Jumat, 22 November 2024

Meneguhkan Kemanusiaan Menjaga NKRI

Baca Juga

Akhir-akhir ini, perkembangan kehidupan umat beragama di Indonesia, menampakkan gejala menguatnya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kekerasan belakangan ini seolah-olah menjadi representasi dari pemahaman kebenaran tunggal individu ataupun beberapa golongan. Namun demikian, pemahaman kebenaran tunggal tersebut seakan dipandang sebagai pemenuhan ajaran Tuhan, kesalehan dianggap bisa dicapai dengan tindakan-tindakan kekerasan yang berimplikasi meniadakan perbedaan pandangan dan bahkan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan.

 

Sikap dan tindakan kelompok “anti kemanusiaan” ini cenderung melibatkan Tuhan dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik. Klaim-klaim teologis yang ditumbuh-kembangkan oleh kelompok ini sebenarnya mendangkalkan agama menjadi hanya bersifat keyakinan yang ekslusif dan alienatif, dan semakin membenarkan doktrin “aku ada, yang lain tidak ada”. Jelas kiranya pemikiran dan gerakan kelompok yang sering melakukan kekerasan ini berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan, meniadakan relevansi nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin, yang sudah lama terbentuk dari perjalanan dan proses sejarah.

Dalam sejarah, kekerasan dan pemberangusan kelompok-kelompok yang dianggap berbeda dari kelompok mainstream (kelompok kebanyakan) dan penguasa ini bukan hal baru. Ini kerap kali terjadi dan berulang dalam sejarah. Perdebatan panjang mengenai pemahaman keagamaan yang berbeda-beda ditambah dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu kadang berujung pada tragedi kekerasan, dimana agama diteriakkan, tetapi justru kemanusiaan tercampakkan. Untuk menyebut salah satu contoh adalah peristiwa ‘mihnah’, saat aliran Mu’tazilah menjadi mazhab resmi negara. Saat itu rakyat, ulama dan seluruh umat Islam ditanya apakah al-Qur’an itu sesuatu yang ada sejak dahulu (qadim) atau ciptaan Tuhan yang bersifat baharu (hadits). Saat itu aliran Mu’tazilah berkeyakinan bahwa al-Qur’an yang berupa Kalam Allah itu merupakan hal baharu yang diciptakan, ia tidak qadim. Sementara kelompok Sunni berkeyakinan bahwa Kalam Allah bersifat qadim. Tetapi ketika rakyat yang ditanya tersebut menjawab tidak sependapat dengan teologi Mu’tazilah, maka mereka kemudian dibunuh. Atas nama Tuhan, Mu’tazilah saat itu memaksakan kehendak dan pemahaman keagamaannya dengan menghalalkan segala cara, kekerasan dan pembunuhan keji sekalipun.

Kecenderungan menghalalkan tindak kekerasan dalam beragama, belakangan mulai marak di negeri ini. Apakah kita akan mengulangi sejarah konflik berdarah-darah yang sesungguhnya tidak perlu itu.

Sejatinya, kekerasan tidak dibenarkan sama sekali oleh agama manapun, khususnya Islam. Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Sayangnya pemahaman ini berlaku bagi kelompok-kelompok Islam (ormas) di tanah air yang sudah mapan, seperti NU, Muhammadiyah, dan beberapa lainnya. Sementara itu ormas-ormas keagamaan yang belakangan muncul, cenderung menghembuskan misinya dengan melakukan politisasi agama.

Dalam hal ini, kita harus mewaspadai perkembangan gerakan kelompok-kelompok yang suka dengan kekerasan ini. Jauh-jauh hari pergumulan sejarah telah sepakat bahwa negara kita berpegang pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita harus memerangi segala bentuk kekerasan atas nama agama, karena negara kita adalah negara hukum, negara yang mendeklarasikan Pancasila sebagai dasar negara, dan menyepakati bahwa bentuk negara kita adalah NKRI. Keberadaan NKRI dan Pancasila itu sendiri tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan seiring adanya. Kenyataan ini harus ditekankan berulang kali. Sikap-sikap ini sebagai bagian dari langkah nyata kita sebagai warga negara dan umat muslim yang baik yang selalu mencari kemashlahatan di mana pun dan kapan pun, bukannya mengumbar kebencian di mana-mana.

Islam dan Nilai Kemanusiaan

Sebenarnya Islam sendiri mengapresiasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam al-Qur’an terkandung landasan-landasan normatif antar umat manusia, didalamnya jelas disebutkan bahwa keragaman dalam suku, ras, bahasa, bangsa bahkan agama merupakan Sunnah Tuhan yang tidak bisa dipungkiri. Keragaman itu juga tidak dapat dijadikan alasan untuk bermusuhan dan melakukan kekerasan, justru di dalamnya menganjurkan untuk saling mengenal dan menjalin persaudaraan. Hal ini seakan menegaskan bahwa fakta keragaman dan perbedaan dalam masyarakat yang plural, bukan menjadi pembenaran untuk saling melenyapkan, meniadakan serta menghinakan satu sama lain. Dengan perbedaan, semestinya manusia memperoleh manfaat yang lebih besar. Dalam Islam terdapat spirit mengenai Islam sebagai agama perdamaian, misalnya dengan mengucapkan salam terhadap sesama muslim, sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Nisa [4]: 86; “Apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya atau balaslah penghormatan itu dengan yang sama.”

Kekerasan Mengancam NKRI

Dalam hal penghormatan terhadap pihak yang berbeda, dikisahkan bahwa Nabi besar Muhammad SAW. adalah sosok yang sangat menghormati perbedaan, baik agama maupun etnis. Ketika ada rombongan yang mengahantar jenazah orang Yahudi melewati Nabi SAW., beliau langsung beridiri sebagai tanda hormat. Nabi SAW. bersabda: “Inni bu’itstu bi hanfiyatil samhah” (Saya diutus dengan membawa  agama yang cenderung toleran). KH. Ahmad Siddiq –tokoh Nahdlatul Ulama- menyatakan bahwa sebagai umat Islam yang baik selain mengenal persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), mengenal persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah wathaniyah), juga mengenal persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Dari sini umat beragama, Islam khususnya, adalah umat yang mengenal bukan hanya wacana keagamaan, tetapi juga kebangsaan dan kemanusiaan.

Dimensi kemanusiaan ini merupakan aspek penting dalam tatanan kerukunan kehidupan beragama di Indonesia. Kerukunan beragama itu sendiri adalah soko guru bagi keberadaan kesantuan dan persatuan negeri ini. Tanpa kerukunan umat beragama, niscaya keutuhan NKRI terganggu. Artinya kekerasan atas dasar agama sesungguhnya harus dipandang sebagai upaya yang membahayakan negara ini. Karena itu segala tindak kekerasan yang dilakukan atas nama agama, meski disikapi secara cepat oleh pihak yang berwajib. Wallahua’lam bi al-Showab.[]


Penulis adalah Santri Kiai Dimyathi (Ketua Dewan Syuro PKB Kota Cirebon), 

yang sekarang aktif sebagai Pemantau dari Fahmina dalam

Jaringan Pemantauan Kebebasan Beragama se wilayah Jawa Barat.

(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VII ed. 06 – tanggal 14 Maret 2008)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya