Selesai Tsanawiyah aku langsung memasuki pesantren selama 4 tahun, dan kemudian melanjutkan ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang kini sudah berganti nama menjadi UIN, dengan mengambil Fakultas Syariah.
Aku bangga dengan keislamanku, dengan panutan suri tauladan Nabi Muhammad. Beliau adalah seorang revolusioner, seorang yang lembut dan penuh kasih. Ajarannya begitu luhur, mampu merangkul dan melindungi semua kelompok apapun agamanya.
Bagiku Muhammad bukan hanya sebuah nama atau pribadi tapi dia adalah akidah yang hidup. Raganya sudah meninggalkan kita tapi ajarannya akan hidup sepanjang jaman. Muhammad adalah kita semua, cerminan sikap yang lembut dan penuh kasih, anti kekerasan, pemaaf dan cinta damai.
Aku bangga dengan keislamanku sampai ada peristiwa yang begitu menamparku dan membuatku merasa sangat terhina dan malu. Pada peringatan 63 tahun Hari Kelahiran Pancasila, 1 Juni 2008 di Lapangan Monas yang lalu, sekelompok orang dengan memakai kaos FPI berbendera hijau bertuliskan La Ilaha Ilallah, menyerang kami sambil mengumandangkan Allahu Akbar.
Tatapan mereka sangat beringas. Teriakan ibu-ibu, suara tangisan anak kecil, jeritan perempuan-perempuan tidak membuat hati mereka luluh.Tidak ada satupun dari kami yang melakukan perlawanan. Kami hanya menghindar sampai terpojok di depan tugu yang di kanan kirinya ada pembatas. Kami masih tetap diburu walaupun sudah terpojok.
Dari atas tugu mereka bahkan melempari kami dengan batu-batu besar yang pasti sudah dipersiapkan sebelumnya, karena batu sebesar itu tidak ada di taman Monas.
Mereka memakai pentungan dan bambu berpaku untuk memukul teman-teman yang tidak bisa menaiki tembok pembatas taman. Teman-teman yang sudah jatuh tersungkur pun, masih ditendang dan diinjak-injak.
Mereka menyerang siapa saja, tidak peduli orang Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Ibu-ibu yang memakai pakaian muslim pun mereka pukuli. Aku bahkan melihat ada anak kecil yang kepalanya dibenturkan ke tembok.
Teman-teman kami banyak yang terluka. Tidak sedikit yang harus dirawat di rumah sakit, karena gegar otak, kepalanya bocor, atau memar. Luka fisik dapat kami obati, tapi luka batin begitu dalam.
Secara pribadi sebagai muslimah aku begitu shock melihat bangsaku begitu beringas. Saat ini aku masih trauma mendengar kalimat Allahu Akbar, tulisan syahadat, dan semua panji-panji Islam. Semua nilai-nilai Islam yang kuyakini dari kecil seperti hancur berantakan.
Aku marah dan tidak rela FPI mewakili Islam. Islam yang mereka bawa sama sekali tidak mencerminkan Islam yang lembut yang aku kenal. Islam tidak perlu pembela seperti mereka yang tidak punya hati, mereka yang tidak mampu mendengar jeritan dan tangisan saudara sebangsanya sendiri.
Kata “maaf” terbersit dalam hatiku karena saat mereka meneriakkan yel-yel Islam, aku sempat menjawab dalam hati, kalau kalian Islam biarkan aku menjadi kafir karena aku tidak mau menjadi bagian dari kalian.
Aku yakin lebih banyak muslim yang waras daripada mereka yang tidak waras. Namun suara mereka terlalu keras karena hanya itu yang mereka punya untuk menutupi kekerdilan hati mereka.
Karena itu, mari teman-temanku kita saling bergandengan tangan. Mari kita membuat Nabi Muhammad terlahir setiap hari dengan perbuatan kita yang mencerminkan ahlak beliau yang penuh kasih.
Kami yakin darah dan air mata teman-teman tidak sia-sia karena begitu banyak mata melihat kebrutalan FPI. Tidak ada satupun ummat Islam yang mau kalian wakili, kecuali orang-orang yang hatinya keras seperti batu.
Aku mencintai kalian semua teman-temanku di FPI. Aku yakin kalian hanya kurang memahami. Tidak usahlah berbicara tentang agama yang jelas-jelas melarang kekerasan. Tapi bicara dengan kemanusiaan pasti kalian masih terketuk hatinya untuk tidak lagi menyakiti dan melakukan tindakan anarkis.
Sumber: www.wahidinstitute.org