Khitan perempuan sampai hari ini masih merupakan isu particular yang controversial, bukan hanya dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga di berbagai negara muslim lainnya. Perdebatan mengenai isu ini terjadi lebih karena sumber-sumber Islam otoritatif baik al Qur’an maupun hadits Nabi tidak menyebutkan hukumnya secara eksplisit dan tegas. Dalam keadaan seperti ini para ulama khususnya para ahli fiqh, kemudian melakukan interpretasinya sesuai dengan pengetahuan dan perspektifnya masing-masing. Tetapi di balik itu semua, perbedaan pendapat selalu lahir karena konteks social yang berbeda. Pikiran tidak lahir dari ruang kosong. Ia selalu merupakan refleksi dari ruang dan waktu.
Sepanjang pembacaan saya atas literature fiqh mengenai isu ini, bahkan juga dalam banyak isu, perdebatan-perdebatan di antara para ahli fiqh lebih banyak berpusat pada teks. Mereka menganalisis dan menggunakan teks sebagai dasar untuk memutuskan segala hal. Teks dalam tradisi masyarakat muslim menjadi siklus dan sentral bagi berbagai diskursus keagamaan dan sosial. Penelitian atas fakta-fakta dan analisis medis atasnya jarang sekali dikemukakan. Padahal penelitian empiris dan analisis medis dalam kasus yang menyangkut organ reproduksi ini menjadi sangat menentukan untuk mendasari suatu kebijakan dan keputusan hukumnya. Imam al Syafi’i (w. 204 H), ahli fiqh besar, sesungguhnya sudah mengawali metode penelitian empiris (istiqra) tersebut untuk kasus-kasus reproduksi.
Akan tetapi ulama Islam sepakat bahwa khitan baik untuk laki-laki maupun perempuan merupakan tradisi yang telah berlangsung dalam masyarakat kuno untuk kurun waktu yang sangat panjang. Sebelum Nabi lahir, tradisi ini berkembang di berbagai kebudayaan dunia. Khitan adalah “sunnah qadimah” (tradisi kuno). Kenyataan ini menunjukkan bahwa Islam tidak menginisiasi terhadap tradisi ini. Dalam banyak ajaran, Islam mengakomodasi tradisi sebelumnya, tetapi dalam waktu yang sama ia juga mengajukan kritik, koreksi dan transformasi ke arah yang lebih baik, jika praktik-praktiknya belum sejalan dengan misi dan visi Islam, yakni kemaslahatan dan kerahmatan semesta.
Khitan Perempuan adalah Khifadh
Secara literal khitan berarti memotong. Dalam terminology ahli fiqh Islam khitan adalah memotong kulit yang menutup kepala penis (hasyafah) untuk laki-laki, dan memotong daging bagian ujung klitoris perempuan. Al Mawardi, seperti dikutip Ibnu Hajar al Asqallani, mendefinisikan khitan perempuan sebagai “pemotongan kulit yang berada di bagian atas kemaluan perempuan, di atas pintu masuknya penis, semacam biji atau jengger ayam jago”1. Dalam fiqh, sebenarnya ada istilah tersendiri untuk menyebut khitan perempuan, yakni ”khafdh” atau ”khifadh”. ”Khifadh” merupakan kata asli (hakikat) untuk khitan perempuan. Ibnu Abidin mengatakan “La Yuqalu fi haqq al Mar’ah Khitan, wa Innama Yuqalu Khifadh” (untuk perempuan tidak boleh disebut ‘khitan’ melainkan ‘khifadh’).2
Dengan begitu, penyebutan kata ”khitan” untuk perempuan sebenarnya bukanlah makna hakikatnya, melainkan bahasa metaforis (majaz), atau li al ghalabah (diikutkan dalam khitan laki-laki, dikalahkan oleh laki-laki).
Penamaan “khifadh” untuk khitan perempuan ini menarik dan penting dikemukakan, karena ia memperlihatkan makna yang berbeda dari apa yang sering dikesankan atau dibayangkan banyak orang tentang khitan (pemotongan). Khifadh, secara literal berarti mengurangi (to reduce), menyederhanakan (minimize), mengambil sedikit (akhdz al yasir/take easy) dan pelan (lower). Dalam hal ini mungkin lebih tepat diterjemahkan “menggoreskan” atau “menorehkan”. Pemaknaan ini tentu jauh dari apa yang disebut memotong atau menggunting. Terma khifadh (khitan perempuan) dengan begitu bukanlah clitoridektomi, genital mutilation, atau genital circumsisi.3
Praktik khitan dengan makna seperti ini memperlihatkan adanya kehendak untuk melakukan, kritik, perbaikan dan transformasi Islam atas praktik cultural khitan perempuan yang berlebihan (genital clitoridektomi) kepada bentuknya yang lebih ringan dan lebih halus. Dalam pengertian seperti inilah pembicaraan para ahli fiqh yang masih controversial tersebut.
Kontroversi Fiqh
Secara ringkas, kontroversi di sekitar hukum khitan perempuan muncul dalam tiga pendapat. Dr. Wahbah al Zuhaili, faqih kontemporer terkemuka dari Siria, dengan merujuk sejumlah referensi, meringkas tiga pandangan tersebut:
“Khitan laki-laki menurut pandangan mayoritas mazhab Hanafi dan Maliki adalah sunnah muakkadan (sangat dianjurkan), dan khifadh adalah suatu kehormatan, yakni menggores sedikit kulit bagian atas pada vagina perempuan dan disunnahkan tidak berlebihan, agar tetap merasakan kenikmatan hubungan seksualnya. Imam Syafi’I dan mayoritas pengikutnya berpendapat wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara Imam Ahmad, berpendapat khitan adalah wajib bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan”.4
Ibnu Hajar al Asqallani menginformasikan bahwa hukum khitan perempuan dalam mazhab Syafi’i tersebut sesungguhnya tidak diikuti secara bulat. Sebagian ulama mazhab ini berpendapat khitan perempuan tidak wajib. Sebagian lagi hanya mewajibkan terhadap perempuan yang ujung klitorisnya cukup menonjol, seperti umumnya perempuan pada masyarakat Timur.5
Dari informasi Wahbah dan Ibnu Hajar di atas, tampak jelas bahwa mayoritas ahli hukum Islam besar berpendapat khitan perempuan bukan hanya tidak wajib, malahan juga tidak sunnah. Ia hanya suatu kehormatan belaka (makrumah). Makrumah adalah istilah yang tidak lazim dalam katagori hukum yang diperkenalkan para ahli hukum Islam. Dari sini para ulama kemudian memberikan interpretasi yang beragam, tetapi tidak satupun memasukkannya dalam katagori wajib. Sebagian mengidentikkan dengan sunnah atau mustahab (disukai). Sementara sebagian yang lain memasukkannya dalam katagori mubah (boleh).
Saya kira interpretasi Syeikh Yusuf al Qardhawi atas arti “makrumah” adalah menarik sekali. Katanya:
“Yang dimaksud “makrumah” (kehormatan bagi perempuan) adalah bahwa ia merupakan sesuatu (praktik) yang dianggap baik menurut tradisi masyarakat. Sungguh, tidak terdapat teks agama, yang mewajibkan maupun yang menganjurkan (men-sunnah-kan). Ini merupakan perkara yang bisa berubah-ubah. Tradisi yang dipandang terhormat dalam suatu masa atau suatu tempat, tidak selalu terhormat untuk masa atau tempat yang lain. Oleh karena itu, kita dapat melihat (memahami) sejumlah wilayah kaum muslim tidak mengkhitankan kaum perempuannya, seperti negara-negara di Teluk Arabia dan semua negara bagian utara Afrika”.6
Pandangan Syeikh al Qardhawi ini semakin menjelaskan kepada kita bahwa khitan perempuan bukanlah bagian dari keputusan agama, melainkan keputusan tradisi, adat istiadat atau budaya. Dengan begitu, ia berlaku kondisional dan kontekstual. Jadi bukan praktik yang berlaku tetap dan di segala zaman.
Sumber Legitimasi
Pertanyaan penting kita adalah dari mana kontroversi hukum khitan di atas muncul. Al Qur’an, sebagai sumber utama Islam, sama sekali tidak menyebutkan isu khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Sejumlah ulama menolak pernyataan ini, sambil mengatakan bahwa khitan disebutkan secara implisit dalam al Qur’an melalui ayat: ”hendaklah kamu (Muhammad) mengikuti ”millah” (agama) Ibrahim”.(Q.S. al Nahl, [16; 123). Menurut mereka di antara ”millah” Ibrahim adalah ”khitan”. Ini merujuk pada hadits Sahih Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Ibrahim berkhitan pada usia 80 tahun.7
Sepanjang yang dapat terbaca dalam banyak buku tafsir, para ahli tafsir tidak membicarakan, mengurai atau bahkan tidak juga menyinggung sama sekali soal khitan. Ayat ini tengah membicarakan mengenai hal-hal fundamental dan pokok dalam doktrin agama, seperti tentang keyakinan Tauhid atau cara Manasik Haji Nabi Ibrahim. Al Qurthubi (w. 671 H) menjelaskan: “Ibnu Umar mengatakan, melalui ayat ini Nabi Muhammad diperintah untuk mengikuti manasik haji Nabi Ibrahim. Al Thabari (w. 923 M) mengatakan ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad untuk membebaskan diri dari penyembahan berhala dan kepasrahan kepada Tuhan. Pendapat yang sahih adalah bahwa ayat ini menunjukkan perintah Tuhan kepada Muhammad untuk mengikuti keyakinan Ibrahim dan bukan hal-hal particular (furu’)”.8
Fakhr al Din Al Razi (1150-1210 H), ahl tafsir besar, mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah bahwa Tuhan memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengikuti metode Nabi Ibrahim dalam menyampaikan dakwahnya tentang Ke-Maha-Esaan Tuhan (Tauhid), yakni dengan cara halus, lembut, memudahkan dan dengan berbagai argument rasional sejauh yang bisa dilakukan, sebagaimana ditunjukkan al Qur’an dalam ayat yang lain.9 Ibnu Katsir (w. 1343 M), ahli tafsir besar lain menyebutkan bahwa “di antara kesempurnaan, keagungan, keikhlasan Ibrahim mengesakan Tuhan dan cara yang dilakukannya, Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), agar mengikutinya”.10
Atas dasar itu, Syeikh Yusuf al Qardhawi, ulama terkemuka, mengatakan: “merujuk ayat ini sebagai dasar hukum khitan adalah alasan yang mengada-ada (takalluf, memaksakan). Ayat tersebut sesungguhnya bicara lebih luas dan lebih prinsipal dari sekedar bicara soal khitan. Ajakan atau perintah mengikuti agama Ibrahim adalah ajakan kepada keyakinan Tauhid dan menjauhi kekafiran atau kemusyrikan kepada Tuhan melalui argumen rasional dan ilmiyah (al hikmah wal hujjah).11
Jelas sudah bahwa khitan tidak memperoleh perhatian yang penting dari al Qur’an. Karena tidak terdapat satu ayatpun yang menyebutkannya baik bagi laki-laki maupun perempuan. Bagaimana dengan Hadits Nabi saw? Dari sejumlah hadits yang digunakan untuk menjustifikasi khitan, ada dua hadits yang secara eksplisit menyebut tentang khitan perempuan. Hadits yang lain tidak secara jelas menunjuk pada khitan perempuan, melainkan lebih untuk khitan laki-laki, meskipun sejumlah ulama, terutama yang pro khitan perempuan, menjadikannya sebagai dasar legitimasi.
Hadits pertama dari Ummi ‘Athiyyah al Anshariyah:
”Bahwa ada seorang perempuan juru khitan para perempuan di Madinah. Nabi Saw mengatakan kepadanya: “Jangan berlebihan, karena ia (bagian yang dipotong) menyenangkan bagi perempuan (isteri) dan paling disukai suami. Pada riwayat lain Nabi mengatakan: “potong ujungnya saja dan jangan berlebihan, karena ia sangat menyenangkan dan bagian yang disukai suami”. (HR. Abu Daud).
Hadits ini selain diriwayatkan Abu Daud, juga oleh Imam Ahmad dan Imam al Baihaqi. Ahli Hadits terkemuka Zain al Din al Iraqi dalam catatan kaki atas Ihya Ulum al Din, karya Imam al Ghazali, menyatakan bahwa semua perawi hadits ini lemah (dha’if)12. Abu Daud sendiri menilai hadits ini “laisa bi al qawiy” (tidak kuat, lemah), sebab Muhammad bin Hassan, salah seorang perawi hadits “majhul” (tidak dikenal).13
Hadits kedua disampaikan Abu Hurairah: “Nabi berkata:”Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan suatu kehormatan bagi perempuan”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi.14
Imam al Syaukani (w. 1255 H) menyatakan hadits ini dha’if (lemah, tidak valid), karena Hajjaj bin Artha’ah, perawinya, seorang mudallas, yakni sering mengelirukan riwayat hadits. Para ahli hadits dan ahli fiqh mengatakan hadits yang disampaikan seorang mudallas tidak dapat diterima sama sekali (la tuqbal riwayatuhu bi Haal)15. Yakni tidak dapat dijadikan argument hukum.
Ibnu Mundzir menyampaikan kata pamungkas bahwa: “tidak ada satupun hadits yang bisa dijadikan rujukan untuk menjustifikasi khitan dan tidak ada satupun sanad haditsnya yang bisa diikuti”16. Penilaian yang sama juga dikemukakan Sayed Sabiq: “Semua hadits yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah lemah, tidak ada satupun yang sahih”17.
Dewasa ini pendapat Ibnu Mundzir dan Sayed Sabiq tersebut didukung dan disuarakan oleh sejumlah ulama terkemuka, antara lain Muhammad Sayed Thantawi, Grand Syekh Universitas Al Azhar, Kairo; Dr. Ali Gom’ah, Ketua Dewan Fatwa Mesir; Syeikh Yusuf al Qaradhawi, Ketua Ulama Islam Internasional dan lain-lain.
Sampai di sini khitan perempuan, jika kita mengikuti pandangan mayoritas ulama, berada dalam posisi bebas (mubah). Teks-teks mengenainya tidak cukup bisa menyelesaikan masalanya. Pada kondisi itu (mubah) baik atau buruk, dan bermanfaat atau tidak perlu ditinjau dari aspek lain. Suatu keputusan hukum haruslah dipahami tujuannya dan ia hanya dapat diterima jika melahirkan manfaat bagi manusia.18 Saya kira aspek lain dalam hal ini adalah melihat praktik khitan perempuan menurut kenyataan empirisnya di satu sisi dan pengalaman perempuan di sisi yang lain. Kenyataan empiris adalah menentukan. Imam Fakhr al Din al Razi dalam bukunya yang terkenal “Al Mahshul fi ‘Ilm Ushul al Fiqh” mengatakan: “Ketahuilah, bahwa tidak ada jalan lain untuk memperoleh suatu keyakinan atas suatu makna tertentu dari dalil-dalil bahasa, kecuali jika didukung oleh bukti-bukti lain yang memberikan keyakinan, baik berupa bukti-bukti empiris (musyahadah) maupun berupa informasi yang ‘mutawatir” (recurrence)”.19 Mendengar suara (pengalaman) perempuan juga signifikan, karena dialah pihak yang mengalami dan merasakan.
Khitan Perempuan: Untuk Apa?
Pertanyaan krusial yang tersisa adalah untuk apa khitan perempuan? Untuk menjawab ini saya kira hadits-hadits di atas menarik untuk dianalisis dari beberapa sisi. Pertama, adalah kata-kata Nabi kepada juru khitan perempuan: ”la tunhiki” (janganlah berlebihan). Yakni jangan berlebihan memotong clitorisnya. Pernyataan Nabi ini menurut saya adalah kritik beliau terhadap praktik khitan perempuan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Arabia bahkan juga dalam tadisi di berbagai tempat lain di dunia pada masa itu.
Dengan pernyataan itu, Nabi Muhammad tampaknya sedang melakukan proses perbaikan dan transformasi kultural melalui pendekatan gradual dalam bentuk reduksi atas tradisi tersebut, sebagaimana sudah disebutkan di atas. Ada kesan kuat dari pernyataan itu bahwa Nabi menginginkan penghapusan praktik khitan perempuan ini meski dengan cara yang paling sederhana sekalipun. Akan tetapi beliau menyadari sepenuhnya bahwa tradisi ini tidak mudah dihapuskan seketika, karena praktik itu telah sangat lama mengakar dalam tradisi dan budaya masyarakatnya. Penghapusan seketika atasnya, sangat mungkin dapat menimbulkan resistensi dan reaksi keras masyarakat, bahkan boleh mereka akan menentang misi utamanya, yakni Tauhid.
Argumen ini bukanlah hal asing dan mengada-ada. Metode transformasi gradual dengan cara mereduksi bertahap selalu dipakai dalam al Qur’an untuk praktik-praktik tradisi dan kebudayaan yang sifatnya merugikan dan menyakiti orang, terutama mereka yang lemah dan dilemahkan. Perempuan dan anak-anak adalah entitas sosial yang paling rentan diperlakukan seperti itu. Perbudakan, minum-minuman, judi, kekerasan terhadap isteri, dan lain-lain adalah beberapa contoh saja dari banyak tradisi yang diperbaiki Nabi Saw melalui pendekatan tersebut.
Pernyataan Nabi: ”makarumah li al Nisa” (kehormatan bagi perempuan), juga merupakan bahasa budaya, bukan bahasa hukum. Dalam tradisi patriarkis, perempuan dituntut untuk selalu berada di bawah kendali laki-laki/suami, terutama dalam perkara seksual. Klitoris adalah bagian dari organ reproduksi yang memiliki daya sensitifitas seksual tinggi yang melahirkan hasrat-hasrat libido yang kuat. Perempuan mampu mencapai pengalaman orgasme yang tak habis-habisnya”, melalui erotisisme klitoral. Karena itu pembiaran organ ini tetap ada atau menonjol, bisa ”membahayakan” laki-laki. Dan laki-laki dalam tradisi patriarkhis tak boleh dikalahkan perempuan, karena akan berakibat fatal bagi perempuan sendiri. Maka dalam pandangan tradisi adalah kehormatan bagi perempuan untuk memotong klitorisnya agar tidak bisa mengalahkan laki-laki/suami, meski harus mengalami pelukaan atas bagian tubuh yang penting itu sekaligus juga kedukaan psikologis. Jadi kata ”makrumah” merupakan bahasa persuasif dan akomodatif Nabi terhadap budaya yang sedang berlangsung itu, tetapi dalam waktu yang sama juga mereduksinya.
Ucapan Nabi Saw: ”fa innahu ahzha li al mar’ah wa ahabb li al ba’l”, memperlihatkan bahwa clitoris adalah organ yang membahagiakan perempuan dan menyenangkan laki-laki (suami). Identik dengan makna kalimat ini adalah ”fa innahu anwar li al wajh wa ahzha ’ind al Rajul”. Yakni bahwa clitoris adalah bagian tubuh yang membuat wajah perempuan berseri-seri, kalimat yang menunjukkan kenikmatan, dan menyenangkan laki-laki/suami. Dari sini tampak jelas bahwa Nabi sebenarnya sedang mengingatkan masyarakat bahwa clitoris perempuan adalah bagian tubuhnya yang amat berharga, karena ia memberikan kenikmatan seksual bagi kedua pihak, laki-laki (suami) dan perempuan (isteri). Seharusnya bahasa persuasi Nabi yang indah tersebut dapat dipahami sebaik-baiknya, dengan membiarkan bagian tubuh perempuan yang menjadi sumber kenikmatan kedua jenis kelamin tersebut tumbuh apa adanya, tanpa dipotong atau digores oleh benda tajam apapun. Dengan begitu relasi laki-laki dan perempuan/suami-istri akan menjadi indah.
Sebagian pandangan menyebut khitan perempuan diperlukan sebagai upaya pengendalian perempuan atas nama moral. Mereka mengatakan bahwa klitoris perlu dipotong agar hasrat libido perempuan tidak menjadi liar. Ini memperlihatkan pandangan negative karena perempuan sejak masa bayi sudah dianggap sebagai makhluk yang berpotensi mengumbar nafsu seksualnya. Jelas sekali bahwa pandangan ini telah merendahkan martabat dan kehormatan perempuan. Sesungguhnya tidak ada bukti bahwa perempuan tanpa khitan selalu memperlihatkan keliaran dan kebinalannya. Sebagaimana juga perempuan yang dikhitan, tidak liar atau binal. Tidak ada relevansi moralitas yang niscaya antara tubuh dan hasrat seksual. Saya kira pandangan atau lebih tepat disebut mitos tersebut, khas budaya patriarkhi, sebuah budaya di mana pendefinisian atas soal-soal kehidupan dibuat untuk kepentingan laki-laki.
Jika demikian, maka yang tersisa adalah pertanyaan apakah manfaat yang diperoleh perempuan manakala dia dikhitan?. Apakah khitan yang nota bene adalah pelukaan atas bagian tubuh perempuan dan reduksi atas kebahagiaannya, membawa manfaat bagi kesehatan reproduksi perempuan, sebagaimana yang diperoleh pada khitan laki-laki? Bagaimana pula dengan pemenuhan hak-hak seksual perempuan sendiri di kemudian hari, manakala sudah dewasa? Sepatutnya kedua pertanyaan ini memperoleh jawabannya dari para ahli medis, genecolog, sexolog dan para psikolog. Dan tak kalah pentingnya juga adalah mendengarkan suara perempuan sendiri.
Sebelum tim medis dan para ahli tersebut menjawab, saya kira menarik untuk mengemukakan pandangan beberapa sarjana muslim kontemporer terkemuka. Antara lain adalah Syeikh Dr. Yusuf al Qaradhawi. Dalam makalah berjudul “al Hukm al Syar’i fi al Khitan al Inats” yang disampaikannya pada sebuah seminar Internasional di Kairo, Nopember 2006, dia mengatakan:
إذا كان قطع هذا الجزء من جسم المرأة، يترتَّب عليه أذى أو ضرر معيَّن لها، في بدنها أو نفسها، أو يحرمها من حقٍّ فطري لها، مثل حقِّ المتعة الجنسية مع زوجها, وحقِّ (الارتواء الجنسي)، الذي جعله الله لبنات حواء بمقتضى الفطرة التي فطر الله الناس عليها: كان ذلك محظورا شرعا، لأنه ضرر على المرأة أو الأنثى، فرض عليها بغير إرادتها، والإسلام يُحرِّم الضرر والضرار، لهذا كان من القواعد الفقهية المتفق عليها بين جميع الفقهاء: لا ضرر ولا ضرار، وهي نص حديث صحَّحه العلماء بمجموع طرقه، وهو تطبيق لمجموع نصوص قرآنية تمنع الضرر والضرار.
”Apabila pemotongan bagian tubuh perempuan ini menyakitkan atau menderitakannya baik secara fisik maupun psikologis ditambah bahwa dengan itu perempuan terhalang memperoleh hak fitrahnya (hak asasinya), berupa kenikmatan hubungan intim dengan suaminya, dan hak-hak seksualnya yang merupakan anugerah Tuhan itu, maka ia adalah haram. Karena hal itu berarti melukai tubuh perempuan, suatu praktik yang sebenarnya tidak dikehendakinya. Islam mengharamkan tindakan melukai diri sendiri dan atau orang lain. Kaedah fiqh yang disepakati ulama menyatakan : ”tidak boleh melukai diri sendiri dan orang lain”. Ini adalah hadits Sahih (valid), dan itu merupakan operasionalisasi dari teks-teks al Qur’an yang melarang tindakan-tindakan yang menyakiti.20
Pandangan serupa disampaikan oleh Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, Menteri Wakaf Mesir. Dia mengatakan dengan sangat tegas:
“أن ختان الإناث اعتداء على الأنثى وليس له أي مبرر عقلي أو شرعي في الإسلام، فهو عادة قديمة توقع نوعا من الضرر المضاعف على الجسد والنفس معا”.
”Khitan perempuan adalah pelanggaran terhadap hak perempuan. Ia tidak memiliki dasar pembenarannya baik dari logika rasional maupun hukum Islam. Khitan perempuan adalah tradisi kuno yang bisa menimbulkan madarat (bahaya) berganda atas tubuh dan psikologi perempuan”.21
Dr. Raja Muhammad, Ahli Kesehatan Reproduksi dari Universitas Al Azhar, Kairo, juga berpendapat serupa. Dia mengatakan dengan tegas bahwa :
أنه لا توجد أية فوائد صحية لختان الإناث، وأنه لا توجد أي ضرورة طبية يمكن أن تجعل الفتاة تلجأ لطبيب كي يجري لها عملية الختان.
“Khitan bagi perempuan sama sekali tidak ada manfaat bagi kesehatannya. Tidak juga ada kondisi emergensi yang mengharuskan perempuan pergi ke dokter untuk menjalani khitan”.22
Puncaknya adalah pernyataan ketua Dewan Fatwa Mesir, Dr. Ali Gom’ah. Ia memutuskan bahwa khitan perempuan adalah haram. Fatwa ini dikeluarkan menyusul kematian anak perempuan; Budur Ahmad Syakir, setelah dikhitan seorang dokter perempuan. Keputusan ini didukung oleh Grand Syeikh Al Azhar University; Syeikh Sayyed Thantawi. Akan tetapi ia segera menyadari bahwa isu ini lebih berkaitan dengan disiplin biologis dan dunia kedokteran, karena itu ia mempercayakan sepenuhnya kepada para ahli di bidang tersebut. Hampir semua surat kabar Mesir, tanggal 24 Juni 2007 melansir fatwa ini.
Kasus kematian Budur tersebut telah memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Sekjen Komisi Nasional Mesir untuk Perlindungan Anak dan Ibu, organisasi-organisasi kesehatan reproduksi dan para aktifis perempuan mendesak Pemerintah agar segera mengeluarkan undang-undang yang memberikan sanksi terhadap pelaku praktik Khitan Perempuan. Mereka memandang praktik ini sebagai pelanggaran terhadap kesehatan anak, hak-hak asasi manusia dan hak-hak seksualitas perempuan.
Saya kira pemerintah memang berkewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warga negaranya tanpa diskriminasi dari segala bentuk kekerasan atas nama apapun dalam rangka mewujudkan kemaslahatan mereka. Kaedah fiqh menyatakan : ”Tasharruf al Imam ’ala al Ra’iyyah Manuthun bi al Mashlahah” (Tanggungjawab Pemerintah terhadap Rakyatnya adalah menjamin kemaslahatan mereka).
Wallahu A’lam. Wa Ma Taufiqi illa Billah ’Alaihi Tawakkaltu wa Iilaihi Unib.
- Ibnu Hajar al Asqallani, Fath al Bari fi Syarh al Bukhari,Dar al fikr, Beirut, 1414 H. 1933 M, juz XI, h. 530.
- Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al Muhtar, Dar al Fikr, Beirut, 1979, VI, h. 751.
- Dalam beberapa kebudayaan dunia lama, praktik khitan perempuan dilakukan dengan cara menghilangkan sebagian atau bahkan seluruh kulit clitoris (clitoridectomy). Lebih buruk daripada itu adalah praktik khitan perempuan pada masa Firaun, atau yang biasa disebut ”Pharaonic Circumcision”. Tradisi khitan perempuan pada masa ini dilakukan dengan pemotongan sejumlah jaringan kelamin dan penghilangan semua labia minora nya. Jauh lebih kejam dari khitan perempuan ala Firaun ini adalah apa yang disebut ”Infibulation”. Ini sebuah praktik khitan perempuan dengan cara menghilangkan seluruh bagian alat kelamin, klitoris, labia mayora dan labia minora. (Baca: Munawar Ahmad Anees, ”Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia; Etika, Gender, Teknologi”,(Rahman Astuti, pent.), Mizan, Bandung, cet. V, 1995).
- Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Dar al Fikr al Mu’ashir, Beirut, cet. IV, 2004, h. 2751-2752. Baca: Ibnu Qudamah, Al Mughni, Dar al Hadits, Kairo, 2004, Vol. I, h. 107. Al Nawawi, Syarh Majmu’,
- Ibnu Hajar Al Asqallani, Fath al Bari, Dar al Fikr, Beirut, 1933, Juz XI, h. 531. Baca juga; Aun al Ma’bud, IV, h.123-124.
- Yusuf al Qaradhawi, www.qaradawi.net/
- Al Syaukani, Nail al Awthar, Dar Fikr, Beirut, cet. II, 1983, vol. I, h.139
- Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Dar al Kutub al Ilmiyyah, Beirut, 1993, Vol. V, h. 130.
- Fakhr al Din al Razi, Al Tafsir al Kabir, Dar al Kutub al Ilmiyyah, Beirut, Cet. I, 2000, Vol. X, h. 109
- Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Juz IV, h. 524.
- Yusuf al Qaradhawi, www. Qaradawi.net/
- Zain al Din al Iraqi, Al Mughni ‘an Haml al Asfar, Dar al Ma’rifah, Beirut, 1982, Juz I, h. 142.
- Abu Daud, Al Sunan, Kitab al Adab, No. Hadits 5271, Dar al Fikr, Beirut, Juz IV, h. 368.
- Ahmad bin Hanbal, Al Musnad, Juz V, h. 75. Al Baihaqi, al Sunan al Kubra, Juz VIII. H. 324-325.
- Ibnu Shalah, Muqaddimah,
- Al Syaukani, Nail al Awthar, Dar al Fikr, Beirut, Cet. II, 1983, vol. I, h. 139.
- Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Dar al Kitab al Arabi, Beirut, cet. VIII, 1987, vol. I, h. 36
- Al Amidi, dalam Al Ihkam fi Ushul al Ahkam, vol. III, h. 411, mengatakan : “Anna Aimmah al Fiqh Mujma’ah ‘ala Anna Ahkam Allah la Takhlu min Hikmah wa Maqshud” (Para Imam Fiqh sepakat bahwa hokum-hukum Allah tidak sepi dari kebijaksanaan dan tujuan).
- Al Razi, Al Mahshul fi ‘Ilm al Ushul, ed. Adil Ahmad Abd al Mawujud dan Ali Musthafa al Mu’awwadh, Maktabah Nizar Musthafa al Baz, Makkah, vol. I, h. 237
- Pernyatan ini disampaikan Syeikh Yusuf al Qaradhawi dalam seminar Ulama Internasional bertema: “Menuju Pelarangan Pelukaan Tubuh Perempuan”. Seminar ini diselenggarakan oleh Dewan Fatwa Mesir, pada Nopember 2006 di Kairo. Seminar dimaksudkan untuk mengetahui pandangan islam yang benar tentang perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan. Buka : www. Qaradawi.net/
- Buka : www. Islamonline.com. Tulisan Subhi Mujahid.
- Ibid.
Cirebon, 10 Desember 2009
Makalah disampaikan pada “Seminar to Address the Practice of Female Genital Mutilation in Indonesia and GOI commitments to CEDAW”, on December 14, 2009 at Sari Pan Pacific Hotel Jakarta, Indonesia.