Senin, 23 Desember 2024

Mengaji Keberagaman di Bulan Ramadhan

Oleh: Alfa Gracia Kaniagara Setra

Baca Juga

Perkenalkan nama saya Alfa Gracia Karniagara Setra, nama saya cukup panjang maklum hasil dari sumbangan beberapa kerabat waktu saya dilahirkan di dunia hehe. Tapi teman-teman cukup memanggil saya Alfa.

Sejujurnya saya tidak pernah mengikuti pengajian yang digelar umat muslim sebelumnya, secara saya dilahirkan di dalam keluarga Kristiani. Seperti orang kebanyakan, ketika saya diajak untuk mengikuti pengajian bersama umat muslim, saya sedikit khawatir. Dalam benak saya, saya bertanya-tanya “nanti saya mau apa kalau yang lain membaca Al-Quran? Hanya mendengar saja gitu? Saya sendiri tidak paham bahasa Arab, nanti bagaimana ya?”

Ya, dalam pandangan saya sebuah pengajian itu adalah kegiatan di mana umat Islam membaca Al-Quran secara bersama-sama. Rasa canggung pun datang menyelimuti saya dan bingung rasanya harus bagaimana. Terlebih saat saya dikenalkan dalam forum pengajian sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta yang sedang praktik lapangan, sungguh ada sedikit perasaan takut apabila kehadiran saya justru mengganggu mereka. Tetapi ketika saya melihat senyum mereka yang ditujukan kepada saya, saya senang sekali dan paham bahwa kehadiran saya telah diterima oleh mereka.

Pengajian yang saya ikuti itu merupakan agenda tahunan lembaga yang bergerak di bidang sosial keagamaan di Kota Cirebon. Fahmina Institute nama lembaganya. Kegiatan itu ialah Pengajian Ramadhan Fahmina. Saya mengikutinya berbarengan dengan tugas praktik lapangan “magang”  saya di lembaga tersebut yang bertepatan dengan bulan Ramadhan.

Masih diselimuti perasaan canggung, saya seketika terkejut dan sedikit heran saat pengajian dimulai, ternyata tidak ada acara membaca Al-Quran secara bersama-sama. Tetapi mereka mengupas isi suatu kitab dan seperti membahasnya secara bersama-sama. Orang-orang pesantren menyebutnya “ngaji Pasaran” menurut salah satu peserta pengajian yang saya ikuti.

Dugaan  saya ternyata meleset. Fahmina Institute menggelar pengajian ternyata bukan hanya untuk membaca kitab suci tersebut secara bersama-sama, tetapi mengupas isi sebuah kitab yang di dalamnya berisi akidah-akidah Islam (teologi Islam). Sungguh saya merasa senang, karena dengan demikian pengajian tersebut bagi saya seperti kelas kuliah tambahan yang membahas mengenai Islam. Tentu saja pengajian ini memberikan manfaat bagi saya selaku orang awam.

Kitab yang dibahas adalah kitab Bidayatul Hidayah, Nabiyu Rahmah, Hujjah Ahlussunnah wal Jamaah, dan Kitab Serat Carub Kandha. Dari keempat kitab tersebut, saya tertarik dengan kitab yang disampaikan oleh Kyai Husein Muhammad, yaitu kitab Bidayatul Hidayah. Sesuai yang disampaikan oleh Kyai Husein bahwa kitab tersebut berisikan akidah-akidah Islam yang menurut saya sangat cocok untuk permasalahan yang sedang hangat-hangatnya terjadi di Indonesia, yaitu permasalahan keberagaman dan isu agama.

Dalam pengajian tersebut juga Kyai Husein selalu mengaitkan isi kitab dengan realitas kehidupan yang sedang terjadi saat ini. Konflik yang terjadi di sana-sini dengan latar belakang agama, membuat masyarakat resah. Terlebih lagi provokasi yang dilakukan oleh tokoh agama menjadi sorotan sentral pada konflik tersebut. Saya pribadi menjadi terpacu untuk mendalami permasalahan provokasi atau ujaran kebencian yang dilakukan oleh tokoh agama yang sedang marak terjadi.

Hal itu yang membuat saya kagum dan percaya bahwa agama tidaklah menjadi jurang pemisah antar manusia karena pada dasarnya ajaran dari semua agama adalah sama menebarkan kasih.

Di setiap pengajian yang dipimpin oleh Kyai Husein, beliau selalu menyisipkan mengenai permasalahan ujaran kebencian (hate speeech) yang dilakukan oleh tokoh agama. Dengan berpegangan pada kitab Bidayatul Hidayah, melontarkan rasa benci kepada orang lain dengan memprovokasi orang lain bukanlah ciri Islam yang sesungguhnya.

“Islam yang sebenarnya adalah Islam yang menaruh kasih kepada sesama manusia dan alam semesta. Jadi jika orang melakukan ujaran kebencian, artinya menebarkan kebencian, maka harus kembali dipertanyakan keislamannya” ungkap Kyai Husein sambil tersenyum.

Ungkapan Kyai Husein tersebut masih terus terngiang di kepala saya, karena saya merasa bahwa ajaran Kristen mengenai kasih terhadap sesama manusia juga ada dalam Islam dan hal itu yang membuat saya kagum dan percaya bahwa agama tidaklah menjadi jurang pemisah antar manusia karena pada dasarnya ajaran dari semua agama adalah sama menebarkan kasih.

Selama kurang lebih satu bulan saya mengikuti pengajian tersebut, saya menemukan hal yang menarik, yaitu sangat telihat suasana kekeluargaan. Dalam mengaji, suasana tidak terasa tegang, bahkan mereka satu sama lain saling bercengkrama dan bercanda tawa selayaknya keluarga. Terkadang juga saya mendengar mereka saling melempar banyolan pada saat yang tepat, sehingga suasana pun menjadi cair.

Tidak hanya hal menarik, saya juga melihat hal lucu saat pengajian. Ketika itu sebagian dari orang yang mengikuti pengajian tertidur lelap sampai-sampai sang kyai mengatakan “Wah, pahala yang mereka dapatkan double tuh, mendengarkan pengajian dan juga tertidur.” Sontak perkataan sang kyai tersebut membuat kami tertawa dan terlebih saat mereka yang tertidur terlihat kaget kebingungan ketika mata kami tertuju kepada mereka yang terbangun karena suara tawa kami.

Saya sangat bersyukur ditempatkan di Fahmina Institute, saya mendapat banyak pengalaman, terutama saat mengikuti pengajian. Di satu sisi, saya mendapat banyak informasi mengenai Islam dan di sisi lain saya dapat mengetahui bahwa ajaran Islam dan Kristen pada dasarnya adalah sama. Sama-sama menaruh kasih dan sama-sama menjunjung kedamaian. Selama pengajian juga saya menjadi paham apa itu toleransi yang sebenarnya, karena saya sudah merasakannya sendiri. Saya juga merasa bahagia, di tengah-tengah keluarga ini, kami memiliki tujuan yang sama yaitu perdamaian.

Tidak jarang pula saat pengajian, pemimpin pengajian membahas mengenai permasalahan yang sedang hangat terjadi pada akhir-akhir ini. Sempat ada perasaan takut apabila saya akhirnya tersinggung, tetapi dari hasil pembicaraan tersebut saya justru menemukan kenyataan bahwa inilah teman sesungguhnya yang dapat saling menjaga kedamaian negeri ini dan juga menjaga pluralitas.

Orang yang memahami agama yang dipeluknya haruslah juga memahami agama-agama lain, supaya mereka menjadi lebih memahami agama yang dipeluknya dan juga untuk saling menghargai akan adanya pluralitas dan toleransi.

Bagi saya, pengajian yang diadakan Fahmina Institute tidak hanya bermanfaat untuk menambah pengetahuan, tetapi juga yang terpenting membuat saya dapat lebih mendengar, memahami, dan merefleksikan dengan sepenuh hati mengenai Islam itu sendiri, sehingga kita sebagai sesama manusia tidak lagi menghakimi atau menuduh sesama kita karena berbeda agama.

Menurut saya pengajian yang diadakan oleh Fahmina Institute ini sangat penting. Bukan hanya untuk umat Islam, tetapi untuk umat beragama lain. Memang alasan utama pengajian ini untuk menambah kegiatan keagamaan saat bulan puasa. Tetapi, hal ini juga penting bagi agama lain untuk dijadikan momen untuk memahami ajaran agama Islam. Dengan begitu, kita sebagai sesama umat beragama dapat saling berefleksi mengenai keberagaman agama. Orang yang memahami agama yang dipeluknya haruslah juga memahami agama-agama lain, supaya mereka menjadi lebih memahami agama yang dipeluknya dan juga untuk saling menghargai akan adanya pluralitas dan toleransi.

 

Penulis adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT) Jakarta, magang di Fahmina-Institue.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya