Remaja, terutama remaja puteri merupakan kelompok yang paling rentan secara fisik dan psikis terhadap infeksi. Masih ingat tentang perkembangan kasus HIV/AIDS? Belakangan ini, menurut data departemen kesehatan RI semakin banyak dialami oleh mereka yang dianggap aman dan tidak beresiko HIV/AIDS. Bahkan banyak ditemukan juga angka infeksi menular seksual yang tinggi pada perempuan non-PSK (Pekerja Seks Komersial), seperti ibu rumah tangga dan remaja puteri.
Meningkatnya kasus penderita HIV/AIDS hanyalah salah satu dari sekian persoalan yang diakibatkan tidak adanya kesadaran akan kesehatan reproduksi (Kespro). Dari realitas tersebut, informasi dan pengetahuan yang benar bagi setiap orang menjadi sangat penting. Pemberian informasi dan pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi, selain harus diberikan kepada ibu-ibu muda yang telah menikah, juga penting diberikan kepada para remaja. Namun dalam kenyataannya, kewajiban pemerintah ini tidak optimal dilakukan, terlebih oleh pemerintah daerah (Pemda) dan untuk kalangan pondok pesantren (Ponpes).
Di Tahun 2010, Fahmina-institute bekerjasama dengan Hivos mulai berkonsentrasi pada membuka akses informasi dan pengetahun bagi para santri pondok pesantren. Salah satunya dengan membuka ruang-ruang diskusi dan pelatihan bagi para santri terkait dengan Kespro. Dalam melakukan upaya tersebut tentunya membutuhkan dukungan dari pemegang kebijakan atau Nyai dan Kiai Ponpes. Untuk itulah Fahmina-institute melakukan pelatihan demi memberikan penguatan kapasitas tentang kesehatan reproduksi kepada Nyai/Kiai sehingga wacana ini menjadi bagian yang penting dalam kehidupan di pesantren.
Dengan tema “Kesehatan Reproduksi, Hak Informasi Bagi Semua”, Fahmina menggelar pelatihan Kespro untuk Nyai/Kiai Ponpes se-Wilayah III Cirebon pada Selasa-Rabu (13-14/4) lalu. Acara yang digelar di Kampus Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, ini menghadirkan tiga narasumber baik yang berbicara dari perspektif kesehatan, agama maupun sosial. Di antaranya adalah Ninuk Widyantoro, berbicara tentang definisi sehat, kesehatan reproduksi dan isu-isu kesehatan perempuan; KH Husein Muhammad, berbicara tentang hak kesehatan reproduksi dalam perspektif agama; serta Marzuki Wahid, berbicara tentang hak kesehatan reproduksi ditinjau dari aspek sosial, politik dan budaya.
Masih Sensitif
Menurut Ninuk, sapaan akrab Ninuk Widyantoro, seksualitas merupakan suatu isu yang masih sensitif. Karena selama ini masih diartikan atau difahami secara berbeda-beda. Sehingga membicarakan seksualitas berkaitan dengan pemahaman yang sangat kompleks dari berbagai aspek seksualitas. Seperti tahapan seksualitas itu sendiri yang dimulai dari saling jatuh cinta (ketertarikan).
“Namun ketertarikan tidak harus diakhiri hubungan seks, kita olah dengan diuji dulu ke sifat masing-masing dan golnya baru seks. Tuhan memberikan birahi itu untuk saling meyenangkan perempuan dan laki-laki, jadi perempuan melayani laki-laki dan begitu laki-laki juga melayani perempuan. Untuk itu dalam seksualitas ada tata caranya,” papar Ninuk yang juga mencoba membedakan antara seks, orientasi seksual, serta identitas seksual.
Ninuk memaparkan, seks adalah perbedaan biologis antara perempuan dan lelaki, yang disebut jenis kelamin. Orientasi seksual adalah kombinasi dari perilaku seksual, khayalan atau fantasi dan emosi. Sementara identitas seksual, perempuan membutuhkan waktu yang lama untuk menumbuhkan rangsangan. Misalnya sentuhan dan komunikasi yang harmoni. Karena menurutnya, bersetubuh itu bukan hanya perempuan saja namun juga laki-laki. Hubungan intim juga untuk saling menghormati dan menghargai bukan untuk menyakiti.
“Melakukan kebersihan namun kedua-duanya agar keduanya sama-sama asyik dan sehat. Kadang-kadang hubungan intim itu laki-laki kadang langsung tubruk, ini sama halnya dengan pemerkosaan. Jadi memang pemerkosan daam rumah tangga itu ada. Dalam hal ini baik lelaki maupun perempuan harus saling memahami. Bahkan jika kita tidak ingin memiliki anak dulu, itu juga perlu dikomunikasikan biar enak,” jelasnya.
Sementara KH Husein Muhammad lebih banyak membahas isu pro kontra khitan (sunat) perempuan, salah satu isu Kespro. Khitan perempuan sampai hari ini masih merupakan isu particular yang controversial. Bukan hanya dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga di belahan muslim lainnya.
“Perbedaan mengenai isu ini terjadi lebih karena sumber-sumber Islam otoritatif. Baik al Qur’an maupun hadits Nabi tidak menyebutkan hukumnya secara eksplisit dan tegas. Dalam keadaan seperti ini para ulama khususnya ara ahli fiqh, kemudian melakukan interpretasinya sesuai dengan pengetahuan dan perspektifnya masing-masing,” papar Kiai Husein.
Tetapi di balik itu semua, lanjutnya, perbedaan pendapat selalu lahir karena konteks social yang berbeda. “Pikiran tidak lahir dari ruang kosong. Ia selalu merupakan refleksi dari ruang dan waktu.”
Terkait pentingnya informasi dan pengetahuan Kespro, menurut Marzuki Wahid, yang terpenting adalah penyadaran bukan sosialisasi (top down). Sehingga dalam pelatihan tersebut salah satu strategi titik masuknya adalah melalui pendekatan medis.
“Tetapi ketika sudah masuk dalam tafsir agama, ini agak riskan karena kebanyakan orang masih belum bisa membedaka mana agama dan pemahaman agama, tafsir agama, serta pemikiran. Tafsir itu bukan agama. Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an kita harus teliti, lebih baik lagi dengan menggunakan pendekatan tersendiri misalnya memakai Jurmiyah.”
Terbangunnya Kesadaran Kritis
Menurut project officer (PO), Alifatul Arifiati, pelatihan yang diikuti 20 Nyai dan Kiai dari15 Ponpes se-wilayah III Cirebon ini bertujuan untuk melakukan pendidikan dan penyadaran kritis kesehatan reproduksi berbasis Islam. Serta menginformasikan definisi kesehatan dan kesehatan reproduksi dalam aspek sosial, budaya, dan agama.
“Kami berharap dengan terlatihnya 20 Nyai dan Kiai, selain mereka memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran kesehatan reproduksi secara memadai. Mereka juga diharapkan dapat menyebarkan pengetahuan dan pemahamannya tersebut kepada santrinya di pondok pesantren masing-masing. Terutama sekali adalah terumuskannya strategi pendidikan dan penyadaran kesehatan reproduksi di pesantren,” tegasnya.
Nama-nama 20 Ponpes yang mengikuti pelatihan tersebut adalah Assa’idiyah Gedongan, al- Istiqomah Buntet, Ponpes Kempek, Ponpes Bappenpori Babakan-Ciwaringin, Ponpes Jambu Babakan- Ciwaringin, Ponpes Salafiyah, Ponpes Bode, Nurul Huda Windusengkahan, Miftahuttholibin Timbang, al-Istikomah Kanggraksan, Ponpes Candangpinggan Kertasemaya, al- Sakinah Sliyeg, al- Mizan Jatiwangi, Raudlatul Mubtadiin Leuwimunding, Dar al-Tauhid Arjawinangun, dan Ponpes Rajagaluh. (a5)