Oleh: Zaenal Abidin
Cirebon, 12 Desember 2024 – Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus menjadi persoalan serius di Cirebon, dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai kasus tertinggi. Berdasarkan data yang disampaikan Saadah dari WCC Mawar Balqis, korban kekerasan banyak berasal dari kelompok usia produktif, yaitu 25–40 tahun. Namun, kelompok usia di atas 40 tahun juga tidak luput dari ancaman kekerasan, baik secara fisik maupun psikis.
“Usia berapa pun memiliki potensi menjadi korban kekerasan, baik remaja maupun orang dewasa,” ujar Saadah.
Kekerasan dan Pendidikan
Dari segi pendidikan, mayoritas korban memiliki pendidikan rendah. Tercatat 26 kasus melibatkan korban dengan pendidikan SD, sementara SLTA dan SMA masing-masing mencatat 19 kasus. Saadah menjelaskan bahwa rendahnya tingkat pendidikan berdampak pada kemampuan korban mengakses layanan dan informasi, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan mereka untuk keluar dari lingkaran kekerasan.
Dominasi Ibu Rumah Tangga sebagai Korban
Dalam kategori pekerjaan, ibu rumah tangga menjadi korban terbanyak. “Ketergantungan ekonomi terhadap pelaku menjadi salah satu alasan mereka sulit keluar dari situasi kekerasan,” jelas Saadah. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya akses korban untuk memberdayakan diri secara ekonomi, sehingga mereka tetap terjebak dalam siklus kekerasan.
Relasi Dekat sebagai Pelaku Kekerasan
Sebanyak 95% pelaku kekerasan adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban, seperti pasangan, orang tua, atau kerabat. Hal ini menyulitkan korban untuk melapor, terlebih banyak yang memilih melupakan pelaku sebagai upaya melanjutkan hidup.
Kekerasan di Ranah Publik dan Personal
Maria Ulfah, Komisioner Komnas Perempuan, mengungkapkan bahwa kekerasan tidak hanya terjadi di ranah personal, tetapi juga di ruang publik dan ranah negara. “Kekerasan seksual menjadi kasus yang cukup tinggi, terutama di perguruan tinggi dan lembaga keagamaan, termasuk pondok pesantren,” ungkapnya. Kasus kekerasan di Sumatra, misalnya, terjadi di gereja, sementara di Bali pelakunya adalah tokoh agama.
Maria juga menyoroti implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang memberikan ruang bagi siapa saja untuk melaporkan kekerasan seksual. “Polisi memiliki kewajiban mengusut kasus ini tanpa harus menunggu laporan korban,” katanya.
Upaya Pencegahan dan Pendampingan
WCC Mawar Balqis aktif mendampingi korban di tiga wilayah Cirebon dengan layanan di sembilan titik. Namun, tantangan seperti sulitnya akses pelaporan dan ketergantungan ekonomi korban menjadi kendala utama.
Komnas Perempuan bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama terus mendorong regulasi pencegahan kekerasan di institusi pendidikan dan lembaga keagamaan.
“Mari kita bersama-sama menolak menjadi pelaku dan korban kekerasan. Sebarkan kesadaran untuk mencegah kekerasan, baik di ranah pribadi, publik, maupun negara,” ajak Maria.
Cirebon diharapkan menjadi model dalam upaya penghentian kekerasan sosial melalui kolaborasi berbagai pihak. Dengan langkah konkret ini, masyarakat dapat hidup dalam lingkungan yang lebih aman dan bermartabat. []