Manusia diciptakan di bumi ini tidak lain adalah untuk saling sayang-menyayangi, mengasihi dan saling tolong menolong (At-Taubah:71). Termasuk manusia diciptakan sebagai perempuan dan laki-laki, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku juga tidak lain adalah untuk berbagi kasih sayang dan saling mengenal (Al-Hujarat:13). Maka dari itu, sebagai manusia yang mempunyai naluri kasih sayang selalu memberikan bantuan kepada saudaranya yang sedang membutuhkan. Misalkan tetangganya sakit, lapar, atau terkena musibah. Maka secara naluriah sifat untuk menolong itu pasti akan muncul. Disitulah kekuatan manusia dalam membangun hubungan sosial kemasyarakatan atau dalam istilah lain disebut solidaritas antar sesama.
Secara harfiah solidaritas adalah kebersamaan, kekompakan, atau tenggang rasa. Sedangkan secara istilah solidaritas adalah perasaan atau ungkapan individu atau kelompok yang dibentuk oleh kepentingan dan tujuan bersama. Nabi Muhammad Saw. memberikan gambaran bahwa solidaritas antar masyarakat seperti bangunan yang saling terkait satu sama lain, dimana satu rangkaian bangunan memperkuat rangkaian bangunan yang lain. Sama halnya dengan tubuh manusia, ketika bagian dari tubuh kita ada yang sakit maka semua anggota tubuh kita akan ikut merasakan. Sisi kemanusiaan ini yang mestinya selalu dikedepankan dalam membangun hubungan yang harmonis antar sesama, bahkan dengan mengedepankan solidaritas akan tercipta kedamaian dalam diri manusia, bernegara, dan beragama.
Dalam konteks kehidupan di Indonesia, upaya tenggang rasa sudah diajarkan oleh nenek moyang kita. Dimana tradisi-tradisi kecil seperti melayat orang mati, rombongan menengok orang sakit, dan hal-hal kecil lainnya selalu dijaga. Kegiatan tersebut ternyata mempunyai dampak yang sangat besar yang terkadang disepelekan. Padahal bisa dirasakan ketika orang datang melayat dan memberikan dukungan terhadap orang yang terkena musibah, begitu senangnya orang tersebut karena merasa mendapat dukungan, merasa dibantu dan tidak sendiri.
Begitu juga dengan perasaan orang sakit yang sedang di tengok, dia seakan-akan diberi semangat baru untuk sembuh, mendapat dukungan dan semua itu bisa menjadi obat bagi kesembuhannya. Tradisi seperti ini begitu mulia. Dapat membangun hubungan antar manusia dengan mengedepankan sisi kemanusiaannya. Bukankah kalau kita lihat tradisi tersebut tidak membeda-bedakan antar etnis, ras, atau agama. Bahkan semua sama, yaitu saling membantu memberikan dukungan dan kasih sayang.
Manfaat lain dalam membangun solidaritas adalah dapat menurunkan tingkat kekerasan dan menciptakan hubungan yang harmonis diantara umat beragama. Seperti yang dilakukan Umar bin Khattab pada waktu itu bahwa beliau pernah menemukan seorang tua jompo dari kalangan dzimmi—orang non muslim yang hidup di bawah naungan negara Islam—meminta-minta, kemudian beliau langsung memberikan jatah bantuan biaya hidup dari Baitul Mal meskipun orang tersebut bukan muslim.
Contoh lain adalah solidaritas antar umat beragama di Tentena, Poso. Mereka saling berbagi dalam hubungan sosial dan menghormati ketika umat lain merayakan kegiatan-kegiatan kegamaan. Misalnya, ustadz Mustamin yang saat ini menjadi imam Masjid Besar Tentena, beliau selalu ikut belasungkawa ketika ada salah satu umat Kristiani meninggal dunia dan memberi selamat ketika perayaan hari-hari besar Kristiani. Begitu sebaliknya, beberapa pendeta yang ada di Tentena memberikan dukungan kepada umat Islam ketika salah satu keluarga ada yang meninggal dunia, dan memberikan selamat ketika sedang merayakan hari-hari besar Islam seperti Idul fitri. Tujuannya tidak lain kecuali hanya untuk menjaga hubungan harmonis sesama masyarakat di Tentena.
Sama sebenarnya dengan semangat bangsa Indonesia yang mengedepankan kesatuan dan persatuan, dan itu dituangkan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” atau berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Tidak ada perbedaan warna kulit, suku, dan agama. Mereka tergabung dalam kesatuan bangsa, yaitu Indonesia. Bahkan Majlis Ulama Indonesia (MUI) juga melakukan ijtima’ tentang Masail Asasiyah Wathaniyah (masalah strategis kebangsaan) yang dijelaskan dalam ayat (1) tentang kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk negara kesatuan republik Indonesia dengan Pancasila sebagai falsafah bangsa dan undang-undang sebagai dasar negara republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi yang merupakan ikhtiar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kehidupan bersama, kesepakatan ini mengikat seluruh elemen bangsa, dan ayat (2) menjelaskan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, baik suku, ras, budaya maupun agama. Maka bangsa Indonesia sepakat untuk mengidealisasikan bangsa sebagai sebuah bangsa yang tetap satu.
Sumber:http://resiprositi.com/2016/12/membangun-solidaritas-untuk-perdamaian/