Mungkin kita bisa sedikit optimis dengan pembenahan yang telah dilakukan Pemerintah, terutama berkaitan dengan peraturan ketenagakerjaan. Namun seiring dengan itu, siapa sangka perdagangan orang (human trafficking; trafiking) tak henti mendominasi TKI. Trafiking di Indonesia terus meningkat. Modus yang dilakukan antara lain melalui pengiriman tenaga kerja keluar negeri.
Di Cirebon sendiri sejak tahun 2001 sampai akhir tahun lalu, trafiking masih menempati peringkat pertama kasus tenaga kerja di Kabupaten Cirebon. Berdasarkan data yang dihimpun Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (Jimat) Cirebon, penyebabnya karena tidak adanya perlindungan atau keselamatan bagi warga. Hal ini mengingatkan saudara-saudara kita, terutama TKW yang menjadi korban women trafficking (perdagangan perempuan), pembantu rumah tangga yang masih disiksa majikan, serta mereka yang tidak dibayar gaji sesuai perjanjian. Belum lagi mereka yang sudah berbulan-bulan di penampungan dengan perlakuan tidak manusiawi, karena harus menunggu kasusnya selesai.
Karena ketiadaan sistem perlindungan dan keselamatan bagi warga negara, angka ini dikhawatirkan akan jauh lebih tinggi. Dan ternyata benar, karena kurang memperketat perizinan perusahaan jasa TKI yang akan memberangkatkan pekerja keluar negeri, Pemerintah gagal memerangi trafiking. Terbukti trafiking meningkat, baru-baru ini sebanyak 14.848 TKI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bekerja di luar negeri (khususnya Malaysia) menjadi korban trafiking. Khususnya TKI yang direkrut melalui jalur tidak resmi (ilegal) (Sumber: Lembaga Advokasi, Eliminasi dan Pencegahan Pekerja Anak NTT hingga bulan Juni 2010).
Pendidikan Sering Diabaikan
Rata-rata TKI yang menjadi korban direkrut secara ilegal oleh para calo di desa-desa. Calo mengincar para calon TKI yang pendidikannya minim. Masalah pendidikan menjadi faktor utama maraknya TKI menjadi korban trafiking. Apalagi anak-anak usia kerja di desa tidak memiliki pengetahuan memadai. Rata-rata mereka hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD) yang berasal dari keluarga miskin, dan ingin segera mendapatkan pekerjaan. Dengan keterbatasan pendidikan inilah, banyak TKI yang menjadi korban kekerasan majikannya di luar negeri.
Karena itu Pemerintah perlu membekali pengetahuan yang memadai bagi calon TKI, untuk mengurangi potensi kekerasan fisik yang mereka alami di tempat kerja. Seharusnya TKI yang dikirim luar negeri minimal menamatkan pendidikan SMA. Sehingga yang dibutuhkan bukan hanya upaya penanggulangan kemiskinan, melainkan peningkatan pendidikan, serta perluasan lapangan kerja. Meskipun program pemberdayaan ekonomi menjadi kunci dalam mengatasi permasalahan perdagangan orang. Pemerintah jangan terlalu puas hanya dengan implementasi sejumlah program yang telah diluncurkan.
Islam Menghormati Martabat Kemanusiaan
Seperti kenyataan yang telah diperlihatkan kepada kita, persoalan yang dialami para TKI masih terus berlangsung sampai hari ini. Mereka juga masih banyak yang terperangkap dalam benang kusut trafiking. Trafiking, sebuah nama lain bagi praktik perbudakan gaya baru, trafiking sama halnya dengan perbudakan.
Ketika Islam datang, perbudakan merupakan lembaga yang telah membudaya, tidak saja di kawasan Arabia, tetapi juga merata di bagian-bagian dunia yang lain. Islam mengimbau kepada para pemilik budak untuk bersikap manusiawi terhadap budak-budak mereka, serta menjanjikan pahala yang besar kepada mereka yang memerdekakan budak mereka.
Bahkan, hukum pidana Islam mengharuskan kepada pelaku tindakan pidana tertentu untuk memerdekakan budak (tahrîr raqabah) sebagai bagian dari pembayaran “denda”. Banyak di antara budak yang telah dimerdekakan itu menjadi sahabat-sahabat dekat Nabi. Salman al-Farisi dan Bilal bin Rabah–yang dikenal sebagai muadzdzin ar-Rasul, adalah dua dari mereka.
Pembebasan perbudakan dilakukan semata-mata karena prinsip Islam mengenai penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Seperti fiman Allah SWT berikut; “Sungguh, Kami benar-benar memuliakan anak-anak Adam (manusia). Kami sediakan bagi mereka sarana dan fasilitas untuk kehidupan mereka di darat dan di laut. Kami beri mereka rizki yang baik-baik, serta Kami utamakan mereka di atas ciptaan Kami yang lain.” (Q.S. al-Isrâ’: 70).
Prinsip penghormatan dan kasih sayang, ini secara logis kemudian menjadi dasar peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika dalam berelasi antarsesama. Seperti perlunya berbuat baik, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap segala bentuk kezaliman. Bentuk-bentuk pelanggaran yang ada pada kejahatan trafiking bisa dikatagorikan sebagai tindakan kezaliman. Karena dalam perspektif Islam seperti kezaliman bisa berupa pengambilan hak orang lain, baik yang menyangkut harta benda, jiwa, maupun harga diri seseorang.
Prinsip ini juga menjadi basis dari relasi sosial dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya, seseorang tidak boleh bertindak zalim terhadap yang lain. Sebaliknya, setiap orang harus saling berbuat baik dan membantu satu sama lain. Yang kuat, misalnya, membantu yang lemah. Dalam hubungan buruh dan majikan, misalnya, Nabi menganjurkan agar para majikan segera memberikan upah buruh sebelum keringatnya kering. Para buruh juga memiliki hak, terutama hak untuk diperlakukan secara manusiawi. []
Maman Rohman adalah salah satu aktifis Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (Jimat) Cirebon. Selain bekerja untuk kemanusiaan di Fahmina-institute Cirebon, juga mengabdikan diri sebagai salah satu pengurus radio komunitas (Rakom) Q_Lan FM di Desa Klayan Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon.