Faktanya, dalam wilayah fiqh tidak selamanya hukum bisa langsung diterapkan. Ada syarat-syarat tertentu di mana suatu hukum bisa dilaksanakan, atau sebaliknya. Ada syarat yang menyangkut benda yang dicuri, kondisi ekonomi, dan lain-lain. Syarat yang menyangkut benda yang dicuri meliputi: Berapa nilai barang yang dicuri, bagaimana barang itu disimpan atau tidak, dan seterusnya. Dari kondisi ekonomi saat itu: Apakah yang mencuri itu karena situasi kelaparan atau tidak. Banyak lagi faktor untuk bisa menetapkan apakah seorang pencuri dihukum potong tangan atau tidak.
Kontekstualisasi itu sendiri tidak selamanya berdasarkan ruang dan waktu, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh kita dalam upaya melaksanakan Syari’at Islam. Dalam kenyataannya semua hal yang termasuk ke dalam wilayah fiqh pasti kontekstual. Artinya fiqh tidak ada yang mutlak kecuali hukum agama yang mujma’ alaih, dan ini sangat sedikit.
Sebagai contoh mudah, dalam bab ribawi. Dalam hal menjual atau menukar sesuatu, disyaratkan harus sebanding atau senilai. Tetapi dalam keadaan terpaksa Rasulullah menyatakan boleh saja tidak sebanding, dan kemudian yang dikenal dengan bai’ul aroyah. Bai’ul aroyah adalah menjual korma yang masih mentah di batang pohon dengan korma yang sudah matang di genggaman orang. Mungkin kalau di Indonesia menjual padi yang masih di sawah dengan nasi. Pada awalnya tidak boleh karena timbangan atau nilainya belum tentu sama, tapi karena kebutuhan maka Rasulullah membolehkan praktik tersebut.
Segala hal yang berhubungan dengan mu’amalah, fiqh selalu kontekstual, tinggal bagaimana kita memahami konteks tersebut. Bukankah Allah SWT sendiri menyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2): 185 ”yuridullaha bikumul yusro wala yuridu bikumul ’usro”, (Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagi kamu). Di sinilah makna kemurahan Tuhan kepada manusia, karena agama memang diperuntukkan bagi manusia. Persoalannya terkadang berada pada manusia itu sendiri. Ada manusia yang tidak bisa melakukan syariat karena budaya telah menciptakan demikian atau karena hal-hal yang disebabkan ketidak mampuannya.
Jika masyarakat tidak terbiasa dengan budaya yang melaksanakan hukum Islam, maka seringkali memaknai hukum Islam itu menjadi sesuatu yang berat. Tetapi ada juga orang yang telah terbiasa melaksanakan hukum Islam, namun karena perkembangan zaman, hukum tersebut sulit untuk diterapkan. Untuk itu kita harus mengadakan revisi pengertian. Hal seperti ini sesungguhnya sudah dan sering terjadi di masyarakat kita. Meski tentu tanpa teorisasi yang memadai. Di Indonesia, kita sering menyesuaikan nilai-nilai Islam dengan kultur atau konteks Indonesia. Dalam hal ini saya mempertanyakan: ”Apakah kita ini orang Islam di Indonesia”, atau ”orang Indonesia yang Islam”. Bagi saya yang lebih tepat kita ini adalah ”orang Indonesia yang Islam”. Istilah ”orang Indonesia yang Islam” mengandung pengertian bahwa kultur atau tradisi Indonesia yang ada tidak bisa dihapuskan, tidak dianggap bid’ah, khurafat, dan lain-lain. Beberapa contoh tradisi dimaksud seperti: tahlilan, nadranan, nujuh hari, dan yang semacamnya.
Kalau kita salah memahami konteks atau tradisi lokal maka terkadang kontekstualisasi juga disalah pahami menjadi alasan untuk melakukan penyelewengan, penghianatan, bahkan penindasan dan keburukan-keburukan lainnya. Dari dulu dalam agama secara praksis, kontekstualisasi itu telah ada dan sering kita lakukan, walaupun tanpa kita sadari. Oleh karena itu seakan-akan istilah kontekstualisasi adalah istilah yang baru dalam kehidupan keberagaman kita. Dalam penetapan hukum fiqh dikenal: Al-umuru bi maqosidiha (segala urusan tergantung dari maksud/tujuannya), Al-hukmu yaduru ma’a illatihi (penetapan hukum tergantung dari illatnya). Kaidah ushul ini bersumber dari hadits Nabi: Innamal a’malu bil niyati (sesungguhnya semua amal itu tergantung dari niat).
Tuhan telah memberikan peluang kepada hambanya untuk melakukan kontekstualisasi. Allah SWT menurunkan syariat agama dari mulai Adam, Idris, Musa, Ibrahim sampai Nabi Muhammad disesuaikan dengan zamannya. Untuk hal-hal yang terkait dengan aqidah dari satu nabi ke nabi semuanya sama, tetapi untuk syariatnya berbeda-beda. Dalam sejarah, proses pemahaman keberagamaan satu tokoh dengan tokoh lainnya tidak selalu sama dan cenderung berbeda-beda. Karena berbeda itulah, muncul para imam mazhab. Ada mazhab Syafi’i, Hambali, Hanafi, Maliki dan masih banyak mazhab yang lain. Para pengikut satu mazhab juga dalam beberapa hal bisa berbeda. Ini karena perbedaan tempat, waktu dan budaya. Contohnya, di dalam mazhab Syafi’i timbul perbedaan terutama antara Syafi’i aliran Iraqi dan Khurasani.
Jika ada pemikiran fiqh yang mengandai-andai biasanya disebut ’ala thoriqotul khurasyani. Makanya di dalam kitab Safinah al-Najah ada pengandaian yang sangat jauh, seperti ”andaikan kambing beranak manusia, lalu khutbah Iedul Adha, stelah itu boleh tidak dijadikan hewan kurban?” Sementara itu dalam Mazhab Syafi’i aliran Iroqi, pengandaian itu tidak perlu di bahas. Yang perlu dibahas dan ditetapkan hukumnya adalah sesuatu yang memang sudah terjadi. Bukan mengandai-andai.
Fiqh Hanya Jalan Bukan Tujuan
Pada awalnya ajaran itu tidak terpilah-pilah, dalam proses pelaksanaan baru muncul persoalan. Ada orang yang dalam melaksanakan aktivitasnya terseret ke dalam hal-hal yang positif tapi ada pula yang negatif. Karena persoalan tersebut maka muncullah hukum fiqh sebagai rambu-rambu yang harus dilalui seseorang dalam menempuh kehidupan supaya lebih bahagia dan sejahtera. Jadi fiqh itu hanya jalan, bukan tujuan itu sendiri. Ada hal yang sering kita lupakan, yakni pengakuan nilai ketuhanan itu sendiri. Ketika kita mempraktekkan fiqh biasanya kita cenderung bicara soal haram dan halal. Ini bila tanpa nilai ketuhanan maka hanya bernilai duniawi, tapi jika dibarengi dengan nilai ketuhanan maka selain bernilai duniawi juga bernilai ukhrowi.
Sesungguhnya yang lebih penting dalam fiqh bukan sekadar membicarakan hal-hal yang teknis, seperti halal haram atau apa hukum suatu persoalan. Tetapi yang lebih penting adalah soal konsep dasarnya. Konsep dasar yang dimaksud adalah bagaimana kita bisa menjadi orang Indonesia yang Islam. Selain itu, perlu diketahui bahwa fiqh bukanlah untuk menciptakan sistem, tetapi memberikan nilai-nilai dasarnya saja. Jadi ketika kita mengharapkan adanya sebuah proses pembebasan, maka ciptakanlah sistemnya baru kemudian kita bicara bagaimana fiqh memberikan nilai-nilainya.
Kontekstulisasi Fiqh itu Mutlak
Ketika kita mengambil fiqh dari salah satu mazhab dan tidak mau melakukan kontekstualisasi, kemungkinan terjadinya ketidak selarasan antara ajaran dengan realitas akan tinggi. Oleh karena itu kontekstualisasi mutlak diperlukan agar fiqh tidak dianggap sebagai hukum yang mengekang. Dalam hal ini, salah satu metodologi yang dapat digunakan dalam memahami fiqh adalah dengan metode ’urfi. Bukankah kaidah Ushul Fiqh menyatakan bahwa, Al-Tsâbit bi al-’Urfi ka al-Tsâbit bi al-Nash (apa yang ditetapkan melalui adat kebiasaan setempat sama nilainya dengan yang dtetapkan melalui Nash al-Qur’an dan al-Hadits). Untuk melakukan kon-tekstualisasi, yang mutlak diperhatikan adalah Maqâsid al-Sayri’ah, yang berupa: (1) hifdz al-dîn, menjaga agama, termasuk tidak ada paksaan dalam agama. (2) Hifdz al-’aql, menjaga akal, termasuk menjamin kebebasan berfikir. (3) Hifdz al-nafs, menjaga jiwa, termasuk menjamin penghidupan yang layak bagi rakyat banyak. Juga menjamin kemanan individu dan masyarakat. (4) Hifdz al-nasl, menjaga keturunan, termasuk menjaga kesehatan reproduksi. (5) Hifdz al-Mal, menjaga harta, termasuk menjaga kesejahteraan dan perekonomian orang banyak. (6) Hifdz al-’Irdh, menjaga kehormatan, termasuk di dalamnya menjaga Hak-Hak Asasi sebagai manusia. Maqâsid al-Syarî’ah ini diupayakan dengan tujuan untuk mencapai mardhotillah, keseimbangan antara kebutuhan kehidupan duniawi dan ukhrowi. Semua itu demi kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.[]