Akhir-akhir ini, perkembangan kehidupan umat beragama di Indonesia, menampakkan gejala menguatnya kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kekerasan belakangan ini seolah-olah menjadi representasi dari pemahaman kebenaran tunggal individu ataupun beberapa golongan. Namun demikian, pemahaman kebenaran tunggal tersebut seakan dipandang sebagai pemenuhan ajaran Tuhan, kesalehan dianggap bisa dicapai dengan tindakan-tindakan kekerasan yang berimplikasi meniadakan perbedaan pandangan dan bahkan menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sikap dan tindakan kelompok “anti kemanusiaan” ini cenderung melibatkan Tuhan dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik. Klaim-klaim teologis yang ditumbuh-kembangkan oleh kelompok ini sebenarnya mendangkalkan agama menjadi hanya bersifat keyakinan yang ekslusif dan alienatif, dan semakin membenarkan doktrin “aku ada, yang lain tidak ada”. Jelas kiranya pemikiran dan gerakan kelompok yang sering melakukan kekerasan ini berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan, meniadakan relevansi nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil alamin, yang sudah lama terbentuk dari perjalanan dan proses sejarah.
Dalam sejarah, kekerasan dan pemberangusan kelompok-kelompok yang dianggap berbeda dari kelompok mainstream (kelompok kebanyakan) dan penguasa ini bukan hal baru. Ini kerap kali terjadi dan berulang dalam sejarah. Perdebatan panjang mengenai pemahaman keagamaan yang berbeda-beda ditambah dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu kadang berujung pada tragedi kekerasan, dimana agama diteriakkan, tetapi justru kemanusiaan tercampakkan. Untuk menyebut salah satu contoh adalah peristiwa ‘mihnah’, saat aliran Mu’tazilah menjadi mazhab resmi negara. Saat itu rakyat, ulama dan seluruh umat Islam ditanya apakah al-Qur’an itu sesuatu yang ada sejak dahulu (qadim) atau ciptaan Tuhan yang bersifat baharu (hadits). Saat itu aliran Mu’tazilah berkeyakinan bahwa al-Qur’an yang berupa Kalam Allah itu merupakan hal baharu yang diciptakan, ia tidak qadim. Sementara kelompok Sunni berkeyakinan bahwa Kalam Allah bersifat qadim. Tetapi ketika rakyat yang ditanya tersebut menjawab tidak sependapat dengan teologi Mu’tazilah, maka mereka kemudian dibunuh. Atas nama Tuhan, Mu’tazilah saat itu memaksakan kehendak dan pemahaman keagamaannya dengan menghalalkan segala cara, kekerasan dan pembunuhan keji sekalipun.
Kecenderungan menghalalkan tindak kekerasan dalam beragama, belakangan mulai marak di negeri ini. Apakah kita akan mengulangi sejarah konflik berdarah-darah yang sesungguhnya tidak perlu itu.
Sejatinya, kekerasan tidak dibenarkan sama sekali oleh agama manapun, khususnya Islam. Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Sayangnya pemahaman ini berlaku bagi kelompok-kelompok Islam (ormas) di tanah air yang sudah mapan, seperti NU, Muhammadiyah, dan beberapa lainnya. Sementara itu ormas-ormas keagamaan yang belakangan muncul, cenderung menghembuskan misinya dengan melakukan politisasi agama.
Dalam hal ini, kita harus mewaspadai perkembangan gerakan kelompok-kelompok yang suka dengan kekerasan ini. Jauh-jauh hari pergumulan sejarah telah sepakat bahwa negara kita berpegang pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kita harus memerangi segala bentuk kekerasan atas nama agama, karena negara kita adalah negara hukum, negara yang mendeklarasikan Pancasila sebagai dasar negara, dan menyepakati bahwa bentuk negara kita adalah NKRI. Keberadaan NKRI dan Pancasila itu sendiri tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan seiring adanya. Kenyataan ini harus ditekankan berulang kali. Sikap-sikap ini sebagai bagian dari langkah nyata kita sebagai warga negara dan umat muslim yang baik yang selalu mencari kemashlahatan di mana pun dan kapan pun, bukannya mengumbar kebencian di mana-mana.
Islam dan Nilai Kemanusiaan
Kekerasan Mengancam NKRI
Dalam hal penghormatan terhadap pihak yang berbeda, dikisahkan bahwa Nabi besar Muhammad SAW. adalah sosok yang sangat menghormati perbedaan, baik agama maupun etnis. Ketika ada rombongan yang mengahantar jenazah orang Yahudi melewati Nabi SAW., beliau langsung beridiri sebagai tanda hormat. Nabi SAW. bersabda: “Inni bu’itstu bi hanfiyatil samhah” (Saya diutus dengan membawa agama yang cenderung toleran). KH. Ahmad Siddiq –tokoh Nahdlatul Ulama- menyatakan bahwa sebagai umat Islam yang baik selain mengenal persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyah), mengenal persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah wathaniyah), juga mengenal persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Dari sini umat beragama, Islam khususnya, adalah umat yang mengenal bukan hanya wacana keagamaan, tetapi juga kebangsaan dan kemanusiaan.
Penulis adalah Santri Kiai Dimyathi (Ketua Dewan Syuro PKB Kota Cirebon),
yang sekarang aktif sebagai Pemantau dari Fahmina dalam
Jaringan Pemantauan Kebebasan Beragama se wilayah Jawa Barat.
(Artikel ini dimuat dalam Warkah al-Basyar Vol. VII ed. 06 – tanggal 14 Maret 2008)