Rabu, 18 Desember 2024

Menjalin Kedamaian Melalui Welas Asih : Ajaran Buddha untuk Dunia yang Lebih Baik

Baca Juga

 

Oleh: Bryan Putra Anugerah

Agama Buddha berawal dari kehidupan dan ajaran Siddhartha Gautama, seorang pangeran dari Kerajaan Kapilavastu di wilayah Nepal (saat ini), yang hidup sekitar abad -6 SM. Siddharta dilahirkan dalam Kerajaan dan hidup dengan segala kemewahan, tetapi ia mulai mempertanyakan arti kebahagiaan sejati ketika melihat penderitaan manusia berupa sakit, usia tua, dan kematian.

Pada usia 29 tahun, Siddhartha memutuskan untuk meninggalkan kehidupan istana dan menjalani kehidupan sebagai seorang petapa demi mencari pencerahan dan pemahaman tentang penderitaan. Setelah bertahun-tahun berlatih keras, ia mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi di Bodh Gaya, India, dan sejak saat itu dikenal sebagai “Buddha,” yang berarti “Yang Tercerahkan.”

Dari pertemuan minggu ke-2 Sekolah Agama dan Kepercayaan kali ini, saya diajak untuk mengenal agama buddha, berlokasi di Vihara Dewi Welas Asih (Tiao Kak Sie) Kota Cirebon. Satu hal yang menarik bagi saya  tentang agama buddha adalah ajarannya yang sangat mengedepankan nilai nilai “welas asih” kepada semua makhluk ciptaan-Nya dan berperilaku benar sesuai dengan ajaran Buddha serta ritual meditasi. Ini menjadi ajaran yang sangat baik untuk menciptakan kedamaian

Empat ajaran utama dalam agama Buddha dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia (Cattāri Ariyasaccāni), yang menjadi inti dari pemahaman Buddha tentang penderitaan manusia dan cara mengatasinya. Berikut adalah penjelasan singkat tentang masing-masing:

  1. Kebenaran Mulia tentang Dukkha (Dukkha Ariyasacca):
    Buddha mengajarkan bahwa dalam hidup ini, penderitaan tidak dapat dihindari. Dukkha meliputi ketidaknyamanan, kekecewaan, kesedihan, sakit, dan penderitaan dalam berbagai bentuk.
  2. Kebenaran Mulia tentang Sebab Penderitaan (Samudaya Ariyasacca):
    Akar dari penderitaan adalah keinginan atau nafsu (tanha) dan ketidaktahuan (avijja). Keinginan ini bisa berupa hasrat akan kepemilikan, kekuasaan, atau kebahagiaan.
  3. Kebenaran Mulia tentang Akhir Penderitaan (Nirodha Ariyasacca):
    Penderitaan dapat diakhiri ketika kita menghentikan keinginan dan keterikatan. Keadaan terbebas dari keinginan ini dikenal sebagai Nibbana atau Nirwana, yaitu keadaan damai yang terbebas dari penderitaan dan keinginan.
  4. Kebenaran Mulia tentang Jalan Menuju Akhir Penderitaan (Magga Ariyasacca):
    Buddha mengajarkan bahwa ada jalan untuk mengakhiri penderitaan, yang disebut Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga). Jalan ini mencakup panduan moral, konsentrasi, dan kebijaksanaan, yaitu:

    • Pandangan benar
    • Niat benar
    • Ucapan benar
    • Tindakan benar
    • Mata pencaharian benar
    • Usaha benar
    • Perhatian benar
    • Konsentrasi benar

Empat Kebenaran Mulia ini adalah inti dari ajaran Buddha dan menjadi landasan bagi praktik spiritual dalam agama Buddha, yang bertujuan untuk mencapai kebebasan dari penderitaan dan kedamaian batin.

Dalam ajaran Buddha, konsep ketuhanan sangat berbeda dibandingkan dengan konsep Tuhan dalam agama-agama teistik (seperti Islam, Kristen, atau Hindu). Buddha tidak membahas keberadaan Tuhan sebagai Pencipta atau sosok yang maha kuasa. Fokus utama ajaran Buddha adalah pada upaya untuk mengatasi penderitaan dan mencapai pencerahan melalui pemahaman dan praktik pribadi, bukan melalui penyembahan terhadap makhluk yang mahakuasa.

Selain dari ajaran Buddha yang sangat mengedepankan nilai nilai kemanusiaan, saya sangat tertarik dengan meditasi yang dilakukan oleh penganut agama Buddha. Hal yang membuat saya tertarik dengan meditasi, karena meditasi sebagai sarana refleksi terhadap perbuatan apa saja yang telah kita lakukan. Dari meditasi kita juga belajar bagaimana mengenali penderitaan, kerakusan, dan penghambaan terhadap duniawi yang membuat kita tidak mengerti esensi dari kehidupan itu seperti apa.

Meditasi membantu mengembangkan kebijaksanaan sejati, yang dalam Buddhisme dianggap sebagai kunci untuk mencapai pencerahan. Filosofi Buddhis mengajarkan bahwa kebijaksanaan yang sejati tidak hanya datang dari pengetahuan intelektual, tetapi dari pengalaman langsung dalam meditasi, di mana seseorang dapat merasakan langsung sifat kehidupan, penderitaan, dan kebebasan batin. Kebijaksanaan ini membebaskan kita dari pandangan keliru yang menyebabkan penderitaan dan memungkinkan kita melihat segala sesuatu secara lebih mendalam.

Kesimpulannya, ajaran welas asih dan meditasi dalam Buddhisme menawarkan panduan mendalam untuk mencapai kedamaian batin dan keharmonisan hidup. Welas asih mengajarkan kita untuk peduli terhadap penderitaan orang lain dan menunjukkan kebaikan serta empati dalam tindakan nyata, membantu menciptakan hubungan yang lebih positif dan dunia yang lebih damai.

Sementara itu, meditasi menjadi sarana untuk melatih pikiran agar mampu melihat kenyataan dengan jernih, melepaskan keterikatan, serta mengembangkan kesadaran penuh dan kebijaksanaan. Kombinasi antara welas asih dan meditasi ini membantu seseorang untuk hidup selaras dengan diri sendiri, orang lain, dan alam, sekaligus membebaskan diri dari penderitaan dan ilusi ego. Dalam menghadapi dunia modern yang penuh tantangan, ajaran-ajaran ini memberikan cara praktis dan filosofis untuk mencapai kehidupan yang lebih bermakna dan penuh kasih. []

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya