“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. (Paragrap pertama Pembukaan UUD 45)
Dalam rangka memeriahkan HUT RI ke-57, RW 10 kelurahan Jagasatru Selatan Kota Cirebon, menggelar serangkaian kegiatan, seperti Tenis meja, Bola Volly, Sepak Bola, Catur, Karaoke Dangdut dll, yang kesemuanya diikuti dengan antusias oleh seluruh masyarakat.
Dua rangkaian acara yang terakhir adalah Siraman Rohani yang dilaksanakan minggu 18 Agustus 2002 dengan menghadirkan salah satu Muballigh dari Kabupaten Cirebon, dan malam dangdut yang dilaksanakan pada Senin, 19 Agustus 2002.
Momentum 17 Agustus ini, benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat RW 10, untuk sejenak menghilangkan kepenatan hiruk-pikuk kehidupan kota Cirebon yang penuh dengan problematika yang tak pernah selesai. Serangkaian kegiatan yang menghabiskan dana yang tidak sedikit, benar-benar merupakan hasil swadaya masyarakat. Mereka dengan senang hati menyisihkan sebagian penghasilannya -ketika panitia tujuh-belasan keliling dan datang kerumah dengan menyodorkan proposal kegiatan -.
Sementara itu berbagai instansi pemerintah dari pusat sampai daerah, seperti yang dilaksanakan di alun-alun kejaksan kota Cirebon, juga melaksanakan peringatan 17 Agustus 1945 dengan mengadakan upaca bendera, dari mulai kenaikan sampai pada penurunannnya, yang serempak dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus. Kegiatan ceremonial tersebut juga menghabiskan biaya yang tidak sedikit, karena harus membayar berbagai peralatan atas penyediaan keperluan upacara. Bedanya, yang ini di biayai oleh negara, yang tentu saja uang rakyat.
Deskripsi dua kegiatan diatas, yang dilaksanakan oleh dua kelompok yang berbeda, merupakan salah satu bentuk kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia, dalam rangka menyambut HUT kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Disamping itu juga terdapat banyak masyarakat yang mengekspresikan peringatan 17 Agustus 1945 hanya dengan memasang umbul-umbul dan bendera merah putih, sebagai bentuk dukungan mereka terhadap kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mereka….. Merdeka……..
Namun demikian, terasa ada sesuatu yang mengharukan sekaligus juga memilukan dari dua gambaran peringatan diatas. Betapa tidak, masyarakat yang sampai sekarang masih merasakan dampak dari krisis ekonomi, dengan senang hati harus urunan demi terselenggaranya pesta rakyat dalam rangka memeriahkan HUT negaranya. Namun, para penyelenggara negara, yang notabene-nya adalah mereka yang hidup dalam kecukupan, kegiatan peringatannya masih tetap harus disumbang oleh rakyat. Besarnya dana yang diperlukan dalam upacara bendera, diambil dari kas negara atau daerah yang nota bene-nya adalah uang rakyat. Mereka tidak akan mau kalau harus urunan untuk membayar berbagai keperluan tersebut.
Kalau dilihat, pada dasarnya masyarakat selama ini selalu dalam posisi tertindas. Hanya karena bersifat kolektif, masyarakat tidak merasa bahwa untuk sebuah peringatan kemerdekaan negaranya, mereka harus mengeluarkan dana dua kali. Sementara para penyelenggara negara yang mengaku memiliki negara ini, mereka tidak mau mengeluarkan uang sedikitpun.
Di luar itu dalam keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat juga selalu dalam ketertindasan kaum penguasa dan kaum kapital. Potret kehidupan mereka setiap hari dapat kita lihat. Kemiskinan, setiap tahun malah semakin bertambah, demikian halnya akses pendidikan, subsidi dana pendidikan tidak pernah sampai kepada mereka yang berhak menerimanya, tetapi selalu nyagkut di tangan-tangan para oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan masih banyak lagi bentuk ketimpangan dan penindasan terhadap masyarakat, yang sampai akhirnya kita tidak bisa menghitung lagi segi-segi mana saja yang dirasakan tidak sesuai, karena memang sudah hampir semua sendi kehidupan masyarakat sudah terdapat ketimpangan-ketimpangan tersebut, lantas apa yang merdeka dari rakyat? Kalau proses penjajahan dan penindasan masih terus berlangsung dan apa bedanya, dulu dijajah bangsa asing dan sekarang dijajah bangsa sendiri.
Kalau kita baca Kompas, 19 Agustus 2002 dalam salah satu sudutnya mengangkat berita tentang kegiatan upacara yang dilakukan oleh warga korban penggusuran rumah dibantaran kali Jagir, Surabaya. Mereka tidak mau menyahut ucapan “merdeka” yang disuarakan oleh inspektur Upacara sebagai simbol terbebas dari penjajah, mereka malah dengan serempak memekikan kata “belum”. Karena mereka merasa bahwa kehidupan mereka pada saat ini sedang dalam tindasan penguasa. Penggusuran rumah yang dilakukan aparat pemerintah, tidak memberikan pengganti yang memadai. Padahal sebelumnya, mereka dengan susah payah membangun rumah tersebut dengan jerih payah keringat mereka. Sebenarnya milik siapakah kemerdekaan itu?
Memaknai Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 2002 TVRI menayangkan beragam pendapat masyarakat tentang makna kemerdekaan. Beragam pendapat muncul dari berbagai kalangan seperti pedagang, pelajar, ibu rumah tangga, buruh, guru, pengamat sosial politik, dan budayawan, tentang apa arti kemerdekaan. “Kemerdekaan adalah bebas untuk melaksanakan kegiatan jualan dimana dia suka“ demikian ungkap pedagang. “Kemerdekaan adalah adanya kebebasan untuk memilih jurusan yang diingini oleh si anak (pelajar) tanpa ada paksaan dari orang tua” ungkap seorang pelajar. “kemerdekaan adalah terciptanya sistem politik, sosial dan ekonomi yang merata dengan tanpa ada tindakan diskriminatif terhadap setiap warga negara” ungkap pengamat sosial politik.
Beragam pendapat diatas, mengisyaratkan betapa luas sebenarnya makna dari kemerdekaan. Kemerdekaan, sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 45 “kemerdekaan adalah hak segala bangsa” merupakan bentuk dasar dari Hak Asasi Manusia. Artinya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kebebasan (free dom) serta mendapatkan perlakuan yang sama. Setiap warga negara juga berhak untuk mendapatkan perlindungan dan kehidupan yang sama.
(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. I ed. 08 – tanggal 23 Agustus 2002)