“Romo Kiai”—begitu santrinya biasa memanggil—adalah orang yang konsisten memandu Nahdlatul Ulama Sesuai dengan Khittah 1926. Itu sebabnya ia masygul ketika sebagian besar pengurus Nahdlatul Ulama terjun ke politik praktis. “Praktek khittah di NU sekarang sedang macet,” kata pengasuh Pondok Maslakul Huda di Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, itu.
Kiai Sahal menyentil tindakan oknum pengurus itu lewat mekanisme organisasi. “Semua orang NU sebenarnya sudah paham gaya saya,” kata penerima gelar doktor honoris causa bidang fikih dan Universitas Islam Negeri Jakarta pada 2003 itu. “Saya bukan orang yang suka umbar omong,” kata suami Nafisah—atau dikenal dengan Nyai Sahal—anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Jawa Tengah, itu.
Pada usia 70 tahun, KH Sahal Mahfudh harus tetap bolak—balik Jakarta-Pati. Namun, selama Ramadan, ia memilih tinggal di pondok untuk mengaji bersama santri, dan menolak bepergian. “Masak, setahun enggak bisa khatam Al-Quran sekali pun,” katanya.
Ketika Arif Kuswardono dan Sohirin dan Tempo menemuinya, Sabtu pekan lalu, sejumlah santrinya mengatakan sang kiai sedang sakit. Bibir Kiai Sahal memang terlihat mengering dan pecah-pecah. Namun ia mengaku masih fit dan bugar. “Saya tidak pernah berolahraga. Resepnya mungkin karena makan saya tidak neko-neko,” ujarnya.
Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, bagaimana Anda menyikapi perseteruan antara Front Pembela Islam dan kelompok pembela Ahmadiyah, yang konon sama-sama berasal dan Nahdlatul Ulama?
Front Pembela Islam itu bukan Nahdlatul Ulama. FF1 itu didirikan oleh habaib. Jadi, FPI bukan NU, dan amaliahnya berbeda. Wong FF1 itu Wahabi kok, sementara NU itu Ahlussunnah Wal Jamaah.
Bukannya Nahdlatul Ulama juga mengakui habaib?
Wahabi itu tidak cocok dengan Indonesia, karena Wahabi hanya mengenal Al-Quran dan sunah. Yang tidak ada dalam Al-Quran dan sunah dianggap sesat. Kalau mi diterapkan di Indonesia, tidak cocok. Kita majemuk, kaya budaya dan tradisi. Sepanjang tidak bertentangan, meski tidak disebut di dalam Al-Quran atau sunah, tidak apa-apa.
Bagaimana dengan sebagian kalangan muda Nahdlatul Ulama yang membela Ahmadiyah?
Bukankah berkembangnya Ahmadiyah merupakan bentuk kegagalan dakwah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah?
Ini bukan kegagalan dakwah NU dan Muhammadiyah, karena keduanya mempunyai target dakwah masing-masing. Mereka sudah ada dan dulu, tapi belum sebesar sekarang. Dan dulu kita memang tidak berdakwah kepada mereka.
Sebagai kiai sepuh, bagaimana Anda melihat sosok Abdurrahman Wahid?
Saya kasihan kepada Durrahman. Saat ini hampir tidak ada ucapan dia yang bersih dan kepentingan orang lain. Ada orang-orang di sekelilingnya yang memanfaatkan dia. Durrahman sudah tidak bisa lagi menjadi dirinya sendiri. Tapi biarkan saja, Durrahman memang susah diingatkan. Kalau diingatkan, malah nantang. Kecuali dipancing diskusi. Jadi, cara mengingatkannya harus dengan berdebat. Kalau kita bisa mematahkan argumentasinya, baru dia akan percaya. Saya pernah melakukannya beberapa kali. Tapi dulu.
Kenapa tidak dilakukan IagI?
Bukankah Jika Partai Kebangkltan Bangsa terus bergolak, imbasnya akan menyeret Nahdlatul Ulama?
Memang tidak bisa melarang warga NU berpolitik praktis. Makanya, bagi yang ingin bersinggungan dengan politik praktis, harus mundur dan pengurus. Saya sudah berpengalaman karena pernah menjadi pengurus di Pati saat NU jadi partai. Jadi, NU tetap harus bersih dan politik praktis, karena sudah menyatakan kembali ke Khittah NU 1926, yakni NU harus berkhidmat kepada kepentingan rakyat. Meski itu juga susah sekali, bahkan saat mi jadi macet.
Mengapa macet? Karena Hasyim Muzadi (Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) pernah menjadi calon wakil presiden?
Mengapa Anda tidak menegur Hasyim?
Waktu dia mau maju sebagai calon wakil presiden, dia kan minta pendapat saya. Saya sudah ingatkan dia untuk mundur kalau mau maju. Tapi dia tidak mau mundur. Dia mau menggunakan massa NU. Waktu kemarin pemilihan Gubernur Jawa Timur, dia juga menemani Khofifah (Khofifah Indar Parawansa, calon Gubernur Jawa Timur yang lolos putaran kedua) membagi-bagi duit ke pengurus NU. Begitu tahu, saya langsung menegur dia lewat Sekretaris Jenderal PBNU. Money politics kok ditunygoni (ditunggui—Red. ) Ketua NU. Ini kan sudah kebablasan.
Anda mengaku antipolitik praktis. Tapi istri Anda sendiri kini duduk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah….
Saya sebenarnya melarang, tapi orang-orang itu terus mendesak. Saya kan tidak bisa melarang orang mencalonkan. Yang mendorong itu banyak sekali, masak tidak ditanggapi? Itu kan amanah juga? Tapi saya sudah bilang kepada istri saya, cukup sekali masa jabatan saja. Saya sendiri cukup repot tidak ada istri di pondok. Banyak soal tidak terurus. Bukannya pondok jadi telantar, tapi kan lain kalau ada istri di pondok.
Bagaimana Anda melihat tragedi pembagian zakat di Pasuruan, yang menyebabkan korban tewas 21 orang?
Sebenarnya tidak harus seperti itu. Zakat yang paling baik itu diantarkan, bukan penerimanya dipanggil. Jadi, si muzaki (wajib zakat) sudah tahu mustahik (penerima zakat) siapa saja yang akan diberi.
Apakah model pembagian zakat seperti di Pasuruan itu dibenarkan?
Bukankah pembagian zakat dengan mengundang orang bisa menimbulkan kesan na bagi si pemberi zakat?
Ya. Dan menimbulkan kesan bahwa umat Islam itu sangat melarat. Masya Allah…. Kalau zakat diantar, hal itu bisa menjaga perasaan si penerima zakat. Sekalipun mereka miskmn, tidak harus dipaksa meminta-minta. Sekalipun mereka miskin, mereka juga manusia yang harus dihormati.
Ada hadis mengatakan bersedekah itu akan mendapatkan pahala sepuluh kali lipat. Kalau sedekah sepuluh, akan mendapatkan seratus, baik pahala di dunia maupun di akhirat. Tapi ingat, pahala itu jangan semata-mata dimaknai sebagai uang. Saya selalu mempraktekkannya juga. Misalnya saya bersedekah, selalu saja akan mendapatkan ganti, meski bukan dalam bentuk uang. Misalnya, saya bersedekah, eh… tiba-tiba ada orang memberikan kain kepada saya. Tidak ada ketentuan siapa penerima sedekah. Orang kaya disedekahi juga enggak apa-apa. Menggunakan uang sedekah untuk pelatihan atau pembelian sarana sosial itu boleh. Penggunaan uang zakat dan sedekah harus dipisahkan, karena peruntukannya lain.
Bukankah sudah ada amil zakat? Kenapa masyarakat masih menyalurkan zakatnya sendirl?
Mohon maaf, ya…. Amil yang dibentuk oleh Departemen Agama itu tidak ada yang benar. Mereka tidak mampu dan tidak menguasai persoalan zakat. Mereka itu tidak tahu yang sebenarnya miskin itu apa, fakir itu apa, serta pengertian delapan kelompok penerima zakat. Mereka juga tidak bisa mengelola. Jadi, sukar masyarakat percaya kepada amil zakat. Jangan-jangan zakat itu tidak diberikan kepada yang berhak. Jangan-jangan amilnya lebih banyak menerima bagiannya. Itu keraguan yang muncul.
Bukankah banyak lembaga zakat swasta? Pilihannya tidak hanya satu amil saja?
Amil itu banyak syarat dan ketentuannya. Dan harus diangkat oleh pemerintah. Di mana-mana, amil itu yang membentuk pemerintah. Orang tahunya amil adalah orang yang membagi-bagikan zakat. Padahal amil itu mengelola zakat. Jadi, harus tahu zakat itu bagaimana, siapa yang berhak menerima, bagaimana penyalurannya.
Adakah contoh amil yang bagus di luar negeri?
Banyak. Misalnya di Malaysia dan Arab Saudi. Mereka benar-benar mengetahui siapa yang berhak menerima zakat. Mereka menggunakan data kependudukan untuk mengetahui siapa saja yang paling berhak menerima zakat.
Beberapa lembaga amil mengambil uang zakat untuk pengkaderan para petugas amil. Seberapa bagian amil dan zakat?
Bagaimana kalau zakat digunakan untuk pembenian beasiswa atau ambulans gratis atau modal usaha?
Salah satu tujuan zakat adalah mengubah mustahik menjadi muzaki. Itu sebabnya zakat harus dikelola profesional untuk mengentaskan si miskin?
Tidak ada tujuan zakat semacam itu. Itu kan pikiran orang sekarang saja? Di kitab fikih tidak ada.
Jadi, zakat tidak berfungsi memperbaiki kesejahteraan umat?
Bukankah kalau zakat diberikan dalam bentuk uang masing-masing Rp 30 nibu hanya akan habis dimakan? Lain halnya kalau dikelola untuk modal kerja?
Diterimakan dulu kepada yang wajib menerima. Bahwa setelah itu akan dikelola dalam bentuk lain, silakan. Kalau yang dibagikan itu bisa untuk modal usaha, itu lebih baik, tapi kalau masing-masing menerima hanya Rp 30 ribu, bisa untuk modal apa?
Kenapa Nahdlatul Ulama sebagai organisasi ulama, yang tentu banyak ahli fikihnya, tidak membentuk amli agar pengelolaan zakat bisa optimal?
Nahdlatul Ulama tidak mendirikan amil. NU hanya mengupayakan bagai mana cara berzakat yang benar.
Penelitian Universitas Islam Negeri Jakarta menyebutkan bahwa potensi zakat di Indonesia per tahun mencapai Rp 20 triliun. Tapi hanya tujuh persen yang masuk ke lembaga amil. Kalau banyak lembaga amil, tentu potensi zakat bisa optimal….
Amil itu lembaga resmi yang harus dibentuk oleh pemerintah. Jadi tidak mudah menamakan diri sebagai amil. Bayangkan, kalau tidak dibentuk resmi oleh pemerintah, bisa-bisa satu kampung terdapat puluhan amil. Inilah salah kaprahnya. Orang yang membagikan zakat dikira amil, padahal dia cuma panitia zakat.
Lantas apa makna sosial diwajlbkannya zakat?
Makna sosialnya bermacam-macam. Bisa menimbulkan kepedulian sosial, bisa menjadikan orang yang sebelumnya sebagai penerima zakat kemudian menjadi wajib zakat. Yang jelas, jangan sok punya pikiran zakat itu untuk membuat orang menjadi kaya. Sebab, menjadi kaya itu urusan Allah.
Sejauh mana aturan flkih zakat itu harus berdampak pada kehidupan sosial?
Sebetulnya, fikih itu tidak bisa lepas dan kehidupan bermasyarakat. Misalnya menemui tamu itu fikih. Jika tamu mau pulang, kita mengantarkannya sampai ke pintu, atau ke kendaraan, itu juga diajarkan fikih. Itu bukan sekadar adab, tapi juga diatur dalam fikih, dan ada pahalanya. Cuma, orang tidak tahu bahwa itu ibadah. Jadi, fikih itu tidak hanya mengatur salat, puasa, zakat, dan haji….
Apa sebetulnya makna flkih?
Fikih adalah ilmu tentang segala amaliah perbuatan manusia. Jadi, semua bisa menjadi urusan fikih. Karena itu, menurut saya, fikih itu jangan dijadikan lembaga legalitas formal yang hanya berbicara soal halal-haram. Fikih harus dijadikan etika sosial. Setiap kali kita melakukan sesuatu, harus dilandasi niat fikih, sehingga akan berpahala.
Bukankah selama mi ada pelembagaan flkih secara formal, misalnya ada lembaga fatwa di Majelis Ulama Indonesia?
Maksud saya, di samping dijadikan lembaga formal yang menentukan halal-haram, juga sebagai etika sosial. Sebagai legalitas formal dalam arti halal-haram tetap perlu, misalnya tentang salat dan zakat.
Sebagai pengasuh pesantnen, Anda menginginkan santri sepenti apa?
Sumber: Majalah Tempo, Edisi 25 September – 5 Oktober 2008