Sabtu, 23 November 2024

Magang Kerja, Modus Baru Trafficking

Baca Juga

Mereka baru beranjak dewasa. Semangat untuk menimba ilmu masih menggebu-gebu. Siapa sangka keseriusan 45 mahasiswa The Bandung Hotel School (TBHS) memperdalam ilmu pariwasata itu berujung kemalangan. Wajah-wajah belia dan lugu itu menjadi sasaran empuk sindikat trafficking untuk dikirim ke luar negeri sebagai tenaga kerja dengan kedok magang kerja.

Awalnya para mahasiswa itu mengikuti praktik magang kerja sebagai salah satu persyaratan kurikulum TBHS. Namun, ada juga yang mengetahui lowongan itu melalui iklan di media massa Bandung. “Waktu itu saya lihat iklan di media massa. Iklan itu sebenarnya lowongan kerja, tapi berkedok management training,” tutur Siti Sekar Nusantari, alumnus Shoreline College Seattle Amerika Serikat, kepada VHRmedia.com, Kamis (26/7).
 
Gadis Cimahi yang akrab di panggil Sekar ini tentu tidak menyangka karier pendidikannya berakhir seperti ini. Dia diminta membayar Rp 4,5 juta dengan alasan untuk keperluan administrasi seperti paspor dan surat-surat lainnya. “Saya berangkat sebulan lalu dan bekerja di sebuah travel agent. Tapi saya kecewa karena merasa dibohongi dengan izin yang bermasalah,” ujarnya.
 
Nasib Sekar mungkin berbeda dari nasib Asep Suhardi. Pria kelahiran 23 Februari 1987 itu masih terdaftar sebagai mahasiswa semester I The Bandung Hotel School. Seperti proses kuliah pada umumnya, menurut Asep, tiga bulan pertama dia mendapatkan teori dan tiga bulan berikutnya praktik. Dia terpaksa mengikuti job training di Malaysia untuk menyelesaikan pendidikan D1. Di Malaysia, Asep dipekerjakan di rumah makan pinggir jalan, Restoran Nasi King Briyani.
 
“Saya berangkat tanggal 31 Mei, ditangkap 27 Juni malam. Tanpa ada pertanyaan apa-apa, polisi bawa borgol langsung merantai dan menyeret kami ke mobil. Selanjutnya lima hari ditahan di Camp Putra Jaya,” tuturnya.
 
Di penampungan itu Asep tidak bisa menghubungi siapa pun, bahkan orang-orang terdekat sekalipun. Kemudian dia dipindahkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur. “Harapan saya waktu itu hanya ingin cari pengalaman di luar negeri. Rata-rata kami bekerja 16 jam. Masuk pukul 8 pagi keluar 12 malam,” kenangnya.
 
Penangkapan pendatang di Malaysia memang tidak mengenal jenis kelamin dan usia. Mita Puspapani mengalami nasib buruk itu. “Saya ikut ditangkap juga waktu itu,” katanya.
 
Gadis semester IV TBHS ini dipekerjakan tidak sesuai dengan yang dijanjikan pihak sekolah. Dara asal Cimahi ini dijanjikan bekerja dengan posisi supervisor training. Nyatanya dia dipekerjakan sebagai waitress di Robert Harrus Endless Coffe & Cuisine.
 
Ketua Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI KBRI di Malaysia, Tatang B Razak, mengatakan kasus ini terbongkar berawal dari SMS seorang siswa SMK di Bogor kepada petugas KBRI pada 6 Juli 2007. Pesan singkat korban eksploitasi yang diselamatkan KBRI pada April 2007 itu memberitahukan temannya yang sedang on the job training ditangkap Imigrasi Malaysia.
 
“Kami sudah membongkar (kasus trafficking) tiga kali. Setelah SMS itu dikembangkan, kami menemukan 18 orang ditahan di Imigrasi. Ketika tim KBRI melihat ke sana, mereka ada yang dirantai dan memakai baju tahanan,” kata Tatang yang mendampingi para korban pulang di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (26/7).
 
Tatang menyayangkan tindakan sekolah yang sengaja mengeksploitasi para pelajar. Program tersebut ternyata dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi dan tidak melalui prosedur yang seharusnya. “Mereka mengikuti program ini sebagai bagian dari kurikulum. Tapi visa yang diurus visa turis, bukan visa on the job training. Mereka juga tidak mempunyai program, karena ada beberapa yang dipekerjakan tidak sesuai dengan bidangnya. Ada yang dipekerjakan di restoran biasa di pinggir jalan dengan 16 jam kerja. Apa itu on the job training? Ini jelas eksploitasi,” ujarnya.
 
Karena sering terjadi kasus semacam itu, KBRI mengimbau agar program praktik kerja industri segera ditertibkan. Sebab, banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang mengikuti on the job training di luar negeri, namun mereka di eksploitasi. “Kami tidak tahu mengenai hal ini dan baru tahu setelah ada kejadian. Kami minta segenap masyarakat untuk bekerja sama membongkar kasus ini,” kata Tatang.
 
Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri menyatakan kasus ekslpoitasi pelajar dan mahasiswa Indonesia berkedok on the job training merupakan modus operandi baru. “Seolah-olah mereka akan dijadikan siswa magang, padahal di sana dipekerjakan,” kata Bambang di Mabes Polri. Dia mengatakan langkah-langkah hukum telah dilakukan terkait dengan praktik pengiriman pelajar ini.
 
Brigjen Pol Mathius Salempang, Kepala Biro Analisis dan Pengkajian Kejahatan Antarnegara Mabes Polri, menginformasikan sudah menahan 3 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Priyanto Esty Hartono (Direktur TBHS); Widy selaku agen penempatan on the job training di Malaysia; dan Zubaedah alias Nurul yang membantu Widy menempatkan mahasiswa di beberapa hotel dan restoran di Malaysia.
 
Menurut Mathius, di Malysia para siswa itu disuruh menandatangani kontrak kerja 3 bulan pertama dengan gaji 350 ringgit untuk 8 jam kerja setiap hari dan 3 bulan berikutnya akan digaji 450 ringgit dengan 12 jam kerja. “Ini jelas masuk kategori trafficking, karena ada unsur kesengajaan dan mencari keuntungan dengan tidak dilengkapi dokumen,” katanya.
 
Banyaknya kasus trafficking di tanah air membuat masyarakat resah. Apalagi selalu muncul modus operandi baru. Perlu keseriusan semua pihak untuk mencegah praktik itu. Paling tidak agar nasib pelajar Indonesia tidak berakhir di tangan sindikat perdagangan manusia. (E4)


Sumber: ©2008 VHRmedia.com

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya