Sabtu, 23 November 2024

KRISIS INTERNAL ?

Baca Juga

Beberapa waktu yang lalu, saya menghadiri shalat Jum’at di sebuah masjid di Jakarta. Khutbah jum’at sudah berlangsung beberapa menit, ketika saya tiba. Di hadapan puluhan jama’ah yang khusyuk, sang khatib dengan suara lantang menguraikan panjang lebar tentang krisis multidimensional yang melanda negeri ini. Ujung dari seluruh krisis, menurutnya adalah krisis moral/akhlak. Solusi paling tepat, ujarnya, adalah kembali pada Islam secara kaffah. Dan untuk itu hukum-hukum syari’ah Islam harus ditegakkan. Sang khatib dengan suara mantap menyitir ayat-ayat al Qur-an : “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir, zalim dan fasik (amoral)”. “Siapa yang lebih baik dalam memutuskan hukum selain Allah”?. “Apakah kita menghendaki hukum-hukum jahiliyyah”?. Dan sebagainya. Kalimat-kalaimat suci itu diucapkan dengan nada tegas dan agitatif. Ia meninggalkan kesan yang menggairahkan dan memanaskan ketenangan dan kesejukan batin jama’ah.

Dalam perjalanan pulang, saya merenung sendiri dan dihadapkan pada banyak pertanyaan. Apakah gerangan yang ada di benak para jama’ah ketika mendengar kata-kata “Islam” dan “Syari’at Islam” ?. Apakah Islam itu?. Bagaimana wujud syari’at Islam itu?. Apakah yang dimaksud dengan hukum-hukum Allah?. Yang manakah itu?. Bukankah yang ada adalah hukum-hukum Islam yang ditafsirkan oleh banyak sekali ulama secara beragam?. Bukankah sudah tidak ada otoritas tunggal yang bisa memutuskan :” Inilah hukum Allah satu-satunya yang benar”. Bukankan Nabi sudah wafat 15 abad lampau dan tak ada lagi Nabi Tasyri’ (yang menetapkan hukum) sesudahnya. Lalu bagaimana syari’at Islam atau hukum Islam dapat ditegakkan dalam negara bangsa yang penduduknya beragam, plural, terdiri dari banyak agama ini, banyak keyakinan, banyak suku, banyak tradisi/adat-istiadat, banyak aliran tradisi dsb.?. Bukankah dunia sudah berubah besar-besaran. Sistem kekuasaan tunggal untuk seluruh dunia sudah tidak ada lagi?.

Bukankah kita sudah hidup dalam sistem negara bangsa?. Bagaimana hak-hak non muslim ketika syari’at Islam diformalisasikan dalam undang-undang negara, apakah diperlakukan secara setara atau dibedakan, dan tidak sekedar diakui atau bahkan dihormati ?. Apakah yang dimaksud dengan kata “kaffah”, menyeluruh?. Apakah al-Qur-an dan Hadits Nabi menyediakan jawaban praktis atas seluruh masalah manusia di muka bumi ini?. Apakah ada hadits yang menjelaskan soal solat di bulan atau d planet lain?. Bagaimanakah dengan pernyataan Nabi “Antum A’lamu bi Umur Dunyakum” (kalian lebih mengetahui urusan duniamu). Ini semua pertanyaan-pertanyaan yang bertubi-tubi mengganggu pikiran saya sambil jalan pulang ke tempat kost saya. Boleh jadi bukan hanya saya, tetapi juga yang lain.

Di sisi lain pada tataran realitas selalu saja terdapat praktek keberagamaan dan pandangan keagamaan yang berbeda-beda. Pada wilayah internal kaum muslimin, pandangan mereka mengenai cara mengamalkan syari’at Islam selalu berada dalam wilayah perdebatan dan controversial, baik pada aspek isu-isu partikularnya (furu’iyyah) maupun pada paradigma dan teoritiknya (Manhaj). Banyak sekali isu keagamaan yang terus diperdebatkan kaum mulsimin setiap tahun selama berabad-abad. Misalnya bilangan shalat tarawih, membaca qunut dalam shalat subuh, penetapan tanggal 1 Ramadan atau 1 Syawal (hari raya Idul Fitri), peringatan maulid Nabi, Tahlil berjama’ah, dan lain-lain. Mengapa kaum muslimin masih terus berputar-putar membicarakan dan bertengkar pada isu-isu tersebut?. Kapan mereka berhenti bertengkar, lalu bergerak bersama-sama melangkah ke depan, mengejar kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia di dunia?.

Banyak pandangan kaum muslimin yang menyatakan bahwa perbedaan ini adalah rahmat, sebuah keindahan yang perlu dirawat dengan baik. Tetapi, sayangnya yang terjadi adalah bahwa masing-masing kelompok kemudian mengklaim kebenaran dirinya sambil menyalahkan dan bahkan memusuhi kelompok yang lain. Perbedaan itu menjadi rahmat dan indah manakala masing-masing menghargai pandangan yag lainnya. Klaim kebenaran itu kadang atau bahkan melampaui batas-batas yang wajar, tidak produktif, intoleran, memusuhi, membenci dan menghancurkan diri. Bukankah hal ini menciptakan kesan buruk orang di luar Islam tentang Islam sendiri dan di dalam ruang keluarga sendiri?. Mungkin semakin banyak orang yang tidak percaya lagi kepada firman Allah : “Innama al-Mukminun Ikhwah”, sesungguhnya orang-orang beriman adalah saudara, atau, “Wa Maa Arsalnaka Illa Rahmatan li al-‘Alamin”, Islam itu agama Rahmat, kasih sayang untuk semua orang. Apa boleh buat?.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya