Kamis, 30 Januari 2025

KUPI Perkuat Peran Ulama Perempuan dalam Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan

Baca Juga

Oleh: Zaenal Abidin

Keberadaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) semakin diakui baik oleh masyarakat maupun pemerintah sebagai forum gerakan yang strategis dalam pemberdayaan dan advokasi keadilan gender. Dalam berbagai persoalan, pemerintah bahkan secara khusus mempertimbangkan fatwa yang dikeluarkan oleh KUPI sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan.

Pada Kongres KUPI II di Jepara tahun 2022, forum ini menghasilkan lima fatwa dan rekomendasi yang mendorong perubahan paradigma di berbagai sektor, termasuk kebijakan. Yakni peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstrimisme, pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan, perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.

“Fatwa KUPI bukan hanya berbicara dalam konteks gerakan sosial, tetapi juga memiliki otoritas dalam menggali teks keagamaan yang relevan dengan kondisi masyarakat,” ujar Buya Husein Muhammad, Ketua Dewan Pembina Yayasan Fahmina dalam acara Kick Off Meeting “Program Penguatan Ulama Perempuan” pada Selasa, 29 Januari 2025.

Sebagai bagian dari penguatan gerakan, KUPI mengusung dua pendekatan strategis dalam menyikapi isu-isu global. Pertama, membangun solidaritas untuk merespons krisis global yang mengancam hak-hak perempuan, seperti yang terjadi di Afghanistan, Iran, Suriah, dan Xinjiang, Tiongkok. Kedua, memperkuat jaringan ulama perempuan di berbagai negara agar gerakan KUPI semakin bergaung di tingkat global.

Sebagai salah satu penyangga utama KUPI, Yayasan Fahmina berkomitmen untuk mengawal gerakan ini. Pada tahun 2024-2026, Fahmina bersama lima lembaga lainnya—Alimat, Gusdurian, AMAN, dan Rahima—melaksanakan program penguatan KUPI.

Ketua Yayasan Fahmina, Faqihuddin Abdul Kodir, menyampaikan bahwa ada dua fokus utama yang ingin dicapai. “Pertama, memastikan seluruh rencana pengkaderan ulama perempuan teridentifikasi dengan baik. Kedua, mereview kurikulum pengkaderan, terutama metodologi fatwa KUPI yang berbasis ma’ruf, mubadalah, dan keadilan hakiki,” jelasnya.

Selain itu, dalam pertemuan tersebut juga dibahas restrukturisasi organisasi Fahmina untuk periode 2024-2029, yang kini menambahkan Dewan Kebijakan/Konsultan sebagai bagian dari struktur baru.

“Dewan ini akan membantu dalam merumuskan kebijakan teknis terkait program dan kelembagaan, meskipun tidak masuk dalam struktur legal resmi,” tambah Faqih.

Krisis Ulama Perempuan dan Pentingnya KUPI

Buya Husein Muhammad menyoroti bahwa salah satu alasan utama diselenggarakannya program ini adalah adanya krisis ulama perempuan. “Sebenarnya saya terpengaruh tentang krisis ulama perempuan. Bagaimana kita mengetahui krisis ini? Kalau saya menyebutkan perempuan ulama, sebelum bicara gender, kita harus melihat realitas ulama perempuan itu sendiri,” ujarnya.

Menurutnya, perempuan memiliki posisi strategis dalam mewujudkan keadilan. Namun, masih banyak yang mengalami subordinasi dan eksistensinya kerap disamakan dengan aspek biologis semata. Oleh karena itu, KUPI hadir untuk memberikan pemahaman kepada publik dan mengkaji kembali sumber-sumber agama yang mendukung keberadaan perempuan.

“Ketika bicara krisis, ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, yaitu perempuan sebagai aktor, perempuan sebagai isu, dan perempuan dalam perspektif keulamaan,” tambahnya.

Strategi Penguatan Ulama Perempuan

Untuk mengimplementasikan strategi penguatan ulama perempuan, KUPI menyusun program yang meliputi analisis gender, pelatihan musyawarah, serta pendalaman paradigma keislaman berbasis keadilan.

Faqih menekankan bahwa ada dua fokus utama yang ingin dicapai dalam program ini. “Pertama, memastikan seluruh rencana pengkaderan ulama perempuan teridentifikasi dengan baik. Kedua, mereview kurikulum pengkaderan, terutama metodologi fatwa KUPI yang berbasis ma’ruf, mubadalah, dan keadilan hakiki,” jelasnya.

Program pelatihan KUPI terdiri dari beberapa sesi, termasuk:

Membangun Suasana & Refleksi Implementasi Paradigma KUPI – Sesi ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana pemahaman dan penerapan paradigma KUPI di komunitas masing-masing peserta.

Analisis Sosial Berbasis Gender – Peserta akan dilatih memahami isu sosial melalui perspektif gender agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan struktural.

Pendalaman Paradigma KUPI dalam Berbagai Isu – KUPI menawarkan pendekatan keislaman dalam isu-isu seperti kebangsaan, lingkungan, otonomi diri, dan seksualitas.

Teknik Pengelolaan Musyawarah – Banyak kader ulama perempuan yang memiliki pemahaman keagamaan mendalam tetapi kurang percaya diri dalam memimpin forum. Oleh karena itu, sesi ini akan memperkuat keterampilan fasilitasi.

Rancangan Inisiatif Pembumian KUPI – Peserta akan menyusun rencana aksi untuk mengimplementasikan paradigma KUPI di komunitas mereka.

Buya Husein menekankan pentingnya metode pelatihan yang sistematis. “Kalau kita ingin membangun ulama perempuan yang kuat, tidak cukup hanya dengan pemahaman teoritis. Mereka perlu praktik dan pendalaman metode dalam menyampaikan gagasan keislaman yang adil,” ujarnya.

Wakhit Hasyim menambahkan bahwa dalam pengorganisasian ulama perempuan, salah satu kelemahan yang sering terjadi adalah kurangnya kemampuan dalam memimpin musyawarah.

“Rata-rata mereka memiliki pengalaman forum, tetapi belum terbiasa dalam teknik fasilitasi yang efektif,” jelasnya.

Masa Depan KUPI dan Peran Ulama Perempuan

Selain penguatan kurikulum dan pelatihan, Fahmina dan KUPI juga berupaya menjalin kerja sama dengan berbagai komunitas agama dan organisasi masyarakat sipil untuk memperluas jangkauan gerakan ini.

Rosidin, Manajer Program ini, menegaskan bahwa penguatan perspektif dalam keulamaan perempuan harus terus berkelanjutan.

“Banyak peserta yang masih merasa belum percaya diri dalam menyampaikan gagasan keislaman yang berkeadilan gender. Maka, program ini perlu terus menerus menguatkan perspektif mereka agar bisa menjadi agen perubahan di komunitas masing-masing,” tuturnya.

Program ini diharapkan dapat memperkuat kapasitas ulama perempuan di tingkat lokal hingga global. “Tujuan utama program ini adalah membangun teologi dan ilmu pengetahuan yang berkeadilan, memperkuat kapasitas ulama perempuan dalam keluarga dan masyarakat, serta menciptakan sistem gerakan yang berkelanjutan,” tukas Rosidin.

Selain penguatan kurikulum, Fahmina juga menjalankan berbagai program lain, seperti lokakarya pengembangan eco-pesantren dan penguatan HAM bagi alumni pengkaderan. Bahkan, Fahmina melakukan kerja sama dengan berbagai komunitas agama yang ada di wilayah Cirebon. []

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

SAK Sunda Wiwitan: Perlindungan Konstitusional Bagi Semua Keyakinan.

  Oleh: Zaenal Abidin Paseban Sunda Wiwitan menjadi saksi pelaksanaan kegiatan ke-7 Studi Agama dan Kepercayaan (SAK) yang berlangsung dengan semangat...

Populer

Artikel Lainnya