjir”, demikian tertulis head line dalam surat kabar lokal di Cirebon. Harian Terbesar & Terpercaya di Ciayumajakuning lebih lanjut menginformasikan, akibat Tanggul Cisanggarung jebol, 300 rumah dan 60 hektar areal pertanian di desa Babakan dan Buntu kecamatan Losari kabupaten Brebes itu terendam air bah. Bukan hanya rumah penduduk yang terendam, sedikitnya 32,829 hektar tanaman tebu, serta 27,171 hektar padi dan palawija yang baru tanam turut tergenang.

Kejadian serupa, juga terjadi di kota-kota besar, Jakarta, Bandung, Surabaya, dst. dengan korban yang hampir serupa. Air hujan yang semestinya menjadi rahmah dari sang pencipta, tapi menjadi malapetaka bagi umat manusia. Uniknya, hal demikian itu berulang kali terjadi di sebagian tanah air Indonesia. Kenapa air hujan ditakutkan, pemerintahkah yang bertanggung jawab, warga masyarakat sendiri, atau jangan-jangan Tuhan, al-khaliq, ar-rahman?


Air, Hajat hidup Orang Banyak dan Negara

Menilik Amandemen UUD 1945, pasal 33 (2) disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Lalu, (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tanpa berdebat untuk menafsirkan atau membuat ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal di atas yang diatur dalam undang-undang, kiranya sebagai orang awam, saya dapat mengatakan, bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap masalah kebanjiran tersebut. Tapi, mengapa kesannya, baik pemerintah pusat ataupun daerah hanya ribut dalam pembuatan anggarannya saja, bukan untuk bermaksud baik dan dengan cepat, tangkas, atau bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang langsung berkaitan dengan hajat hidup orang banyak itu?

Bahkan dalam pasal berikutnya, 34 (2) jelas disebutkan, bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pun demikian dalam pasal 34 (3), bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Dengan demikian, jelas sekali, bahwa pemerintah harus bertanggung jawab terhadap permasalahan di atas, bukan semata-mata warga masyarakat sendiri. Hal yang sama, jika warga masyarakat telah sakit karena kebanjiran itu, maka pemerintahpun menanggung untuk pelayanan kesehatannya. Galibnya, jika fasilitas itu rusak, atau jebol karena hujan deras atau air meluap, mereka hanya ribut masalah anggaran yang semestinya digunakan sepenuhnya untuk pembangunan fasilitas umum tersebut, telah di-“sunat”, alias dikorupsi.  


Teks Suci tentang Air

Sebagai sang pencipta dan pemelihara alam semesta, termasuk manusia, Allah SWT. memberikan beberapa hal terkait dengan air, baik pernyataan awal tentang manfaat atau hal yang merugikan manusia. Di antara teks suci yang memuat hal itu adalah QS. al-Baqarah: 164. …wa ma anzal allah min as-sama’ min ma’ fa ahya bih al-ardl ba’d mautiha …. la ayat liqawmin ya’qilun. Potongan ayat ini menjelaskan bahwa apa yang diturunkan dari langit itu dapat memberikan kehidupan yang baik. Secara tegas, kata-Nya, apa yang Kami ciptakan itu tidak main-main, seperti termaktub dalam QS. Al-Anbiya’: 17, wa ma khalaqna as-sama’ wa al-ardl wa ma bainahuma la’ibin.

Dari dua penggalan pesan moral tersebut, dapat dikatakan sepintas, bahwa air itu hakikatnya mempunyai manfaat, sekaligus juga mempunyai madlarat (malapetaka) bagi manusia dan lingkungannya. Bagi Allah SWT. hal ini merupakan ayat-ayat (tanda-tanda) bagi kaum yang berakal dan berfikir. Adapun malapetaka itu, satu di antaranya karena kelalaian manusia sendiri, karena ulah manusia juga. Namun, lanjut-Nya, demikian itu agar mereka kembali untuk merenungkan dan ke jalan yang benar dan tepat (QS. Ar-Rum: 41).

Dalam sejarah umat dahulu, sebelum kenabian Muhammad SAW, pernah juga terjadi peristiwa air meluap yang mengakibatkan kebanjiran dan musnahnya umat manusia, akibat ulah manusia sendiri, yakni karena mereka tidak bersedia untuk beriman kepada Allah SWT. pada masa nabi Nuh AS. Adapun yang selamat, mereka yang beriman dan mengikuti ajaran Nabi-Nya. “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung), Kami bawa (orang yang beriman, selain orang yang durhaka) ke dalam bahtera, agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar”. (QS. Al-Haqqah: 11-12).


Dari Peringatan ke Aksi Bersama

Dari paparan di atas, persoalan Air, khususnya, atau banjir yang memusnahkan kehidupan manusia telah terjadi sejak dunia ini tercipta. Lantas, upaya apa yang mungkin dapat dilakukan sekarang untuk bangsa Indonesia. Apakah cukup menyatakan, bahwa banjir yang telah terjadi itu tidak berdampak pada hasil pertanian rakyat, karena belum masa panen, kata salah satu pejabat pemerintah negeri ini? Atau menyerukan kita sebagai umat Islam harus kembali pada jalan yang benar sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya, karena telah murka akibat perilaku manusianya?

Bahkan, selain melihat masalah air ini dengan pembelaan tersebut, tak jarang juga menyalahkan sepihak saja, baik ditujukan pada pemerintah yang korup akibat penyalahgunaan wewenangnya, jauh sebelum banjir datang. Misalnya, pemerintah memberi izin kepada para pengusaha (investor) untuk berpartispasi dalam pembangunan, tetapi tanpa melihat ekosistem dan hal lainnya yang mengakibatkan banjir, pada akhirnya. Ataupun, rakyat yang disalahkan, sebab tidak mengindahkan peraturan tentang perumahan dan lingkungan hidup?

Bila kita menatap kejadian ini dengan hati kemanusiaan, semestinya tidak perlu terjadi lagi saling claim. Berbagai analisis memang memungkinkan kenapa hal itu terjadi. Dalam konteks keimanan yang transenden, manusia dengan Tuhannya, bisa jadi hal itu ujian atau cobaan, karena itu diingatkan dengan “kebanjiran”. Tetapi, hanya berserah diri kepada nasib yang demikian, juga tidak cukup tepat. Sebab, nyatanya tidak mampu memberikan penyelesaian, khususnya secara real bagi para korbannya, seperti pengungsi sebab rumahnya rusak, atau petani, karena hasil pertaniannya tidak mungkin dipanen, dst.

Pun demikian, dengan pemerintah pusat atau daerah. Tak perlu lagi untuk merasa dirinya telah benar dalam menjalankan roda pemerintahan karena sesuai undang-undang. Diakui atau tidak, bahwa sekalipun sudah berusaha maksimal untuk membenahinya, benar atau sekedar disepelekan, toh nyatanya banjir itu telah menyisakan sejumlah pekerjaan rumah (PR). PR ini bukan saja kerja Negara atau pemerintah untuk membenahinya. Lebih dari itu adalah korban dari rakyat yang makan dan minum setiap harinya harus mencari pada saat itu juga. Hal itupun belum tentu cukup untuk dapat memberi makan satu keluarganya, apalagi untuk kebutuhan sekunder dan lain-lainnya.

Walhasil, sudah saatnya, melalui “azab, ujian” banjir ini, yang disebut wewenang Tuhan, Pemerintah, atau “salahnya” mustadl’afin (korban banjir), dinafikan terlebih dahulu, tapi perlu segera adanya aksi bersama untuk menyelamatkan jiwa manusia yang sedang butuh. Hal ini terkesan pragmatis, tentunya, tapi merupakan skala prioritas utama yang harus dilakukan. Pilar utamanya adalah pemerintah atau negara. Karena, negara sesuai undang-undang yang berlaku merupakan penanggung jawabnya dan hal ini harus selalu diawasi atau dikontrol pihak korban atau yang netral, mengingat mereka cenderung untuk berbuat korup.

Ke depan, agar banjir ini tidak menimbulkan problem sosail yang menasional atau lokal yang terus menerus, kiranya perlu “memaksa” pemerintah agar menegakkan keadilan dan hukum yang berlaku. Begitupun dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah ini, baik kelompok agama, ilmuwan, rakyat, aktifis pembela rakyat, ataupun para pengusaha (investor). Soalnya, apakah hal itu bukan sesuatu yang mustahil?

Ada benarnya, saya kira, bahwa hal itu cukup mustahil. Apalagi, bila mengharapkan pemerintah dan para pengusaha untuk berbuat adil. Lalu, siapa dan bagaimana yang lebih memungkinkan dapat diharapkan untuk menyelesaikan kerja berat di atas? Memberi kepercayaan pada rakyat, barangkali perlu dicoba. Apalagi, Indonesia saat ini tengah menghadapi transisi menuju demokrasi.

Rakyat dipercaya untuk mengelola segala sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya, pun bukan persoalan mudah, seperti membalik telapak tangan. Selain dibutuhkan kemauan politik (political will) dari semua pihak, juga dari (representasi) rakyat itu sendiri. Hal ini bukan sekedar claim atau rakyat sebagai stempel belaka, tapi kearifan dari semuanya, lebih khusus kelompok mustadl’afin.

Oleh ketua kolompok Riset Klimatologi Departemen Meteorologi dan Geofisika, ITB, Zadrach Dupe, dianalisis, jika saat El Nino saja terjadi banjir di Indonesia, berarti lingkungan hidup di Indonesia sudah rusak sedemikian parahnya, sehingga curah hujan tidak dapat diserap permukaan tanah. Jadi, simpulnya, masalah banjir yang dihadapi bangsa ini bukan karena curah hujan di atas normal, melainkan karena lingkungan hidup yang sudah sangat rusak. Selama upaya itu hanya terfokus pada “air” saja (curah hujan dan pembuangannya), maka banjir tidak pernah diatasi. (Kompas, 18 Februari 2003).

Seiring dengan peringatan Allah SWT. di muka, di mana air dapat juga memberi manfaat, atau rahmah bagi kelangsungan hidup umat manusia, maka usulan Zadrach perlu direnungkan. Katanya, jika ingin bebas banjir dan tidak kekurangan air pada musim kemarau, maka segala daya dan upaya harus difokuskan pada usah peningkatan mutu lingkungan hidup, manajemen sumber daya air, dan gerakan disiplin nasional.

Dengan demikian, hemat saya, truth claim memang sudah semestinya ditinggalkan. Apalagi, bila kebijakan itu menyangkut kemanusiaan dan kelompok mustadl’afin. Aksi sosial bersama, kapan akan segera dimulai demi kemaslahatan dan kemanusiaan? Wallahu a’lam.[]

 


(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. I ed. 25 – tanggal 14 Februari 2003)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya