Aksi terorisme mengatasnamakan agama di Indonesia memang sudah tak lagi kencang terdengar seperti beberapa dekade lalu. Namun jika diumpamakan sebagai “kejutan”, hal itu bisa dan mungkin muncul kapan saja. Pengalaman di Indonesia menggambarkan dengan jelas pola-pola tersebut. Kejadian bom bunuh diri misalnya, tidak dilakukan dengan kala waktu yang teratur dan pasti, tiba-tiba saja terjadi, merenggut korban yang tak pernah menduga-duga sebelumnya.
Sisi lain, tindak terorisme kerap kali dikait-pautkan dengan fenomena perpolitikan negara. Konon, hal tersebut biasa dilakukan oleh para penguasa untuk mengalihkan isu. Jika dipikir secara mendalam, apapun alasan dan alur sebenarnya, tindak terorisme harus dikutuk secara bersama-sama, lalu menutup segala peluang yang berulang, dengan menggali dan menserabut akarnya, hingga bersih.
Mengingat para pelaku aksi terorisme yang terjadi di Indonesia kerap mengalibikan tindakkannya pada prinsip-prinsip keagamaan Islam, maka baru-baru ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Rabihah Ma’had Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) dan Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) menggelar Training of Trainer (ToT) Anti Radikal Terorisme kepada Santri Pesantren, diikuti oleh 50 peserta yang berasal dari pesantren-pesantren di Jawa Barat.
Pemaparan dan pelatihan yang dilaksanakan pada tanggal 29 September sampai 1 Oktober 2014 di Pondok Pesantren Kyai Haji Aqil Siroj (KHAS) Kempek Cirebon ini bertujuan untuk merapatkan barisan kalangan santri sebagai agen yang menentang tindak terorisme yang mengatasnamakan agama. Hal ini berdasarkan pada kajian bahwa pesantren merupakan lembaga berbasis keagamaan sekaligus kemasyarakatan yang mampu menawarkan dan menanamkan ajaran Islam yang toleran tanpa tindak kekerasan.
Terorisme dan Fenomena Gunung Es
Pada kesempatan tersebut, Hasbulloh Satrawi, Pengamat Politik Timur Tengah sekaligus Direktur Aliansi Damai Indonesia (Aida) mengatakan bahwa tindak terorisme di Indonesia laksana sebuah gunung es. Kasus-kasus tindakan terorisme yang telah terjadi hanya merupakan bagian kecil dari potensi-potensi tindakan serupa yang bisa kembali meletup kapan saja. Maka menurutnya, penting bagi semua pihak yang menentang tindak kekerasan ini untuk menggali secara bersama-sama bagian yang lebih besar dan menjadi akar tumbuh kembangnya tindak terorisme di Indonesia.
Hasbullah juga menyinggung soal trend mengait-kaitkan tindak terorisme dengan pengaruh perpolitikan di Indonesia. Menurutnya, aksi kekerasan ini tidak bisa dimaklumkan sebagai pengalihan isu, karena geliat terorisme sekarang ini adalah wujuduhu laisa ka adamihi, dalam arti terorisme tidak bisa ditiadakan, mereka hidup dan ada bahkan bisa memberikan pengaruh di tengah-tengah masyarakat.
Target dan indikator penting dalam penuntasan tindak terorisme terkait pada dua hal, yakni tidak adanya korban baru, juga tidak ada lagi yang terpengaruh untuk menjadi pelaku. Sementara tugas penting bagi kalangan pesantren adalah menyemarakkan penafsiran keagamaan yang toleran, serta terus menggencarkan pesan-pesan damai dan anti kekerasan.
Menggali akar terorisme adalah semacam melakukan penelusuran tentang apa-apa yang menyebabkan tindakan non manusiawi itu muncul. Hal ini bisa dilakukan dengan berkaca pada unsur-unsur yang meliputi personal para pelakunya, atau formula hukum yang diberlakukan oleh negara guna mempersempit ruang gerak para pelaku tindak kekerasan tersebut.
Munculnya Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2010 misalnya, ini merupakan bentuk urun rembuk Pemerintah Republik Indonesia dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak terorisme. Hanya saja, dalam melakukan tindakan pemberantasannya, pemerintah masih dihadapkan pada persoalan publik ketika melakukan pencegahan berupa penangkapan calon pelaku karena harus benar-benar sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Pada akhirnya, tindak terorisme ini harus dicegah bersama-sama dengan melakukan kerjasama dan komunikasi yang baik antara negara dan masyarakat. Pesantren menjadi semakin penting keberadaannya karena dinilai mampu memberikan pengaruh terhadap pemahaman keagamaan Islam yang berbasis pada rasa kemanusiaan, tidak seperti ideologi keagamaan yang dijadikan alasan oleh para pelaku untuk melakukan tindak kekerasan terorisme.
