Selasa, 24 Desember 2024

Khutbah yang Menggugah

Baca Juga

Kalau Anda mengidap insomania, penyakit sulit tidur, khadirilah khutbah Jumat, niscaya Anda akan tertidur nyenyak. Anekdot ini merupakan sindiran terhadap realitas masyarakat dalam mengapresiasi khutbah Jumat. Padahal, ia merupakan media strategis untuk dakwah Islam karena bersifat rutin dan dihadiri kaum Muslimin dalam jumlah banyak, bahkan yang tidak pernah salat di masjid pun, dalam seminggu satu kali itu hadir untuk salat berjemaah dan mendengarkan khutbah Jumat.

Dua hal yang jadi perhatian kita: kualitas penyampai khutbah atau khatib dan materi khutbah. Pertama, seorang khatib seyogianya sosok yang mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan baik dan menarik (mutakallim baligh), memberi pengaruh positif dan perubahan signifikan. Tidak cukup hanya dengan modal retorika bagus, jiwa patriot dan semangat membara. Lebih dari itu ia harus memuat petunjuk ilmu, manhaj yang benar, kaidah, dan penguasaan terhadap materi khutbah. Faktor ini sangat menentukan keberhasilan seorang yang hendak berkhutbah. Dalam bahasa al-Hikam karya Ibn Atha’illah al-Askandary, seorang penulis sufi terkenal, sosok itu adalah yang perilakunya mampu membangkitkan sebuah kesadaran terhadap Allah dan ucapannya menunjukkan pada jalan yang benar. Oleh karena itu, tegas Beliau, laa tashhab man laa yunhidhuka ilaa Allahi haaluhu, wa laa yadulluka ilaa Allahi ahwaluhu. Artinya ‘ Janganlah kau mendekati orang yang perilakunya tidak menggugah kesadaranmu pada Allah, dan ucapannya tidak menunjukkanmu pada jalan Allah’.

Seorang khatib sebagai penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran, amar makruf nahi mungkar, adalah seorang yang mempunyai kepekaan sosial terhadap kehidupan kemasyarakatan yang riil. Dengan demikian, kutbah Jumat bisa menjadi gerakan advokasi kebijakan publik, yang di satu sisi dapat memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan bangsa dan negara yang lagi terpuruk ini. Dan di sisi lain, akan memberikan penyadaran dan kesadaran kritis terhadap masyarakat Muslim pada umumnya. Yang dibutuhkan adalah khatib yang berakhlak mulia, berkomunikasi dengan baik dan menarik serta menyampaikan isi khutbah yang objektif, adil, dan sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Darinya, akan hadir sebuah khutbah yang menggugah dan mengubah.

Kedua, materi khutbah sering dijadikan kambing hitam para nuwwam (orang yang tidur) saat khutbah. Tema yang kedaluwarsa, monoton dan berputar-putar karena tidak sistematis mengakibatkan orang malas mendengarkan khutbah. Bahkan, mimbar Jumat kadang berubah menjadi mimbar ghibah yang menghujat dan menebar fitnah. Para khatib (khutaba’) dan pengurus masjid harus banyak belajar memilah dan memilih materi khutbah agar menjadi media pencerdasan dan pemberdayaan umat.

Paling tidak, ada empat tema penting yang harus diangkat dalam khutbah: takwa, tauhid, adil, dan mushtadh’afin. Pertama, takwa secara harfiah memiliki arti “mencegah”, “menjaga diri”, atau “melindungi”. Ajaran ketakwaan seharusnya mendorong kita untuk melakukan pembebasan –melindungi, mencegah, menjada diri– baik pada tahap individu-personal ataupun kelompok-organik agar mampu melakukan perubahan menuju umat yang dapat berdiri tegak menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, menjaga nilai hak kebebasan, memperteguh nilai kejujuran, serta adanya integritas yang universal, baik kepada Sang Khalik maupun sesama makhluk-Nya. Komitmen ketakwaan harus terwujud dalam gerakan perubahan sosial sehingga dapat memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak sipil yang termarginalkan, seperti melindungi dan mengadvokasi hak-hak buruh atau TKW; memberikan kebijakan yang positif bagi anak-anak jalanan dan putus sekolah karena jeratan ekonomi (anak yatim); maupun kesamaan hak di ruang publik.

Kedua, tauhid, mengutip Asghar Ali Engginer, adalah nilai keesaan Allah. Ia mengatakan bahwa tauhid merupakan suatu kesatuan manusia (unity of mankind). Dalam konteks ini, bahwa masyarakat Muslim tidak membenarkan adanya diskriminasi dalam bentuk apa pun, agama, kelas, ras, gender, dll. Sebagaimana Rasulullah dalam menerapkan ajaran-ajarannya tanpa memandang bulu. Hanya Allah yang satu dan yang tunggal, semua makhluk harus bersatu dan manunggal.

Ketiga, keadilan selalu dihadapkan pada kata zhulm dan ‘udwan (kejahatan/penindasan dan pelanggaran), baik ketidakadilan dalam bentuk sistemik ataupun ketidakadilan dalam individu. Ambil misal, korupsi adalah sebuah kezaliman, maka dari konteks agama korupsi adalah perbuatan fasad yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya, melakukan jinayah kubro (kejahatan besar) dan kezaliman karena menghancurkan sendi-sendi tatanan kehidupan masyarakat, bahkan membahayakan keutuhan bangsa dan kehidupan manusia. Salah satu cara pemberantasan korupsi adalah mengubah cara pandang masyarakat tentang korupsi.

Keempat, ajaran kemanusiaan yang sesungguhnya adalah adanya pemihakan terhadap mustadh’afin, yaitu orang/kelompok yang tertindas, yang dianggap lemah dan tidak berarti, serta yang dilakukan secara arogan. Mustadh’afin adalah mereka yang berada dalam status sosial inferior, tersisih atau tertindas secara sosio ekonomi. Problem pendidikan, kesehatan, pengangguran, kemiskinan, seharusnya menjadi tema utama khutbah Jumat dengan merujuk terhadap inspirasi perjuangan Rasulullah.

Cinta ini yang akan membangunkan seorang khatib dari kedangkalan ilmu, kekerdilan sikap, dan ketidakpedulian terhadap lingkungan. Ia akan tampil membangunkan umat dari keterpurukan, keputusasaan, dan perpecahan menuju peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, persamaan hak. Qum fa anzir!***


Penulis, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan Jatiwangi Majalengka.

Sumber: Pikiran Rakyat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya