Setidaknya sudah sering terdengar betapa banyaknya pembicaraan mengenai keutamaan dan kemuliaan bulan Sya’ban. Bulan ke-8 dalam jajaran penanggalan kalender hijriyah ini tidak luput dari amanat-amanat, anjuran, bahkan perintah Nabi melalui hadits-haditsnya. Namun ternyata terdapat hal menarik, terutama mengenai makna nama dari bulan yang terhitung di tengah-tengah antara Rajab dan Ramadlan ini.
Banyak riwayat yang menceritakan awal mula penamaan bulan sya’ban ini terambil dari term Arab yang berbunyi tasya’ub (berpencar). Hal tersebut tergagas karena kultural masyarakat Arab. Di mana pada hitungan bulan ini, terbiasa saling berpencar untuk mencari mata air dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selain itu juga terdapat riwayat yang menjelaskan tentang pemaknaan bulan sya’ban dengan penukilan lafadz sya’aba yang dalam terminologi arab memiliki makna “muncul”, karena terletak di antara dua bulan yang dimuliakan di atas.
Akan tetapi pemaknaan sya’ban dari makna “berpencar” (baca: bekerja) akan dirasa lebih menarik untuk diangkat. Karena berkaitan dengan kesemangatan manusia sebagai hamba yang tertuntut untuk beribadah kepada Tuhannya, sekaligus sebagai makhluk sosial yang memiliki tanggung jawab penuh, terhadap pemenuhan kebutuhannya melalui sebuah usaha atau ikhtiar dan bekerja.
Keberiringan antara amanat ibadah dan bekerja yang tersandang oleh manusia, ini ditekankan Allah SWT dengan tanpa adanya pembatasan wilayah. Tuhan hanya memberikan tekanan proses pencapaian rizki tersebut, harus secara halal dan tidak sampai melalaikan posisi manusia itu sendiri sebagai hamba.
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah:10).
Membumi-adilkan Kepedulian Terhadap Buruh Migran
Masih tentang penamaan bulan mulia ini, dengan arti bekerja, ikhtiar, dan berusaha, sekaligus dengan efek penggambaran kata “berpencar” yang menghapuskan masalah keterbatasan wilayah dengan sendirinya. Maka akan semakin teringat dengan nasib para “pemencar” dan para pencari nafkah sampai ke luar batasan negeri, yakni para buruh migran yang tengah menjalankan perannya sebagai pemenuh kebutuhan seperti diamanatkan Allah SWT dalam penggalan ayat suci di atas.
Suatu nilai ibadah yang ditekankan Allah SWT tidak hanya bersasaran pada suasana kehambaan semata. Artinya ibadah tidak hanya berlaku pada wilayah ritual munajat manusia kepada Tuhannya. Akan tetapi banyak tekanan ibadah yang justru memiliki tema dan amanat terhadap kepedulian antar sesama manusia –hablum min annas-, selain ibadah zakat, shodaqoh, dan lainnya.
“Sesungguhnya manusia akan mendapatkan kesusahan di dunia dan di akhirat, kecuali bagi mereka yang bisa menjalin hubungan baik dengan Allah dan menjaga hubungan baik dengan sesama manusia.” (QS. Ali Imran: 112)
Kepedulian terhadap para buruh migran memang harus benar-benar segera membumi di benak masyarakat Indonesia. Apalagi buruh migrant seringkali diabaikan keberadaannya. Nilai ibadah melalui kepedulian terhadap para buruh migran ini akan terklaster, dalam suasana kepedulian terhadap makhluk yang lemah dan sering terlemahkan. Tak jarang mereka adalah para perempuan dan anak-anak, yang tidak sebanding dengan masalah yang mereka hadapi.
Selama ini perhatian terhadap buruh migran baru terbaca dilakukan oleh sebagian kelompok-kelompok masyarakat Indonesia. Hanya melalui komunitas-komunitas kecil, media, atau beberapa instansi yang berkaitan dengan perlindungan buruh migranlah, yang dapat terakses tentang gambaran keadaan dan nasib yang menimpa mereka. Secara singkat akan terwujud jaringan keterbukaan informasi yang merata tentang buruh migran, yakni pemerintah sebagai pelindung sekaligus pendamping mereka.
Pencegahan Diskriminasi Buruh Migran
Sebagian besar kasus pelanggaran yang menimpa para buruh migran ternyata terjadi di wilayah negara-negara muslim. Entah karena masih terdapat sikap salah pemaknaan sejarah Islam tentang sistem perbudakan oleh masyarakat muslim dunia. Mereka menyambut kehadiran para buruh migran yang datang dengan skema perbudakan. Di mana masih teradopsi dalam wacana keagamaan mereka. Atau karena memang keterputusan komunikasi, tentang wacana keberagamaan yang saling menghubungkan antara negara pengirim, seperti Indonesia dan negara penerima.
Jika wacana di atas sedikit dapat dibenarkan, maka ternyata kecerdasan beragamalah yang dapat memberikan sumbangsih untuk jaminan hak-hak buruh migrant. Artinya perlu digagas-gencarkan pemaknaan ulang sejarah perbudakan yang pernah mewarnai kejayaan Islam. Walau sebagian muslim dengan kecerdasan keberagamaan tersebut berhasil memaknai bahwa, justru Islamlah yang berhasil menghapus budaya perbudakan masyarakat dunia.
Melalui forum-forum komunikasi muslim dunia seperti KTT Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan lainnya, ternyata masih harus diperkuat tentang pentingnya wacana tersebut. Dalam hal ini tentunya yang dapat berperan dengan leluasa adalah pemerintah.
Mereka para buruh migran berpencar menggali rizki tidak hanya untuk kebutuhan diri dan keluarganya, akan tetapi melalui sumbangan devisa yang dihasilkannya dapat juga dirasakan dan memberikan kesejahteraan terhadap negara dan masyarakat luas. Mereka berikhtiar dan mereka ber-tasya’ub, hingga dalam detikan sya’ban, saat inipun masih sangat membutuhkan perhatian dan kepedulian kita sesama manusia. Wallahu a’lam Bil Shawab.[]
Penulis adalah Ketua Umum ASJAP Institute, Alumni Pondok Pesantren Kempek, dan Mahasiswa Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) –Cirebon.