Dua tahun silam, tepatnya tahun 2010, isu keperawanan pernah marak di Indonesia setelah dunia pendidikan terusik kesimpulan publik dari ekspos media tentang tingginya persentase para pelajar perempuan yang tidak lagi perawanan. Kompas.com pada 28 September di tahun itu memberitakan wacana ada sebagian pihak di parlemen yang mengusulkan untuk melakukan tes keperawanan bagi calon siswa sekolah menengah atas (SMA) ke Kementerian terkait.
Tidak kalah menarik perhatian publik, di akhir tahun 2012, baik media elektronik maupun cetak, ramai-ramai memberitakan pernikahan siri Bupati Garut Aceng HM. Fikri. Aceng menikahi anak di bawah umur. Fany Octora (FO), isterinya itu usianya kurang dari 18 tahun. Namun yang paling mengejutkan dari pernikahan siri tersebut adalah pengakuan sang Bupati bahwa perempuan yang dinikahinya sudah tidak “perawan” lagi. Bahkan seperti dilansir hampir, detik.com 28 Nopember 2012, dalam opini “ Ketika Keperawanan Dipermasalahkan”, Aceng dinilai melecehkan perempuan terkait pernikahan yang hanya berumur empat hari dan menceraikan melalui pesan singkat (SMS) setelah mengetahui perempuan muda berusia sekira 18 tahun itu tidak perawan lagi.
Istilah keperawanan memang telah digunakan sejak lama untuk menggambarkan seorang perempuan yang tidak pernah berhubungan seksual sebelum menikah. Keberadaan selaput dara yang utuh seringkali dijadikan bukti fisik dari keperawanan tersebut. Lebih jauh lagi, masyarakat di negara berkembang yang berpersepsi serta pengetahuan seksual rendah, meyakini eksistensi keperawanan ditandai dengan keluarnya darah saat malam pertama melakukan hubungan intim. Darah inilah yang dikenal dengan istilah “darah perawanan”.
Keperawanan itu sifatnya sangat personal dan awalnya bukan permasalahan moralitas. Jika ingin berbicara moralitas, tentu saja yang lebih perlu dipersoalkan adalah moralitas yang mencederai publik, satu sikap dari indivudu yang merusak hajat atau kepentingan masyarakat. Korupsi adalah contoh yang paling nyata, tindak pelakunya menyengsarakan berjuta-juta rakyat di negeri ini.
Terkadang kita terjebak pada isu perawan atau tidak perawan yang kemudian dialirkan pada politisasi tubuh dan organ reproduksi perempuan. Kalau kita lihat dan kita amati, ini sangat konservatif dan patriakhi.
Seseorang dalam kondisi perawan atau tidak adalah ruang privat. Status perawan juga tidak menjamin baik-buruknya perilaku. Hal ini jika kemudian dilakukan upaya untuk membuktikan seseorang dengan tes keperawanan. Apakah jika seorang yang tidak perawan itu perilakunya buruk belum tentu atau sebaliknya, belum tentu juga.
Wimpie Pangkahila, dari Fakultas Kedokteran Univertas Udayana Bali, memaparkan bahwa darah perawan itu sebenarnya hanya mitos belaka. Pakar Andrologi dan Seksologi dalam makalahnya tentang kesehatan reproduksi, ada kondisi tertentu dimana perempuan tidak mengeluarkan darah pada saat berhubungan seksual. Meskipun dia belum melakukan hubungan tersebut sebelumnya sama sekali.
Wacana tes keperawanan merupakan satu bentuk pelanggaran konstitusional terhadap perempuan. Wacana ini sendiri perlu dikaji ulang, bahkan sejak awal sudah diprediksi akan mengakibatkan banyak masalah. Setidaknya ada beberapa indikasi pelanggaran yang perlu diperhatikan dengan cermat dari wacana ini: Pertama, Uji keperawanan hanya kepada perempuan adalah tindakan yang berat sebelah, tidak adil, dan jelas diskriminatif. Kalau memang hal masalah uji-menguji keperawanan adalah urgent, kenapa tidak diberlakukan untuk laki-laki juga. Hingga nanti akan nada juga uji keperjakaan.
Kedua, jika perempuan yang ditest keperawanannya terbukti tidak perawanan, maka perempuan tersebut tidak mendapat akses pendidikan. Jika benar demikian, pendidikan di negara ini hanya menjadi hak warga negara laki-laki dan perempuan yang perawan saja. Ini jelas inkonstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin pendidikan bagi setiap warga negara tanpa memandang apakah dia perawan atau tidak. Wallahu’alam
*Turisih Widyowati adalah Dosen Institute Studi Islam Fahmina (ISIF) dan aktifis peduli kesehatan reproduksi (Kespro) remaja “Bayt al-Hikmah”
Sumber: Tanasul edisi 14