Oleh: Muhammad Imadudin Nasution
Masih terdapat manusia Indonesia yang memandang profesi atau pekerjaan tertentu lebih baik daripada profesi atau pekerjaannya sendiri. Sebagian mereka melihat profesi dosen, guru, karyawan kantoran, hingga birokrat seolah lebih dari mereka yang bekerja di lapangan. Kuli bangunan, petugas kebersihan, atau buruh pabrik, misalnya. Bahkan ada juga pengemudi angkutan umum, serta pengusaha mikro dan kecil yang ikut-ikutan melihat orang lain yang bekerja di belakang meja, di dalam ruangan ber-AC, dengan beragam fasilitas kantor seolah lebih beruntung dari mereka. Mereka memandang profesi atau pekerjaan dari kacamata stratifikasi sosial, alih-alih dari suatu sistem sosial.
Bekerja itu Masuk dalam Sistem
Benar bahwa pekerjaan tertentu memang dapat menghasilkan lebih banyak uang daripada pekerjaan lainnya. Memang benar bahwa terdapat orang yang dibayar jauh dari sebagian lainnya. Hal yang salah adalah ketika membandingkan gaji seorang (misalnya) diplomat, dengan seorang kuli bangunan, atau seorang guru honorer. Apalagi sampai menganggap bahwa sebuah pekerjaan menjadi mulia karena pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan/profesi tersebut. Misalnya dari gaji atau keuntungan yang didapat dari sebuah profesi maupun usaha mandiri. Pendidikan anak-anak Indonesia dapat dikatakan gagal bila lulusan yang dihasilkan memandang rendah kelompok profesi tertentu atas kelompok profesi lain.
Seorang pelayan restoran jelas memiliki kehormatan yang sama dengan seorang birokrat dalam instansi pemerintahan. Prinsip kesetaraan ini penting dipahami sejak dini. Prinsip kesetaraan merupakan pondasi awal, sebelum manusia dapat melihat rangkaian sistem sosial yang melibatkan sedemikian banyak orang dengan ragam profesi dan fungsinya.
Setiap piring nasi di hadapan kita melibatkan tangan ratusan hingga ribuan orang. Mulai dari penjual bibit padi, petani, pembuat pupuk, penjual pupuk, dan banyak lagi hingga diantarkan ke pasar dalam bentuk komoditas beras. Beras yang dijual di pasar kita beli untuk dimasak menjadi nasi yang bisa kita konsumsi sendiri atau kita jual kembali. Demikian pula dengan aliran listrik dan koneksi internet yang kita nikmati di rumah, kantor, sekolah, dan kampus. Manusia tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya sendiri. Itulah mengapa sebuah sistem sosial yang kompleks diperlukan dalam rangka menjamin keberlangsungan peradaban manusia. Tanpa petani, kita tidak akan menikmati nasi untuk sarapan dan makan siang kita. Tanpa petugas kebersihan, ruas-ruas jalan, halaman, hingga gedung-gedung yang menjadi ruang publik akan semakin kotor dan tak terawat.
Pemaknaan ini sejalan dengan berbagai teori dari para filosof besar sejak Abad Kuno, hingga hari ini. Mulai dari Plato, Aristoteles, al-Farabi, Ibn Khaldun, hingga Hannah Arendt dan Jürgen Habermas; semuanya menyampaikan perlunya suatu sistem sosial berbentuk negara atau entitas politik. Tujuannya adalah untuk dapat mengatur dan memastikan bahwa tiap individu dan kelompok mengambil peran mereka untuk memenuhi kebutuhan/kepentingan bersama. Peran yang diambil tentu tidak sebatas pada pengambil kebijakan atau pemangku jabatan publik. Tapi seluruh peran yang diperlukan dalam sistem sosial yang kompleks tersebut. Negara merupakan sebuah institusi sosial yang membutuhkan banyak orang untuk memenuhi seluruh kebutuhan warga negaranya. Harus ada yang menyediakan kebutuhan sandang dan pangan nasionalnya, menyediakan pemukiman bagi warganya, hingga pendidikan bagi generasi penerusnya. Harus ada yang menjaga keamanan dan mempertahankan kedaulatannya, serta membersihkan ruas-ruas jalan hingga danau dan sungai di wilayahnya. Semuanya itu tidak akan dapat terpenuhi, bila terdapat sebagian warga yang tidak bersedia mengambil peran dalam bidang profesi tertentu. Misalnya bila tidak terdapat seorang pun yang bersedia menjadi petani, peternak, atau nelayan. Maka kemungkinan negara dapat mengalami kekurangan pangan yang berat.
Mengenalkan Sistem, Membangun Karakter
Umumnya masyarakat kita kurang terbuka dengan generasi anak-anak, yang masih berada dalam rentang usia emas mereka. Banyak yang beranggapan bahwa anak kecil belum tahu apa-apa tentang dunia orang dewasa, termasuk soal pekerjaan. Kerap orang-tua mencoba untuk menjauhkan anak-anak dari pekerjaan yang mereka lakukan, demi menafkahi keluarga. Kadang mereka lupa, bahwa anak harus tahu bagaimana orang-tua mereka membiayai kehidupan mereka sekeluarga. Terutama tentang perspektif mereka terhadap konsep pekerjaan, profesi, ataupun karir manusia.
Sebagian orang-tua menunjuk kepada misalnya penyapu jalan, janitor/OB, hingga petugas SPBU, agar anak mereka tidak menjadi seperti orang yang ditunjuk tersebut. Seolah menghakimi bahwa bekerja sebagai penyapu jalan itu tidak baik, dari segi apapun. Padahal penyapu jalan jelas diperlukan untuk membersihkan ruas-ruas jalan. Baik di kompleks perumahan, jalan-jalan protokol, maupun di sudut-sudut kota. Penyapu jalan merupakan bagian dari sebuah sistem sosial yang integral dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Jika bukan mereka yang menyapu ruas-ruas jalan, maka dipastikan akan banyak kotoran yang ditemukan di jalanan yang setiap hari kita lewati.
Karenanya, pembangunan karakter harus diterapkan sejak dini, saat usia anak masih bisa menerima pelajaran moral secara baik. Bukan hanya menghormati orang yang bertani, menyapu jalan, mengumpulkan dan mengolah sampah, atau pekerjaan ‘fisik’ (baca: kasar) lainnya. Mereka bahkan dianjurkan untuk bersedia mengambil peran tersebut, untuk masuk dalam sistem sosial yang ada. Ini menjadi penting, karena anak harus diberi motivasi untuk masuk dalam sistem sosial; termasuk dengan mengambil peran-peran yang mungkin tidak populer bagi mereka.
Berkaca pada beberapa negara maju seperti Jerman dan Britania Raya, anak-anak sekolah di ke dua negara cukup berani bercita-cita menjadi tukang sampah atau kuli bangunan. Pekerjaan tukang sampah dan kuli bangunan tidak dipandang dalam kacamata stratifikasi sosial, ataupun dipandang rendah dari segi besarnya pendapatan. Memang kemudian masih terdapat PR besar, yang harus dikerjakan oleh negara. Misalnya untuk dapat mensejahterakan pekerja di sektor-sektor yang banyak menguras tenaga fisik manusia, seperti kebersihan kota dan lingkungan, atau konstruksi bangunan.
Mengenalkan Nilai Kesetaraan
Di antara nilai dasar/fundamental yang dibutuhkan sebuah sistem sosial, adalah nilai kesetaraan. Mulai dari kesetaraan gender, kesetaraan di muka hukum, sampai kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Harus dipahami bahwa kesetaraan tidak akan terwujud tanpa adanya keadilan dan aksi afirmatif untuk mewujudkannya. Sama seperti tukang sampah yang tidak mau anaknya menjadi tukang sampah. Kalau sang tukang sampah dapat mensejahterakan keluarganya dari urusan pengelolaan sampah, maka anaknya pun akan dapat merasa bangga dan memahami urgensi dari pekerjaan tukang sampah tadi. Artinya, diperlukan penerapan nilai kesetaraan dan keadilan atau equity sebagai nilai penting dalam proses pendidikan karakter anak bangsa. Nilai kesetaraan ini perlu diwujudkan di ruang privat terlebih dahulu, sebelum anak masuk ke ruang publik yang lebih luas dan beragam.
Sebagai generasi yang menghabiskan masa kecil di lingkungan yang cenderung patriarkat, generasi milenial dan gen-X barangkali menemukan sendiri metode mengenalkan prinsip kesetaraan dalam lingkup keluarga. Jika dahulu, kebanyakan perempuan masih tersub-ordinasi oleh sistem komunal dalam masyarakat kolektif yang ada, ketika Gen-X dan generasi milenial mulai berumah tangga, sebagian mereka belajar menerapkan pola relasi individu berbeda dari orang-tua mereka. Ada pengetahuan baru yang membuat mereka mencari pola dan cara, bagaimana seharusnya sistem rumah tangga dan pengasuhan anak berlangsung.
Pandangan kuno yang menunjukkan dominasi gender, kelas/strata sosial, sampai gelar kesarjanaan dan kepangkatan harus dikoreksi oleh generasi yang sekarang mulai berumah tangga dan menghasilkan keturunan. Pola asuh orang-tua merupakan kunci utama bagi terbentuknya generasi yang mampu memahami sistem sosial yang dibutuhkan oleh mereka sendiri kelak. Tanpa pemahaman akan sistem sosial yang mereka butuhkan, terdapat potensi krisis sosial yang akan sulit untuk dihadapi.
Maka itu anak harus dikenalkan pada perspektif kesetaraan dan keadilan. Mulai dari kesetaraan gender dalam relasi di rumah dan dengan keluarga besar, sampai pada kesetaraan antara kelompok sosial berbeda. Anak akan menghargai dan memahami peran sosial yang ingin mereka ambil, bila mereka dikenalkan pada peran-peran yang ada dalam perspektif kesetaraan dan keadilan tadi. Anak harus belajar bagaimana memperlakukan lawan jenis dan dirinya sendiri, memperlakukan anak yang berasal dari keluarga yang tidak lebih beruntung, sampai bagaimana mereka hidup bertanggung jawab. Baik bertanggung jawab pada diri sendiri, pada orang-tua, keluarga, pasangan, maupun bertanggung jawab dalam melaksanakan fungsi mereka di dunia profesional kelak.
Bisa dibayangkan, bagaimana jika anak tidak terdidik untuk menghargai harkat dan martabat sesama manusia, mendengar dan mempertimbangkan pendapat lawan jenis mereka, serta tidak dibiasakan menghargai dan menjaga kehormatan dirinya sendiri. Pelariannya dapat berupa perilaku menyimpang, berupa tindakan asusila maupun kriminalitas. Bisa juga anak akan tumbuh dengan gaya bossy; berlagak paling berkuasa atas individu lain. Perilaku seperti itu hadir dari kurangnya perhatian generasi sebelumnya dalam memberikan pendidikan karakter dan moral yang terbaik bagi generasi penerus yang akan datang. []