Kekerasan dengan dalih agama yang selama ini sering dilakukan oleh berbagai ormas Islam seperti Front Pembela Islam (FPI) akan dibahas dalam Konferwil Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng, malam ini, Sabtu (12/7).
“Akan dibahas apakah perusakan Masjid atau aset Ahmadiyah seperti yang terjadi beberapa waktu lalu bisa dibenarkan oleh Islam,” terang Rais Syuriyah PWNU KH Masruri Mughni, disela-sela Konferwil NU Jateng ke XIII di Ponpes Al Hikmah, Benda, Sirampog, Brebes, Sabtu (12/7).
Konferwil dibuka Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, Jum’at (11/7) kemarin, dihadiri Gubernur Jateng Ali Mufiz, Ketua PCNU se Jateng dan sekitar 600 tamu undangan.
Kiai Masruri megungkapkan, masalah tersebut akan dibahas dalam Bahtsul Masail Waqiiyah yang mengupas persoalan-persoalan agama masa kini. Sebab menurutnya, masyarakat membutuhkan pedoman yang jelas dalam menentukan sikap terkait dengan kondisi masyarakat terkini. “Supaya masyarakat tahu apa yang harus dilakukan, dengan dalil-dalil yang bisa dibenarkan,” tegas pengasuh Ponpes Al Hikmah tersebut.
Dia menyebut, saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjadi pemimpin umat sekaligus pemimpin pemerintahan, dia tidak pernah melakukan diskriminasi terhadap aliran-aliran dalam islam yang muncul saat itu. Umar selalu menghormati umat Islam yang mengikuti aliran lain.
“Lalu apakah sekarang bisa dibenarkan, melakukan penganiayaan menjadi pengikut aliran lain. Bahkan sampai merusak masjid yang menjadi sarana peribadatan umat Islam,” tukasnya
KH Masruri mengungkapkan, maraknya penggunaan kekerasan dalam beragama beberapa waktu belakangan mengundang keprihatinan para ulama NU. Menurutnya, hal itu tidak sejalan dengan teladan yang diberikan para ulama terdahulu.
Dikatakannya, keprihatinan itu berangkat dari kenyataan, sering terjadinya tindak kekerasan dengan mengatasnamakan Islam. ”Bahkan, terjadi juga tindak kekerasan hingga pada taraf membakar masjid karena dianggap menyebarkan aliran sesat,” tuturnya.
Dikatakannya, ulama besar Islam Umar bin Abdul Aziz, yang juga seorang raja, telah memberikan contoh bertoleransi dalam Islam. ”Umar bin Abdul Aziz tidak pernah menggunakan kekerasan terhadap pengikut agama lainnya,” kata pengasuh Pesantren Alhikmah Benda Sirampog tersebut.
Selain soal Ahmadiyah dan radikalisme dalam beragama, bahtsul masail juga membahas masalah penambahan rute sa’i dalam ibadah haji serta pemakaian kotoran sapi untuk pewarna batik.
Dikatakannya, secara prinsip, sa’i adalah berlari-lari kecil di antara Bukit Shofa dan Bukit Marwa, dalam rangkaian ibadah haji. ”Sejak musim haji terakhir, pemerintah Arab Saudi menambah satu lagi rute sa’i. Rute itu tidak melewati ‘jurang di antara dua gunung’ sehingga menimbulkan keraguan pada sebagian kalangan,” kata Kiai Masruri. (was)
Sumber: NU Online