Minggu, 22 Desember 2024

Kreatifitas di Tengah Krisis

Baca Juga

 

Embusan angin di sekitar pematang sawah, tiba-tiba menyambut kami (reporter Blakasuta) memasuki Kelurahan Tarikolot Kecamatan Pancalang Kabupaten Kuningan. Angin dinginnya kian terasa ketika sampai di perbatasan Kuningan dan Kota Cirebon. Rupanya udara dingin itu pengaruh dari iklim tropis dan angin muson. Masyarakat Tarikolot dikenal sebagai petani ulet. Karena selain menanam padi, mereka juga menanam tanaman lainnya seperti palawija, ketela pohon, ubi jalar dan lain sebagainya. Namun siapa sangka, sejak tahun 1970-an, di Kelurahan Tarikolot mulai menjamur home industries (rumah-rumah produksi) yang sangat berpotensi.

Ya, dari tahun 1970-an, masyarakat Tarikolot sudah mulai memproduksi sejumlah perlengkapan kebutuhan rumah tangga. Di antaranya sapu ijuk, sapu bambu, sapu lidi, sapu tepes, keset tepes, keset kain,  kerok pembersih botol, sikat pembersih WC, sikat cuci, dan sejumlah perlengkapan rumah tangga lainnya. Geliat kreatifitas warganya, kian terlihat ketika sejumlah warga tengah menjemur bambu yang telah dipotong kecil-kecil. Potongan-potongan bambu tersebut dijemur rapih di pinggir jalan depan rumah mereka, yang nantinya akan dibuat menjadi sapu bambu. Menurut Lurah Tarikolot, Dudung Dulhalim (50), asal mula berkembangnya home industries di Tarikolot berawal dari pedagang biasa, yang masih mengambil bahan baku dari tetangga desa satu kecamatan.

“Setelah mereka berhasil menjual hasil dagangannnya, para pedagang ini terus mengembangkan dagangannya. Kebetulan jaman dulu, bahan baku mudah didapat. Sekitar 1970-an. Jadi sampai sekarang, bahan bakunya dicari sendiri, lalu membuat sapu dan menjualnya sendiri,” papar Dudung ketika ditemui Blakasuta di Kantor Kelurahan Tarikolot, pada Kamis (11/6/09). Kini, lanjut Dudung, yang diproduksi semakin beragam. Jika dulu hanya sebatas sapu ijuk, kini sudah mengembangkan pembuatan sapu tepes, dan sapu bambu. Malah, menurut Dudung, sapu ijuk sekarang sudah jarang yang membuat. Hal itu dikarenakan bahan bakunya sulit dicari, sehingga lama-kelamaan jarang ada yang membuat sapu ijuk. “Kalau sapu bambu dan tepes itu lumayan. Masyarakat kami di sini hanya sekian persen yang menganggur, kami sangat produktif. Memang, kami tidak memproduksi besar-besaran. Tapi setidaknya mampu mencukupi kebutuhan hidup.”

 

Tidak Merasakan Krisis Moneter

Sampai sekarang, hasil produksi sapu Tarikolot sudah sampai ke Indramayu, Cirebon, Kuningan, Majalengka, Losari, dan sekitarnya. Bahkan ketika tahun 1997 terjadi krisis moneter, warga Tarikolot tidak merasakan krisis tersebut. Karena saat itu masyarakat Tarikolot mulai mengembangkan produksi moceng (pembersih debu ruangan). Keberhasilan produksi moceng tersebut, ditandai dengan menyebarnya moceng hasil produksi mereka ke seluruh Indonesia, bahkan hingga Malaysia.

“Kalau sekarang, saingan kita orang China. Karena mereka modalnya banyak, sedangkan kami hanya orang desa yang modalnya sangat terbatas. Terutama kebanyakan bahan bakunya yang dari bambu. Mayoritas bambu kepung/tepung,” ujar Dudung.

Selain modal yang tidak terlalu besar, kelemahan para pengusaha di Keurahan Tarikolot juga belum adanya forum, asosiasi, maupun koperasi yang mampu menampung bahan baku produksi. Sebagai Lurah yang baru dilantik beberapa bulan lalu, Dudung menyadari masyarakatnya sangat produktif dan berpotensi.

“Maka jangan sampai gulung tikar, harus dikembangkan dan ditingkatkan potensi tersebut. Kami akan memperjuangkan melalui program-program kami ke depannya.”

Selama ini, penjualan dan distribusi hasil produksi mereka masih terbatas. Sedangkan pola penjualannya, pada umumnya sang suami yang mencari bahan baku, kemudian keluarganya baik isteri mapun anaknya yang bertanggungjawab membuatkan produksinya. Setelah hasil produksinya layak dijual, sang suami kembali bergerak untuk memasarkannya ke daerah-daerah.

Jasmi (34) misalnya, selama ini dia dan keluarganya secara turun temurun memproduksi sapu bambu dari tahun 1976. Karena hanya dibantu oleh keluarga dan saudara-saudara terdekatnya, maka dia tidak mengambil karyawan dari daerah lain. Dalam sehari, dia bisa membuat 100 sapu. Satu satu dijual 1500 rupiah per keteng/biji. Namun jika ada orang yang membeli langsung kepadanya, dia menjualnya seharga 1000 rupiah per keteng/biji.

“Hampir semua pengusaha di sini, memproduksi sendiri dengan keluarganya. Kami sulit mengambil karyawan dari orang lain, karena tetangga-tetangga kami juga semuanya sama-sama produksi. Ya, meski keuntungannya cuma 200 ribu rupiah per 10 batang bambu, tapi setidaknya ada masukan,” kata Jasmi sambil membelah bambu.

Sambil mempraktikkan tahapan membuat sapu bambunya, Jasmi mengaku tidak bisa memproduksi sapu bambu setiap hari di musim hujan. Karena setelah bambu dipotong-potong, dibersihkan, dan dipotong-potong lagi hingga keci-kecil, dia harus menjemurnya dibawah terik matahari. Jika udaranya panas, maka dalam tempo setengah hari dia sudah bisa membuat sapu bambu. Namun jika sering hujan, maka mau tidak mau dia berhenti membuat sapu. Seperti yang pernah dialaminya ketika selama hampir seminggu tidak bisa membuat sapu, karena bambu sebagai bahan bakunya tak kunjung mengering.

“Bambu-bambu itu kita beli dari tetangga desa. Karena kita sudah dikenal di daerah sekitar, maka kabang-kadang ada orang yang punya pohon bambu datang ke sini untuk menawarkan. Kalau untuk bambu, itu bahan bakunya tidak masalah. Tetapi kalau ijuk dan tepes memang aagak kesulitan.”

Sementara itu Dudung, selaku aparat desa, melalui program kerjanya bertekad meningkatkan usaha mereka secara produk. Meski lagi-lagi, dia menyadari pemasarannya masih untuk kalangan menengah.

“Selain itu, melihat sebagian besar warga masih pengusaha kecil, maka dari sisi modal pun masih mentok modal kecil-kecilan. Kecuali kalau ada modal, usaha mereka bisa dikembangkan dengan membuat sapu hijau yang dari rumput. Program untuk pengrajin itu ada. Baru sekarang memang. Tapi kalau kita modalnya pas-pasan, itu bisa putus di jalan. Tapi yang pasti harapan saya, ke depan ini ada prospek,” tegas Dudung.

Sebelum masa kepengurursannya, Dudung mengaku pernah ada program dari pemerintah daerah, seperti program ekonomi desa. Seperti bantuan membuat keset. “Tapi dalam pembuatan keset ini kalau kita menggunakan teori ekonomi, maka kita tidak bisa. Karena kita sendiri setiap hari butuh makan. Kalau untuk pengrajin sendiri, kebanyakan yang dihadapi adalah kebutuhan yang tidak terduga.” (a5)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya