Senin, 23 Desember 2024

Mendesakkan Agenda Rakyat Dalam Pilkada

Baca Juga

Dalam moment-moment hajatan politik (Pemilu/Pilkada), kiai atau ulama sering kali dijadikan target “silaturahmi politik”. Ini di antaranya karena kiai dianggap memiliki pengaruh dan kharisma di masyarakat. Fenomena ini menarik perhatian banyak politisi, terutama saat Pilkada seperti sekarang, karena dengan mendekat ke para kiai, berarti mereka sedang mendekat ke penarik suara masyarakat. 

 

Mereka beramai-ramai “meminta restu dan doa” dari sang kiai, agar kelak dipilih masyarakat. Atau, dan ini yang lebih banyak sesungguhnya, sang politisi dapat dukungan dari jama’ah atau santri dan masyarakat yang selama ini makmum sama kiai.

Fenomena kiai dijadikan sebagai komoditas politik adalah bagian tersendiri wajah perpolitikan bangsa ini. Ketika moment-moment tertentu, seperti Pemilu/Pilkada, kedudukan kiai diangkat dan diistimewakan. Setelah itu, biasanya kiai dan masyarakat lainnya kurang dilibatkan dalam merumuskan kebijakan yang justru terkait dengan nasib masyarakat banyak itu sendiri. Dalam hal ini, nampak jelas bahwa politisi melibatkan kiai dan tokoh masyarakat lainnya lebih untuk kepentingan sebagai alat penarik suara (vote gater) dalam Pemilu/Pilkada.

Yang berkembang kemudian adalah pembodohan terhadap rakyat dalam hal berdemokrasi, di mana standar kualitas calon pemimpin daerah diukur dengan seberapa sering ia ‘pamer kebaikan’ dan ‘kedermawanan’ di hadapan rakyat. Sementara itu persoalan-persoalan yang menjadi kebutuhan rakyat banyak, justru kurang tersentuh. Seperti kemiskinan, terbukanya lapangan pekerjaan, bahkan pendidikan dan kesehatan rakyat, hampir tidak dibahas secara serius dan tuntas. Dalam Pilkada kali ini, hampir bisa dikatakan tidak ada evaluasi serius yang diketahui banyak orang, mengenai sejauh mana pemerintah daerah melakukan tugasnya dalam memberikan pelayanan publik terkait soal-soal tersebut.

Sehingga tidak aneh apabila belakangan muncul apatisme masyarakat terhadap Pemilu/Pilkada. Mereka lebih tertarik pada “duit” yang dibagikan para calon, ketimbang program-program, misi dan visi yang ditawarkan calon. Begitu juga dengan kiai dan tokoh masyarakat lainnya, mereka lebih sibuk ‘dukung-mendukung’ calon-calon pemimpin daerah, ketimbang memberikan tausyiah kepada calon dan masyarakat agar menjalankan proses demokrasi dengan baik, jujur, adil, memperhatikan nasib rakyat banyak dan jauh dari politik uang (money politic).

Agenda Pilkada Cenderung Elitis

Keanehan dalam Pilkada sebagaimana di atas, timbul karena memang persoalan kehidupan rakyat kurang menjadi agenda utama. Justru agenda utamanya adalah dukung-mendukung kandidat. Di mana kandidat dipromosikan begitu sempurna, dengan beragam spanduk, baliho, ditambah dengan berbagai jargon dan janji-janjinya. Kegiatan selebrasi kandidat, yang menjadikan kandidat bagai artis yang rajin dipromosikan, nampaknya mengalahkan pembahasan masalah-masalah kerakyatan.

Sementara itu di tingkat lokal, konstalasi politik dalam Pilkada biasanya tidak lebih berupa perpaduan antara politik uang (money politics) dengan premanisme (gangsterisme). Sepanjang tahun 2005 yang lalu, tema-tema Pilkada hanya berkisar pada godaan uang, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan ancaman ‘kekerasan’ bagi pihak yang berseberangan.

Konstalasi di atas diperparah dengan kondisi objektif dan subjektif rakyat lokal kita yang sedang dirundung berbagai persoalan. Satu di antaranya kemampuan daya beli mereka yang amat merosot sejak terus menaiknya harga BBM.

Di banyak tempat, kondisi objektif dan subjektif seperti itu mendorong terjadinya jual beli suara dalam pilkada. Rakyat yang sedang dirundung malang, sementara para kandidat berlimpah uang, akhirnya bertemu dalam satu titik kepentingan: rakyat butuh uang, kandidat butuh dukungan suara. Inilah “demokrasi yang terjual-belikan” dalam pilkada.

Di tahun-tahun ini agenda pilkada nampaknya masih mengulangi pilkada sepanjang 2005. Baik aktor, setting, maupun problematikanya tidak jauh berbeda dengan tahun silam. Aktor masih didominasi pejabat lama, pemodal, dan kelompok-kelompok di sekitarnya. Rakyat banyak serta aktivis dan penggiat demokrasi belum muncul memainkan peran. Mereka masih menjadi figuran. Latar pilkada masih diwarnai agenda elitis. Kepentingan rakyat banyak masih merupakan barang sampiran.

Di balik segala kemeriahannya, Pilkada kali ini berlangsung di saat inflasi tinggi. Bukan hanya harga bahan bakar solar yang membumbung. Harga beras dan minyak goreng pun terus menanjak. Sementara itu, setidaknya hingga Agustus 2007, prosentasi angka pengangguran (terhadap angkatan kerja) membumbung hingga angka 13,05%. Dari tahun ke tahun ketidak-adilan agraria terus berlangsung, petani tidak mungkin bisa hidup dari bertani. Petani di sepanjang garis pantai Jawa Barat terus dihimpit masalah kemiskinan.

Mendesakkan Kepentingan Rakyat

Dalam kehidupan berdemokrasi, suara dan kepentingan rakyat adalah segalanya. Dalam konteks demokrasi ‘suara rakyat’ adalah suara Tuhan. Maka sudah selayaknya jika pesta demokrasi, baik yang berupa Pemilu di tingkat nasional maupun Pilkada di tingkat lokal, benar-benar menjadi pesta yang hasilnya dapat dinikmati rakyat. Adalah kerja sia-sia, jika kemudian Pilkada dilaksanakan hanya untuk menjadikan satu atau dua kandidat menjadi pemimpin daerah, tetapi nasib rakyat tetap tidak berubah, bahkan mungkin juga rakyat bertambah sengsara.

Sejak payung hukum Pilkada dibahas, mulai muncullah perasaan berharap yang berlebihan. Diyakini, pilkada merupakan langkah awal bagi rakyat, bukan hanya untuk penguatan demokratisasi di tingkat lokal, tetapi juga diharapkan akan mengantarkan kemakmuran rakyat di daerah. Agar harapan rakyat itu tidak menjadi sekedar harapan kosong, dan rakyat tidak terus-menerus kecewa, maka mendesakkan agenda-agenda yang menyentuh perbaikan nasib rakyat adalah menjadi penting adanya.

Agama sendiri, khususnya Islam, menganggap penting keberpihakkan terhadap kehidupan rakyat ini. Dalam Islam, pemerintahan dijalankan semata-mata untuk kemashlahatan rakyatnya, bukan untuk sekedar berkuasa saja, tapi tidak berbuat apa-apa. Dalam dunia pesantren sangat dikenal jargon yang menyatakan Tasharuful Imam ‘ala al-Ra’iyyah Manuthun bi al-Mashlahah, yang artinya: ”Perlakuan pemimpin kepada rakyatnya mesti berorientasi pada perbaikan nasib rakyat banyak”. Wallahu ‘alam bi al-shawab.[]

 


Penulis adalah putra dan keluarga pesantren Babakan Ciwaringin

yang sekarang aktif menjadi Koordinator JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Kabupaten Cirebon.

(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VII ed. 07 – tanggal 28 Maret 2008) 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya