Selasa, 26 November 2024

Mengangkat Tradisi untuk Keadilan dan Kemanusiaan

Baca Juga

Kondisi kehidupan bersama masyarakat dalam negara-bangsa dalam satu dasawarsa ini tengah mengalami krisis multidimensi yang akut. Berbagai problem sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan agama terus mendera-dera bangsa ini. Reformasi tahun 1998 yang semula diimpikan sebagai pintu masuk untuk membuka jalan baru bagi masa depan Indonesia yang lebih baik sampai hari ini belum memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan.

Sejumlah perubahan fundamental dalam struktur kenegaraan, kebangsaan dan tata kelola pemerintahan, dalam rangka demokratisasi yang lebih luas dan substansial, belum mampu melahirkan kondisi kehidupan kebangsaan sebagaimana yang dicita-citakan menjelang kemerdekaan Negara ini.

Reformasi birokrasi yang dicanangkan sejak awal periode reformasi belum menghasilkan perubahan yang signifikan dan terarah. Situasi paling fenomenal yang amat transparan adalah praktik-praktik korupsi yang endemik dan menggurita. Pikiran dan perasaan mainstream bangsa ini mengeluhkan kondisi ini.

Keadaan ini dalam sejarah semua bangsa, selalu menciptakan kemiskinan, kebodohan dan penderitaan sosial yang luas. Korupsi merupakan proses pembunuhan rakyat secara pelan-pelan. Kekerasan, termasuk di dalamnya penindasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak, dalam berbagai dimensinya; fisik, psikis, seksual dan ekonomi, baik pada domain domestic maupun public, serta perdagangan manusia (trafiking), mayoritas perempuan semakin merebak dan memperlihatkan ekskalasi yang meningkat dari hari ke hari, dari masa ke masa, dan dengan modus yang beraneka ragam dan semakin canggih.

Tak kalah mencemaskan adalah bahwa kekerasan juga menyentuh ranah paling sacral dan sensitive: atas nama agama dan moralitas. Dalam beberapa tahun belakangan ini acapkali terjadi peristiwa dan kebijakan-kebijakan public atas nama agama dan moralitas semakin tak dapat dimengerti menurut akal sehat dan dunia kemanusiaan. Kelompok-kelompok keagamaan radikal (al-firaq al-diniyyah al-mutatharrifah) acapkali memaksakan kehendaknya terhadap kelompok-kelompok beragama dan berkeyakinan yang sama dan yang berbeda. Baik melalui cara-cara yang dianggap legal maupun melalui kekerasan dan syiar kebencian (hate speech). Nama Tuhan Yang Maha Agung dan Indah, simbol-simbol dan atribut-atribut keagamaan digunakan untuk melegitimasi kehendak dan tindakannya. Intoleransi di kalangan umat beragama dan antar umat bergama, sering meletup dan semakin meningkat. Sungguh memrihatinkan, bahwa peristiwa-peristiwa tersebut, justeru berlangsung di Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan kemanusiaan.

Konstitusi Negara Republik Indonesia yang di dalamnya telah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi setiap manusia, apapun agama, etnisitas, jenis kelamin dan sebagainya, tengah mengalami proses reduksionisasi besar-besaran. Negara bangsa dengan empat Pilarnya yang telah menjadi consensus nasional itu sedang menghadapi situasi yang memrihatinkan sekaligus mencemaskan.

Pendidikan dan Moral Bangsa

Sejumlah problem kebangsaan di atas adalah sebagian saja dari tumpukan realitas yang memprihatinkan bangsa muslim terbesar di dunia hari ini. Berbagai pihak melalui perspektifnya masing masing kemudian mengkaji dan menganalisis keadaan yang karut-marut ini untuk mencari akar masalahnya. Pengamatan, pengkajian dan analisis pada umumnya menyimpulkan bahwa akar dari berbagai problem sosial, ekonomi, dan politik kebangsaan tersebut adalah krisis moral, sebagian orang menyebutnya karakter bangsa. Karakter atau jiwa bangsa Indonesia, yang sering disebut sebagai bangsa yang religius, ramah, toleran, suka gotong royong, dan sejenisnya, kini terkikis dan makin redup.
Pertanyaan krusial kita selanjutnya adalah dari mana krisis dan rapuhnya karakter bangsa ini bersumber? Jawaban umum atas pertanyaan ini adalah pendidikan. Dalam segala zaman dan segala bangsa pendidikan adalah basis peradaban untuk menciptakan karakter bangsa, untuk kemajuan dan tercapainya nilai-nilai kemanusiaan, yang dalam bahasa Pesantren mungkin disebut “Baldah Thayyibah wa Rabb Ghafur”.

Kita tidak tahu pasti kapan penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, dalam banyak fakta dan realitas, lebih mengunggulkan tuntutan-tuntutan formalisme dan prosedural belaka demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan praktis-pragmatis, individualistik-hedonistik, berjangka pendek dan demi kepentingan materi dan tubuh semata. Semakin berkembang di masyarakat kecenderungan abai terhadap orang lain, terlebih mereka yang lemah atau dilemahkan serta yang minoritas. Pada sisi yang lain, praktik pendidikan tampaknya lebih memprioritaskan dimensi akal-intelektual, dan mengagungkan rasionalisme setinggi-tingginya seraya mensubordinasi, memarjinalkan dan mengalienasi dimensi moral, budi pekerti, dan lebih jauh lagi dimensi spiritualisme.

Pengelolaan pendidikan seperti di atas telah menghasilkan implikasi-implikasi sosial yang serius. Yakni, lahirnya kecenderungan masyarakat baik secara individu maupun kelompok, golongan dan partai politik untuk melakukan kontestasi, perebutan atau mungkin lebih dekat disebut “pertarungan” untuk meraih kekuasaan ekonomi, politik, social, dan budaya, melalui berbagai cara yang mungkin, meski harus dengan melanggar norma-norma Agama, hukum dan Konstitusi Negara. Keadaan ini tentu saja telah mendegradasi prinsip-prinsip pendidikan sendiri. Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya-upaya keras untuk menciptakan/melahirkan generasi yang cerdas, berbudi luhur, bertaqwa dan berguna bagi kemanusiaan dan kemakmuran bagi seluruh warga bangsa. Pendidikan pada hakikatnya merupakan cara manusia menghasilkan eksistensinya yang utuh, baik intelektual, moral maupun spiritual.

Seluruh esensi nilai-nilai pendidikan di atas dalam konteks Pesantren disebut Al-Akhlaq al-Karimah. Ia adalah nilai-nilai paling fundamental dan bersifat universal. Ia la yuatstsir fiha ikhtilaf al-Tsaqafat wa al-Hadharat (tidak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban apapun), ta‟lu „ala al-Zaman wa al-Tarikh (melintasi batas ruang dan waktu) dan „ala al-Insan ayyan kana wa anna kana (melekat dan berlaku bagi setiap manusia dulu dan kapanpun berada).

Al-Akhlaq al-Karimah adalah sebuah terma yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keluhuran budi pekerti dan kebeningan nurani, seperti ketulusan, kebersahajaan, kejujuran, pengabdian, ketekunan, kedisplinan (al-Istiqamah), saling memberi dan saling membagi kebahagiaan. Dalam tingkat yang lebih tinggi, al-akhlâq al-karîmah akan menekankan pada kesatuan eksistensi, persaudaraan umat manusia sebagai makhluk Allah atas dasar cinta dan kasih sayang. Gagasan ini sepenuhnya ide-ide kemanusiaan universal. Gagasan al-akhlâq al-karîmah seperti ini bersumber dari prinsip fundamental Islam, yaitu Tauhid Allah. Artinya “tidak ada tuhan kecuali Tuhan Yang Satu”. Kalimat ini tidaklah semata-mata merupakan pernyataan verbal belaka, melainkan membawa tanggungjawab sosial, budaya dan kemanusiaan yang lebih jauh dan lebih mendalam.

Transformasi Sosial

Apa yang terjadi di negeri ini sebagaimana yang sudah dikemukakan merupakan dan harus menjadi tanggungjawab kita bersama, terutama umat Islam, sebagai bagian terbesar dari penduduk negeri ini. Problem pendidikan dan merosotnya moral serta karakter bangsa sebagaimana dikemukakan, tidak bisa diatasi dengan menyalahkan orang lain dan tidak bisa pula dengan cara semena-mena, apalagi dengan melakukan tindakan atau ancaman kekerasan dengan mengatasnamakan Tuhan dan symbol-simbol suci keagamaan. Cara-cara seperti ini tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan sebaliknya bisa menjerumuskan dan menciptakan citra semakin buruk atas Islam. Perbaikan Islam harus dilakukan oleh diri sendiri. Imam Syafi’i bersenandung puisi manis:

“Kita seringkali mengeluhkan buruknya zaman, padahal keburukan itu ada pada kita.”

Kita acap menyerang zaman yang tak berdosa

Andai saya ia bisa berkata, ia akan menyerang kita
Srigala tidaklah akan memangsa srigala
Tetapi kitalah yang saling memangsa

Maka, pertanyaan spesifik yang ingin disampaikan di sini adalah apakah yang ada dalam pikiran kolektif masyarakat muslim, institusi-institusi pendidikan Tinggi Agama dan pusat-pusat pendidikan moral?. Bagaimana seharusnya sikap dan pandangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut, dalam menghadapi problem besar kebangsaan dan kemanusiaan di atas?. Bagi saya tak ada jawaban atas pertanyaan di atas kecuali satu kata: ”Transformasi”/ “Perubahan”. Transformasi adalah niscaya, karena gerak zaman tak bisa dilawan. Ia adalah hukum alam. Sikap menolak perubahan akan digilas oleh zaman dan diam adalah kematian.

Lalu bagaimana kita harus melakukannya? Bagi saya, perubahan yang dimaksud harus digerakkan dari dalam atau melalui tradisi, kebudayaan dan kearifan-kearifan masyarakat. Transformasi sosial akan menemukan signifikansi dan efektifitasnya jika ia dijalankan melalui tradisi yang dikenali masyarakatnya. Sebaliknya, perubahan akan menemui kegagalannya manakala ia tercerabut dari akar tradisi dan historisitasnya. Masyarakat Pesantren mengenal cara ini dengan sebuah kata mutiara yang sangat terkenal:

“Menjaga tradisi yang baik dan relevan di satu sisi, dan mengapresiasi kebaruan yang lebih baik dan lebih relevan”.
Akan tetapi jika boleh, untuk kepentingan yang sama, saya ingin mengajukan sebuah kalimat tanya yang mungkin lebih menggairahkan dan memberikan nuansa progresifitasnya:
“Bagaimana kita bisa maju ke depan tanpa meninggalkan warisan kebudayaan”.

Pertanyaan ini tentu saja menyimpan kehendak untuk secara lebih dalam memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk merespon dan menjawab tantangan-tantangan zaman yang terus bergerak dan berubah itu, tanpa terus terjebak dalam siklus yang stagnan, dan tidak sekedar memberikan jawaban reaktif, sesaat dan tanpa efektifitas yang diharapkan. Kita memerlukan jawaban yang memiliki efektifitas dan mencerahkan bagi dunia kemanusiaan.

Sikap Inklusif

Gagasan perwujudan ke arah ini bagi kita, menurut saya, adalah mengembangkan wacana keagamaan melalui pembacaan kritis tetapi arif atas warisan intelektual Islam klasik yang kita miliki. Sepanjang pengembaraan saya atas kitab-kitab klasik karya para ulama Islam kita menemukan warisan Islam yang sangat memuaskan secara intelektual dan spiritual. Metode-metode yang digunakan, proses-proses pemaknaan baik melalui tafsir maupun takwil (hermeneutic), dan produk-produk yang dihasilkannya sungguh-sungguh sangat kaya-raya, bernuansa dan reflektif.

Dinamika intelektual berlangsung secara terbuka di antara mereka, bahkan mereka juga terbuka untuk mengadopsi pikiran-pikiran yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan darimanapun datangnya, dari siapapun dan dari orang yang beragama apapun. Mereka memandang setiap upaya pikiran dan praktik-praktik kehidupan yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan adalah “Hikmah”, “Wisdom”, “Kebijaksanaan”. Ia adalah anugerah Tuhan untuk hamba-hamba-Nya. Dalam suratnya kepada Khalifah Mu’tashim Billah, filsuf Arab, Al-Kindi mengatakan:
“Seyogyanya kita tidak merasa malu menerima dan menjaga suatu kebenaran dari manapun ia berasal, meski dari bangsa-bangsa yang jauh dan berbeda dari kita”. (Filosof al-Kindi)

Eksplorasi dan ekspresi-ekspresi intelektual dan spiritual para ulama, para cendikia dan scholar yang sungguh-sungguh itu telah menghasilkan karya-karya ilmiyah, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang luar biasa. Pada gilirannya karya-karya tersebut memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajuan dunia manusia dan kemanusiaan di Timur maupun di Barat untuk zaman yang cukup panjang.

Akan tetapi segera harus disadari sepenuhnya bahwa warisan intelektual maha kaya tersebut sejatinya dimaksudkan untuk dan dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah sosial dan budaya mereka sendiri dan masing-masing. Para sarjana Islam tersebut tidak pernah berpikir bahwa refleksi-refleksi pemikirannya dimaksudkan untuk ruang dan waktu yang belum mengada atau di tempat dan waktu yang lain yang tidak mereka alami sendiri.

Hari ini kita hidup dalam peradaban baru berikut problem-problemnya yang juga baru dan terbarukan. Apa yang tidak terpikirkan pikiran masa lalu, ternyata muncul sebagai kenyataan yang tidak bisa dinafikan. Zaman kita berbeda, pola pikir, latarbelakang mental yang kita gunakan untuk memahami realitas hari ini tidak sama dengan zaman, pola pikir dan latarbelakang mental para pemikir dan kritikus klasik itu.

Atas dasar tersebut kita harus melakukan upaya-upaya intelektual keras dengan pikiran terbuka (infitah/inklusif), seperti mereka, mengapresiasi setiap hal yang baik/maslahat dari manapun datangnya, dari siapapun dan dibarengi dengan ketulusan nurani serta kerendahan hati, untuk dipersembahkan bagi bangsa dan umat manusia hari ini. Memaksakan keinginan atau kehendak untuk mengimplementasikan seluruh produk pemikiran masa lalu di tempat lain bagi kepentingan mengatasi realitas peradaban saat ini, tanpa seleksi yang ketat, dalam banyak kasus menjadikannya tidak efektif, terasing, teralienasi dan bahkan acap ditinggalkan orang. Sementara itu, sikap tertutup (in-ghilaq/eksklusif) dan membatasi diri pada apa adanya (formalistic), sangat berpotensi kehilangan universalitasnya. Imam al-Ghazali sudah memperingatkan hal ini, melalui kata-katanya yang indah:

“Bukalah pikiranmu lebar-lebar, sungguh Rahmat (kasih-sayang) Tuhan Mahaluas. Janganlah kamu ukur hal-hal yang bersifat ketuhanan dengan ukuran-ukuran yang sempit dan formalistic”.

Pesan Islam

Islam sesungguhnya mendorong umatnya untuk memikirkan dan belajar dari segala hal di alam semesta ciptaan Tuhan ini. Berkali-kali al-Qur’an menyebutkan: “Afala Tatafakkarun”, “Afala Ta‟qilun”, “Wa fi Anfusikum, Afala Tubshirun”, dst. Pertanyaan-pertanyaan ini menyimpan makna keharusan bagi kita untuk belajar membuka mata atas realitas social, berpikir jernih dan melakukan permenungan yang mendalam atas realitas semesta, diri dan orang lain. Keterbukaan pikiran bukanlah berarti mengatakan semau-maunya, atau bertindak menghalalkan segala cara untuk sebuah tujuan yang dikehendaki. Moralitas kemanusiaan Islam (al-Akhlaq al-Karimah) menolak keras cara-cara ini.

Akhlak Islam secara inherent mengandung pengertian penghargaan terhadap pikiran orang lain dan penghormatan terhadap semua nilai-nilai moral yang luhur ; persaudaraan, kebersamaan, keadilan, toleransi, kasih sayang, simpati, kerendahan hati, kejujuran, keberanian dan sebagainya.

Perbedaan pemikiran tidak seharusnya menafikan persaudaraan, kebersamaan antar manusia dan saling menghargai. Ia juga tidak boleh menjadi dasar bagi tindakan ketidakadilan terhadap siapa saja dan kelompok mana saja, besar maupun kecil, mayoritas ataupun minoritas. Dalam khazanah intelektual Islam klasik, Imam al-Syafi’i misalnya pernah mengatakan: “apabila argumen-argumenku kurang tepat menurut kalian, maka anda boleh tidak menerimanya, karena akal pikiran tidak bisa dipaksa untuk menerima kebenaran seseorang”. Imam Abu Hanifah mengatakan:
“Inilah pendapatku. Jika ada pendapat lain yang lebih baik aku akan menerimanya”.

Imam al Ghazali, Hujjah Allah, mengatakan: “Jika ucapan itu benar dan didukung oleh argumen yang rasional serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits Nabi, tidak sepatutnya dibuang atau ditolak?”. (Al-Munqidz min al-Dhalal, hlm. 45-46).

Ibnu Rusdy bahkan mengatakan: “Jika kita menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda agama dari kita, mestinya kita menerima dengan gembira dan menghargainya. Tetapi, jika kita menemukan kesalahan dari mereka, kita patut mengingatkan, memperingatkan dan menerima maafnya”. (Fashl al-Maqal fi Ma Baina al-Syari‟ah wa al-Hikmah min al-Ittishal, Dar al-Masyriq, Beirut, Cet. II, hlm. 33).

Maka khazanah intelektual klasik yang maha kaya itu, harus diekplorasi dan dianalisis secara kritis dan mendalam untuk menemukan butir-butir doktrin keagamaan yang mencerdaskan (wisdoms/al-hikam), memberdayakan dan memberikan solusi atas berbagai problematika masyarakat, bangsa dan negara. Cara ini lebih memungkinkan sumber-sumber intetelektualisme klasik itu menjadi hidup dan menghidupi dunia kemanusiaan.

Zamakhsyari Dhofir dalam disertasinya menulis mengenai tujuan pendidikan Islam khususnya pesantren, sebagai berikut:
“Tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran santri dengan pelajaran-pelajaran agama, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah-laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para santri untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap santri diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain.

Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan”. (Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, LP3ES, Jakarta, 1994, h. 21).

Pengertian tafaqquh fi al-din sebagaimana sering diintroduksi Pesantren sebagai tujuan pendidikan dalam Islam, bukan hanya berarti mempelajari agama pada dimensi eksoteriknya, atau dalam arti hukum-hukum fiqh yang legal-formal, melainkan lebih jauh dan lebih luas dari itu. Dalam kitab Ta‟lim al-Muta‟allim, sebuah kitab rujukan utama mengenai etika pendidikan, karya al-Zarnuji, bermazhab Hanafi disebut bahwa “fiqh bermakna “Ma‟rifah al-Nafs Ma Laha wa Ma „alaiha” (Pengetahuan tentang tentang diri, apa yang baik dan yang buruk). Pernyataan ini memperlihatkan bahwa Tafaqquh fi al-Din mengandung makna esoteric, filosifis, moral dan etika.

Penutup

Dunia adalah medan bagi perjuangan moral luhur. Perjuangan itu ada dalam setiap hari manusia, tempat di mana ia (perjuangan itu) terjadi setiap hari bahkan setiap jam dan menit. Moral adalah tata nilai yang untuk tercapainya keadilan.

“Keadilan adalah nilai tertinggi dalam agama Islam. Ia adalah pusat di mana seluruh ajaran dan hukum-hukum agama ditegakkan. Maka jika kita menemukan nilai-nilai keadilan melalui cara dan jalan apapun, maka di situlah aturan dan agama Tuhan”.
Dengan penegakan keadilan itu kita berharap akan dapat memajukan, mencerdaskan, membebaskan penderitaan dan mensejahterakan umat manusia.

Cirebon, 27 Nopember 2013

Tulisan ini adalah orasi kebudayaan KH. Husein Muhammad
yang disampaikan dalam Peringatan 13 Tahun Fahmina dan Wisuda Perdana Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, pada Hari Rabu, 27 November 2013. KH Husein Muhammad adalah Ketua Dewan Pembina Yayasan Fahmina Yayasan Fahmina.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya