Oleh: Rosidin M. Hum (Direktur Fahmina Institute)
Berdasarkan Global Gender Gap Report 2021 saat ini Indonesia berada di peringkat 101 dari 156 negara dalam hal gender gap atau kesenjangan gender. Gender gap diukur melalui 4 indikator yakni partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, dan pemberdayaan politik. Ini memperlihatkan bahwa mewujudkan kesetaraan gender sangat relevan dengan pembangunan ekonomi, bukan hanya semata persoalan moral dan keadilan. Dalam mengevaluasi hasil pembangunan yang berperspektif gender digunakan beberapa indikator, di antaranya Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) sebagai indikator dampak. Sementara upaya-upaya menuju kesetaraan gender adalah strategi yang seharusnya melandasi pembangunan di Indonesia. Salah satunya adalah dengan memberdayakan semua masyarakat baik perempuan maupun laki-laki agar keluar dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Ini akan berujung pada peningkatan perekonomian sebuah negara.
Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia belum dirasakan setara oleh para perempuan. Padahal pembangunan di Tanah Air bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat. Penyebab adanya ketidaksetaraan itu antara lain karena kebijakan, program dan kegiatan pembangunan belum sepenuhnya memperhatikan adanya perbedaan kebutuhan, pengalaman, dan kondisi lainnya di masyarakat. Baik itu yang bersifat kodrati maupun hasil konstruksi sosial yang terjadi.
Kemerosotan pada tahun 2021 sebagian disebabkan oleh melebarnya kesenjangan gender di bidang politik di beberapa negara berpenduduk besar (lihat grafik). Meskipun lebih dari 156 negara yang diindeks mencatat peningkatan, perempuan hanya memegang 26,1% kursi parlemen dan 22,6% posisi kementerian di seluruh dunia. Dengan kondisi saat ini, untuk menutup kesenjangan gender di ranah politik diperkirakan membutuhkan waktu 145,5 tahun.
Sementara itu, kesenjangan gender di bidang ekonomi hanya mengalami sedikit perbaikan sejak edisi 2020 dan diperkirakan akan memakan waktu 267,6 tahun lagi untuk menutupnya. Kemajuan yang lambat disebabkan oleh tren yang berlawanan – sementara proporsi perempuan di antara profesional terampil terus meningkat, kesenjangan pendapatan tetap ada dan hanya sedikit perempuan yang terwakili dalam posisi manajerial.
Meskipun temuan ini serius, kesenjangan gender dalam pendidikan dan kesehatan hampir tertutup. Di bidang pendidikan, meski 37 negara telah mencapai kesetaraan gender, dibutuhkan waktu 14,2 tahun lagi untuk sepenuhnya menutup kesenjangan ini karena kemajuan yang melambat. Di bidang kesehatan, lebih dari 95% kesenjangan gender ini telah ditutup, mencatat penurunan marjinal sejak tahun lalu.
Pandemi ini secara fundamental berdampak pada kesetaraan gender di tempat kerja dan di rumah, memutar mundur kemajuan yang telah dicapai bertahun-tahun. Jika kita menginginkan ekonomi masa depan yang dinamis, penting bagi perempuan untuk terwakili dalam pekerjaan masa depan. Sekarang, lebih dari sebelumnya, sangat penting untuk memfokuskan perhatian kepemimpinan, berkomitmen pada target yang tegas, dan memobilisasi sumber daya. Ini adalah momen untuk menanamkan kesetaraan gender dengan desain ke dalam pemulihan.
Kekerasan Seksual Semakin Marak
Kemerosotan gap gender juga bisa dilihat diakibatkan dari kasus-kasus kekerasan berbasis gender, jumlah kasus meningkat, smentara respon negara untuk penanganan kekerasan seksual misalnya belum menjadi prioritas. pemenuhan terhadap kesetaraan jender salah satunya adalah adanya jaminan terhadap perlindungan akses keadilan bagi korban kekerasan berbasis gender.
Berdasarkan pengumpulan data milik KemenPPPA, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021. Pada anak-anak, kasus yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual sebesar 45 persen, kekerasan psikis 19 persen, dan kekerasan fisik sekitar 18 persen. “Kekerasan jenis lainnya pada anak berupa penelantaran, trafficking, eksploitasi ekonomi, dan lain-lain,” Sementara pada kasus kekerasan yang dialami perempuan, KemenPPPA mencatat juga turut mengalami kenaikan. Dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan.
Kasus kekerasan pada perempuan dan anak banyak terungkap melalui media sosial akhir-akhir ini. Terbaru, kasus kekerasan pada perempuan yang menyita perhatian adalah pemaksaan aborsi yang dilakukan Bripda Randy Bagus Hari Sasongko pada almarhum Novia Widyasari. Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan kasus yang dialami Novia merupakan satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima Komnas Perempuan selama Januari hingga Oktober 2021.
Sahkan RUU TPKS
Upaya pencegaahan pun mengalami tantangan, permendikbud yang mencoba mengupayakan perlindungan korba, tidak sedikit kelompok yang menolak dengan berbagai arugumen yang sama sekali tidak empatik terhadap korban yang terus berjatuhan. Begitu juga upaya RUPKS yang berubah menjadi RUUTPKS rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual, tidak sedikit yang menghambat untuk tidak sahkan.
Dari fakta-fakta kekerasan dan fakta-fakta upaya yang penuh tantangan, menggmbarkan bahwa cara pandang patriarkhi dan budaya feodal dimasyarakat kita masih cukup kuat. Pemahaman agama yang doktrinal dan cara pandang budaya yang mensubordinat perempuan masih melekat pada pemahaman sebagian tokoh agama, bahkan terus dikampanyekan praktik-praktik mensubordinatnya, bahkan menjadi program yang seolah menuju pada indikator ketaatan pada agama. Isu kesetaraan gender seolah ahenda terkutuk oleh sebagian kelompok masyarakat, seolah akan memberlakukan kebebasan tanpa norma, walau argumentasi keagamaan yang memperkuat kesetaraan gender terus digelorakan dengan berbagai riset dan kajian.
Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga di mana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.
Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)-perempuan dan laki-laki-untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. []