Sebab-Sebab dan Sejarah Munculnya Terorisme Hasbullah membidik sebab-sebab munculnya tindakan terorisme pada dua hal, pertama pada pelaku, berikutnya pada sistem jaringan dan ideologi. Terkait pelaku, ada beberapa macam latar belakang sehingga seseorang bisa terjerumus menjadi martir untuk melakukan aksi kejahatan tersebut, adakalanya dimulai dari persoalan keluarga hingga sosial-politik.
Persoalan keluarga diangkat menjadi salah satu penyebab lahirnya para pelaku tindak terorisme bukan tanpa kajian yang mendalam. Hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa profil teroris yang telah tertangkap dan dipenjarakan oleh pihak yang berwenang.
Dani Dwi Permana, pelaku bom bunuh diri di Hotel JW Marriot pada tahun 2009 misalnya, setelah melalui penyelidikan mendalam ditemukan fakta bahwa pria yang meninggal pada usia yang masih terbilang remaja itu lahir dari keluarga yang kurang harmonis. Kedua orang tuanya mengakui kerap berselisih dan bercekcok. Lalu diindikasi bahwa keadaan rumah yang kurang damai tersebut menjadikan Dani berpetualang mencari dunia baru yang ia harapkan. Sayangnya, ia masuk pada jeratan lingkungan yang kurang menguntungkan, nasihat dan pemaknaan hidup ia dapatkan dari sekelompok teroris yang pandai menawarkan konsep surga dan kebahagiaan. Yakni dengan jalan “jihad”, menghancurkan ketenangan hidup orang lain dengan alasan-alasan agama yang disalahgunakan.
Hal serupa juga terjadi pada Saefudin Zuhri alias Tsabit, pelaku yang merekrut Dani. Keberadaan keluarga bisa menjadi sebab paling dasar dalam membentuk dan mengakibatlkan pribadi-pribadi yang terperangkap dalam jaringan terorisme, termasuk kemiskinan.
Beranjak lebih luas dari faktor keluarga adalah sebab pengaruh sosial-politik yang terjadi. Semisal ketidakadilan global, sebuah peristiwa konflik dunia yang sekarang ini bisa dilihat masyarakat secara terbuka melalui saluran media. Konflik-konflik yang terjadi di belahan dunia lain, semisal di Timur Tengah ini, kerap digunakan sebagai alat dan alasan bagi kelompok teroris untuk merekrut orang-orang baru untuk rela mengorbankan jiwa dan raganya.
Berikutnya adalah pengaruh ideologi. Kelompok teroris selalu menyematkan label kepada pihak-pihak yang tidak menyetujui gerakannya sebagai antek Amerika, Zionis dan Yahudi. Kelompok teroris melakukan penerjemahan keagamaan Islam sedemikian rupa guna mendorong setiap aksi yang dilakukannya. Kepada masyarakat publik dan calon “pengantin”, mereka menawarkan konsep “jihad” dengan memberangus kelompok lain, konsekuensi surga dan neraka, hingga penggambaran kematian seseorang yang berjasa dengan disambut sekian banyak bidadari.
Di kalangan kelompok teroris, terdapat faktor lain yang sering tidak ketahui, yakni faktor kisah dan wasiat. Kisah, kelompok teroris sangat terampil dalam hal mendokumentasi, menciptakan berkasl khusus tentang mereka yang telah melakuan bom bunuh diri, dikaitkan dengan pola pikir mistis, misalnya, saat peristiwa pengekskusian para pelaku Bom Bali II, mereka mempromosikan kepada publik bahwa seiring kematian mereka, di langit segumpalan awan membentuk lafaz Allah. Walhasil, mereka bermaksud menggiring opini publik untuk turut membenarkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan, serta mengetuk kerelaan orang-orang baru guna melakukan hal yang sama.
Jika hendak ditelusuri dari mana akar terorisme mengatasnamakan agama berasal, maka para ahli akan menyebutkan kawasan Timur Tengah dan gerakan transnasional. Di kawasan Timur Tengah ada sebuah garis ideologi yang berkembang menjadi kelompok teroris, Wahabi. Memang, mula-mula mereka tidak bisa dikatakan sebagai teroris, namun ketika masuk ke Indonesia dan dikembangkan sedemikian rupa, mereka berubah wujud menjadi teroris dan kerap terlibat dalam tindakan radikalisme.
Menjadi menarik adalah terdapat perbedaan tradisi komunikasi kelompok gerakan Islam yang terjadi di Timur Tengah dan di Indonesia. Di Timur Tengah, beragam kelompok garis keras saling menyerang, bukan saling mendukung. Semisal di Syiria, kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) kerap ditemukan saling tengkar dan saling serang dengan kelompok serupa, Al-Qaeda. Begitu juga kelompok Wahabi yang melakukan penghancuran terhadap Ikhwanul Muslimin. Namun rupanya, hal itu tidak bisa dibaca sebagai informasi yang jelas, sehingga tren keagamaan melalui pengadopsian budaya-budaya Arab. Di Indonesia, berbagai kelompok garis keras justru tampak begitu searah guna memengaruhi masyarakat Indonesia dengan pemaknaan agama yang tidak toleran dan penuh tindak kekerasan.
Terkait soal bagaimana kelompok teroris merekrut keanggotaan dan melakukan regenerasi. Dari data yang dihimpun AIDA, pada mulanya proses tersebut dilakukan dari kampus ke kampus, dari mahasiswa ke mahasiswa. Namun kini pola mereka mulai berubah atau mungkin lebih layak dikatakan berkembang, karena pada garis yang mereka tempuh, kini lebih menyasar kepada kalangan remaja dan pelajar, termasuk santri pondok pesantren.
Pola-pola tawaran ideologi dan pemahaman Islam yang ditawarkan kelompok teroris sebenarnya hanya meliputi pada kajian-kajian yang praktis dan dangkal. Hanya saja, peluang itu bisa berhasil memengaruhi obyeknya yang menginginkan format pemahaman agama yang sederhana ditambah dengan modal pengetahuan Islam yang tidak mendalam. Di sinilah peran pesantren muncul lebih kuat, sebagai basis pendidikan Islam yang kaya pengetahuan dan pusat keilmuan yang sangat mendalam.
Sumbangsih Media dan Teknologi Internet
Perkembangan aksi terorisme juga bisa dikaitkan dengan kemajuan peradaban manusia dengan ditandai hadirnya teknologi jaringan komputer global yang kerap disebut dengan internet. Melalui fasilitas yang satu ini, semua orang bisa dengan secara bebas berburu informasi dan wacana, termasuk beragam pandangan keagamaan tanpa berbatas pada akses wilayah, latar belakang dan usia.
Kemudahan dan kecepatan internet sebagai sumber rujukan tak luput dari kelompok-kelompok radikalisme untuk menebar faham dan keyakinannya. Jika seseorang pengunjung tidak memiliki latar belakang pengetahuan keagamaan yang mendalam dan kuat, banyak sekali media-media yang telah dipasang oleh kelompok intoleran yang mampu menjebak mengubah pola pikir menuju pemahaman Islam yang keras dan radikal. Konten yang tersedia dan mendukung teraihnya tujuan tersebut disediakans secara lengkap, baik berupa tulisan, gambar, maupun video.
Badrus Samsul Fata, seorang peneliti dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) pada kesempatan sebelumnya mengatakan, media-media yang dibentuk oleh kelompok pro radikalisme di internet biasanya memuat ajakan untuk berbuat kekerasan. Sang pengelola jejaring menyajikan konten yang dianggap dapat menarik simpati pengguna dengan mengabarkan berita-berita pembantaian umat Islam dari pelbagai belahan dunia.
Dalam segi pengemasan, konten yang disajikan oleh kelompok radikal mencampur adukkan antara sisi opini dan fakta. Padahal, berita-berita yang ditayangkan tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
Selain memancing kebencian antar kelompok agama, konten yang disajikan melalui internet ini juga kerap menyerang dan menyuarakan anti-demokrasi. Mereka menolak sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) disertai dengan semangat jihad kekerasan yang begitu tinggi. Tidak lupa pula, mereka menyebut Pancasila dan NKRI sebagai sistem Thaghut dan menyesatkan.
Dalam menghalau pengaruh buruk konten-konten yang mendukung tindak kekerasan mengatas-namakan agama ini, sudah sepatutnya bagi para santri maupun pengunjung internet lainnya harus menggunakan daya kritis yang kuat, terlebih lagi jika mampu turut andil dalam menyertakan konten-konten yang menebar kedamaian dalam media yang serupa. [Sobih Adnan]