Rabu, 18 Desember 2024

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Baca Juga

Oleh: Winarno

 Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita, karena itu suatu keniscayaan. Disamping menjadi tantangan, perbedaan ini juga menjadi modal kekuatan kita. Modal utama bagi kita untuk bersikap dengan orang lain yang berbeda. Dan di dalam ajarannya, agama dan keyakinan menjadi pondasi atau legitimasi agar kita berlaku adil dan berbuat baik terhadap sesama.

Ajaran untuk berbuat baik ini juga termaktub di dalam ajaran Budha. Salah satunya ada konsep Majjhima Patipada, yang artinya jalan tengah. Bagi pemeluk Budha, konsep ini merupakan pedoman hidup yang mengarah pada keseimbangan dan kebijaksanaan. Artinya, selain mengabdikan diri pada Tuhan, juga diajarkan untuk saling menghormati terhadap perbedaan keyakinan.

Prinsip ini juga menjadi landasan penting bagi umat Budha dalam menjalani kehidupan beragama sekaligus membangun relasi yang harmonis dengan sesama, baik yang seiman maupun yang berbeda keyakinan. Menurut tokoh agama Budha, Romo Junawi. Jalan tengah ini lahir dari pengalaman pribadi Pangeran Sidharta Gautama dalam proses perjalanan spiritualnya. Di bawah pohon Assattha atau dikenal dengan sebutan pohon Bodhi, ia menemukan bahwa kebahagiaan sejati hanya diperoleh melalui jalan tengah.

Ada hal menarik dari konsep Majjhima Patipada. Seperti yang disampaikan oleh Penyuluh Agama Budha, Catur Widyaningsih.

“Jika senar gitar ditarik terlalu kencang, maka gitar itu akan putus, tetapi ketika dipasang terlalu longgar suaranya tidak akan bagus, maka fals. Untuk itu kita harus mencari jalan tengah.”

Dari ungkapan di atas. Jalan tengah atau istilah lainnya jalan madya ini, mengajarkan manusia untuk berlaku seimbang antara kebutuhan spiritual dan duniawi, vertikal atau horizontal, upaya keras dan penerimaan, antara usaha dan kepasrahan. Filosofis ini menjadi inti dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu:

  1. Pandangan yang benar;
  2. Pikiran benar;
  3. Ucapan yang benar;
  4. Perilaku benar;
  5. Penghidupan benar;
  6. Usaha benar;
  7. Perhatian; dan
  8. Konsentrasi benar

Dari jalan ini, artinya manusia harus memiliki pandangan, ungkapan dan perbuatan yang baik. Tidak melukai perasaan maupun fisik orang lain. Baik secara verbal atau no verbal. Termasuk di media sosial. Tidak membuat status yang dapat melukai perasaaan orang lain, tidak sebarkan hoaks, hate speech, serta berkomentar pun harus dituliskan dengan kalimat baik.

Selain itu, ada tujuh sifat baik dalam ajaran agama Budha, diantaranya: keyakinan (saddha), rasa malu melakukan perbuatan salah (hiri), takut akan akibat perbuatan salah (ottapa), banyak pengetahuan (bahussuta), keteguhan bathin (araddha), perhatian yang kuat (upatthiha-sati), dan kebijaksanaan (panna).

Disamping tujuh sifat baik, dalam ajaran dan ritual agama Budha ada namanya bunga teratai. Menurut Romo Junawi, bunga Teratai itu diibaratkan sebagai tujuh indikator untuk mencapai kesempurnaan. Pertama: Kesadaran. Kedua; Penganalisaan. Ketiga; Kegembiraan. Keempat; Suka kebahagiaan. Kelima; Ketenangan. Keenam; kesamaan dan ketujuh; Keseimbangan.

Untuk mencapai penerangan yang sempurna, maka setiap manusia sudah semestinya melewati kerinduan, godaan dan rintangan-rintangan. Oleh karenya, cara berdamai yang baik itu bagaimana? Cara amal yang baik itu barangnya yang baik. Artinya barang yang diperoleh dari cara-cara yang baik dan jujur dan berbuat baik ini setiap orang pun bisa dengan bantuan nasehat atau mendengarkan ungkapan baik.

Itulah sekelumit ajaran Dhamma agar umat Budha hidup dengan penuh kasih sayang, bermurah hati, berlaku adil, menghargai dan menghormati hidup orang lain. Seperti yang tersirat dalam kitab Tripitaka. Salah satu syairnya ialah: “Jangan berbuat jahat, perbanyak perbuatan baik. Sucikan hati dan pikiran.”

Menurut Miss Rina, Guru Agama Budha dari Jawa Tengah. Kata Tripitaka berasal dari bahasa Pali. Tri, artinya tiga. Pitaka, yang artinya keranjang. Istilah tiga keranjang ini menggambarkan kitab suci agama Budha yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: peraturan, khutbah dan pikiran.

Ritual dan Tradisi

Stupa, bodhi, dhupa itu adalah bentuk penghormatan bagi umat Budha. Jika merujuk dalam tradisi Tionghoa, maka semua itu artinya langit. Jadi Tuhan itu tidak bisa dipersonifikasikan. Tuhan Yang Maha Esa itu tidak menjelma. Tuhan itu mutlak, tidak dilahirkan. Maka tujuan peribadatan bagi pemeluk Budha adalah mencari kebenaran spiritual sendiri.

Bagi pemeluk Budha, ritual ibadah dengan melakukan puja tersebut tidak meminta atas sesuatu yang diinginkan pemeluknya. Jutsru bagi pemeluk Budha, ritual ibadah ini ntuk mendekatkan diri dengan Tuhan, sekaligus menghindari dari perilaku keserakahan, keegoisan dan amarah.

Adapun simbol atau tanda ketika akan melakukan ritual, maka lonceng akan dibunyikan 3 kali oleh Romo. Setiap bunyi dari lonceng itu untuk mengkondisikan pikiran, perkataan dan perbuatan. Maka dari itu, pemeluk Budha harus menggunakan pikiran dan perbuatan dengan baik dan selaras. Bagaimana kita bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat dan berguna untuk orang lain. Intinya ada kebahagiaan dan ketenangan.

“Daya imajinasi dan ingat kita belum bisa membayangkan seperti apa Tuhan itu. Untuk itu kita bisa memberikan personifikasi tersebut melalui nilai-nilai baik dan kasih sayang.” Itulah ungkapan Romo Junawi.

 

Dalam konteks kehidupan beragama, Majjhima Patipada mengajarkan pentingnya moderasi beragama. Artinya menghindari ekstremisme dan fanatisme serta menyatakan sikap terbuka terhadap dialog orang lain. Melalui tulisan ini, dalam ajarannnya, Budha mengajarkan untuk tidak terjebak pada dogma atau kebencian, tetapi mencari kebenaran melalui kebijaksanaan dan cinta kasih. Dan jalan tengah adalah cara untuk menciptakan kehidupan yang damai dan penuh harmoni.

 

Jalan tengah tidak hanya relevan untuk mencapai pencerahan spiritual bagi pemeluk Budha, tetapi menjadi pedoman praktis dalam kehidupa sehari hari. Ajaran ini mengajarkan manusia untuk menghormati diri sendiri dan orang lain, menjaga keseimbangan dalam emosi dan bertindak dengan bijaksana, tidak berlebih-lebihan.

Terakhir, ajaran ini mengingatkan kita bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang harus dirayakan dengan cinta kasih dan kebijaksanaan. Jadi mari berlomba-lomba dalam kebaikan, dan menghindari dalam keburukan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Merayakan Perbedaan dengan Cinta Kasih

Oleh: Winarno Setiap hari, kita hidup berdampingan dengan orang-orang yang memiliki latar belakang, pandangan dan kebiasaan yang berbeda. Dari perbedaan...

Populer

Artikel Lainnya