Senin, 23 Desember 2024

Kisah Pemuda Cirebon Mengubur Terorisme dengan Toleransi

Baca Juga

Oleh: ABDULLAH FIKRI ASHRI

Rudi Ahmad (36) berapi-api menyuarakan darurat terorisme di hadapan 20 anak muda di Pendopo Pancaniti, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (18/12/2021). “Sumbu radikalisme yang sudah menyebar ke desa-desa harus dipadamkan, sebelum meledak dan menelan korban,” kata dia.

Siang itu, di Desa Sitiwinangun, Jamblang, Rudi yang bersarung, kemeja, dan kopiah, menjadi fasilitator Program Moderasi Beragama. Kegiatan itu digelar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Cirebon dan Fahmina Institute, organisasi nirlaba yang fokus pada kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.

Pelatihan yang berlangsung sekitar tiga bulan itu dilaksanakan di depan masjid, gereja, dan wihara di Jamblang. Tujuannya, memupuk toleransi serta mencegah penyebaran radikalisme, paham yang menghendaki perubahan atau perombakan besar-besaran, mendasar, bahkan dengan kekerasan. Paham ini bisa mewujud terorisme.

Rudi memaparkan, selama 2015-pertengahan 2021, terdapat 30 pelaku terorisme berasal dari Cirebon. Sejumlah 17 orang di antaranya dari Jamblang. Ada yang ditangkap terkait bom Thamrin dan rencana bom bunuh diri di Istana Negara, Jakarta pada 2016, serta terlibat penusukan mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pada 2019.

Mendengar data tersebut, peserta terkesiap. Mata mereka melotot seakan tak percaya. Ada juga yang mengangguk, seolah paham pelaku teror tinggal di sekitarnya. Namun, beberapa lainnya mendesak fasilitator agar menyebutkan alamat pelaku. Rudi menolak permintaan itu.

Ia lalu memaparkan sejumlah indikasi intoleransi yang bisa berujung radikalisme, bahkan terorisme. Misalnya, temuan buku ajar pendidikan anak usia dini di Cirebon yang mengandung diksi granat, gegana, hingga khurafat harus diberantas.

Ciri lainnya adalah menutup diri dengan lingkungan dan kerap mengafirkan pemerintah serta orang lain, termasuk yang satu keyakinan. Pada tingkatan tertentu, mereka menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak. Jihad dipahami membunuh orang lain yang tak sepaham.

“Kalau dulu radikalis ekstremis bawa pedang. Sekarang, bawa tudingan (kafir),” ucapnya sambil menaikkan jari telunjuknya.

Beberapa tahun lalu, pandangan serupa nyaris merasuki pikiran Rudi. Tumbuh di lingkungan pesantren yang cukup konservatif, anak kesepuluh dari 11 bersaudara ini acap kali melabeli kafir sejumlah ritual, seperti ziarah kubur. Ia juga hampir ikut “perang” dalam kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah, awal 2000.

Pada 2012, ia bersama rekannya di sebuah organisasi yang mengampanyekan formalisasi syariat Islam berencana menyerang Ahmadiyah di Kabupaten Indramayu, Jabar. “Hampir 1.000 orang yang akan datang. Kami mau hancurkan (tempat ibadahnya). Tapi, enggak jadi,” ujar Rudi yang sempat menuding Ahmadiyah sesat dan harus dikembalikan ke jalan yang benar.

Ia bahkan nyaris berada di barisan pelaku terorisme. Salah satu temannya, Muhammad Syarif, adalah pelaku bom bunuh diri di Masjid Adz-Zikro, Markas Kepolisian Resor Cirebon Kota, 11 tahun silam. Syarif merupakan marbut sebuah masjid, sedangkan Rudi kala itu menjadi mahasiswa.

Keduanya kerap ikut pengajian bersama di berbagai daerah. Mereka juga acap kali menggerebek tempat penjualan miras dengan dalih mencegah kemungkaran.

Akan tetapi, Kamis malam, 14 April 2011, di Jalan Perjuangan, Kota Cirebon, menjadi pertemuan akhir Rudi dengan kawannya itu. “Kang, kalau istri saya cari, bilang aja ngobrol sama sampean,” ucap Rudi menirukan pesan Syarif, malam itu.

Keesokan harinya, 15 April pukul 12.20, peristiwa tak terduga terjadi. Syarif meledakkan diri saat Shalat Jumat di masjid Polres Cirebon Kota. Sebanyak 29 jemaah terluka, terhunjam serpihan logam, baut, dan paku.

“Saya kaget. Selama ini, dia sopan. Bahasanya saja babasan (halus). Istrinya juga waktu itu lagi hamil,” ucap Rudi tak percaya temannya jadi pelaku terorisme.

Faktanya, Syarif mengakhiri hidupnya atas nama “jihad” dengan melukai orang lain. Peristiwa ini menancap di batin Rudi. Pada saat yang sama, pergumulannya dengan Fahmina Institute mulai mengubah perspektifnya.

Sebenarnya, Rudi sudah mengenal Fahmina sejak kuliah di Institute Studi Islam Fahmina 2009. Namun, baru sekitar 2013, ia kian aktif menimba ilmu di sana. Ia merasa menemukan dirinya yang seutuhnya. Apalagi, sebelumnya, ia sempat drop out dari sebuah kampus negeri.

Saat itu, ia nyaris putus asa karena lamarannya kepada seorang perempuan ditolak. Ia juga pernah merantau keluar Cirebon, bekerja di sebuah pabrik. Namun, di Fahmina, ia berhasil menamatkan kuliah dan menemukan pandangan baru.

Misalnya, hak memeluk keyakinan, kesetaraan laki-laki dan perempuan, hingga toleransi. “Toleransi ini enggak ada batasnya. Kita sendiri yang membatasi,” kata Rudi yang mengenakan kaos bertuliskan “Kebencian membuat hidup menjadi gelap, cinta membuatnya bercahaya”.

Akan tetapi, persinggungan Rudi dengan aktivis Fahmina tidak melulu berjalan mulus. Batinnya sempat bergejolak ketika Fahmina dipandang sesat oleh sejumlah kelompok Islam di Cirebon. KH Husein Muhammad, salah satu pendiri Fahmina, misalnya, pernah mendapat cap liberal, terutama pemikirannya soal kesetaraan gender.

Tidak ingin berpolemik, Rudi sempat merahasiakan aktivitasnya di Fahmina dari keluarganya. Ketika orangtuanya bertanya tempat kuliahnya, Rudi enggan menyebutkan Fahmina. Ia juga memilih di belakang layar saat menjadi salah satu deklarator Pemuda Lintas Iman atau Pelita, yang latar belakang keyakinannya berbeda.

Hingga suatu hari, mendiang bapaknya mendengar kabar tentang kesibukannya. Ternyata bapaknya tidak marah dan hanya berpesan agar Rudi tidak macam-macam. Entah apa maksudnya. Namun, staf Fahmina Institute ini memastikan bahwa apa yang ia lakukan justru memperkuat akidahnya, bukan memperlemah. Toh, ia tetap mengaji, shalat, dan menjalankan ibadah lainnya.

Suara di kertas

Fahmina juga turut membarui pemikiran Komala Dewi (37) tentang Islam. Dia merasakan sesuatu yang belum pernah didapatkan sebelumnya.

Masuk kuliah di Cirebon, 2006, Dewi langsung didekati kelompok dakwah kampus. Mereka membantunya mencari indekos yang murah hingga aktif di unit kegiatan ekonomi mahasiswa.

Pada saat yang sama, ia diwajibkan mengikuti mentoring oleh murabbi (guru) sepekan sekali. Di sana, Dewi belajar tentang bagaimana membatasi diri dengan umat selain Islam, hingga diskriminasi peran perempuan.

“Kalau rapat, perempuan enggak boleh bersuara. Suaranya cukup pakai kertas,” kata alumnus pondok pesantren asal Bandung, Jabar ini. Ia sama sekali tak keberatan saat itu. Dewi kadung merasa punya utang jasa dengan teman dan seniornya di kelompok tersebut.

Bahkan, belakangan ia terpapar pemikiran tentang khilafah atau negara Islam untuk Indonesia. Pemerintah dan polisi dikatakan sebagai thogut, golongan yang patut diperangi.

“Teman saya mendoktrin itu di kampus, kamar, bahkan dapur,” ingatnya.

Hingga suatu hari, ia mengikuti dialog lintas agama yang digelar Fahmina. “Saya ketemu langsung dengan tokoh agama, seperti Pastur, Romo, dan lainnya. Saya lihat mereka damai banget, adem. Islam harusnya seperti ini,” ujarnya.

Ia pun rajin hadir di acara Fahmina, terlebih soal perempuan dan kesehatan reproduksi. Dewi menyukai kedua isu itu karena sangat jarang dibahas selama di pesantren dulu. Akan tetapi, lembaga dakwah tempatnya bernaung melarangnya. Kesehariannya pun terpantau oleh teman organisasinya.

“Puncaknya, kosan saya diketok kayak peristiwa penculikan G 30 S (Gerakan 30 September). Saya lalu diajak tempat sepi dan didoktrin, jangan sampai ikut Fahmina lagi,” ujarnya. Namun, hatinya menolak. Dewi tak menemukan berbagai stigma buruk tersebut di Fahmina.

“Yang saya dapatkan di sana toleransi, cinta kasih sesama. Buat mereka, kafir itu yang berbeda dari mereka. Sedangkan Fahmina mengartikan kafir orang yang tidak menerima keadilan,” paparnya.

Kini, melalui komunitas Bayt al-Hikmah, ia giat mengampanyekan kesehatan reproduksi, hak perempuan, hingga keragaman gender. Dewi juga menjadi salah satu fasilitator dalam Program Moderasi Beragama.

Direktur Fahmina Institute Rosidin membenarkan, Rudi dan Dewi sempat diselimuti keraguan saat bergabung di Fahmina. Sama dengan sejumlah anggota lainnya yang umumnya berasal dari pesantren, mereka takut keyakinannya berganti. Ternyata, kekhawatiran itu tak terwujud.

“Cara mengubah ketakutan itu ya mereka mendengarkan, memahami, dan menghargai perbedaan. Intinya, mereka juga tidak setuju menggunakan kekerasan untuk memaksakan pandangan ke orang lain,” ungkapnya.

Dewi dan Rudi menjadi contoh jalan toleransi. Bahkan, keduanya kini mencetak kader toleran. Salah satunya, Vrisca Cornelia (18), peserta Program Moderasi Beragama di Jamblang selama tiga bulan. Menjalani pendidikan dasar hingga menengah di sekolah Kristen, untuk pertama kalinya ia bertukar pikiran dengan pemuda Muslim.

Awalnya, ia melihat Islam itu radikal. Ia juga iri dengan mudahnya orang membangun masjid dibandingkan gereja. Sebagai Kristen, ia sempat merasa minoritas sedangkan Islam mayoritas sehingga masalah umat Islam bukan urusan agamanya.

“Ternyata, Islam dan Kristen itu sama-sama mengajarkan untuk mengasihi sesama. Saya mau cerita ke teman-teman gereja soal ini. Ayolah, kita harus bersuara tentang toleransi. Kita tidak bisa berjuang sendiri,” ungkapnya.

*Artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 19 rubrik Jendela Nusantara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya