Selasa, 24 Desember 2024

Menolak “Petaka” Kematian Ibu; Pembacaan Terhadap Hadits Kesyahidan

Baca Juga

“Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya; karena ibunya telah mengandungnya dengan penuh kesusahan dan melahirkannya dengan penuh kesakitan”. (QS. Al-Ahqaf, 46: 15).

Ayat ini memberikan penghargaan yang tinggi terhadap amanah reproduksi, sekaligus menyebutkan kewajiban orang lain untuk berbuat baik [ihsanan] terhadap sang ibu sebagai pemegang amanah. Tentu dimaksudkan agar proses reproduksi bisa terlaksana dengan sehat, aman dan tidak menistakan. Secara sengaja disebutkan, sasaran anjuran wasiat ini adalah manusia [al-insan], bukan sekedar anak terhadap ibu, tetapi manusia atau masyarakat. Sehingga perhatian terhadap amanah reproduksi menjadi kewajiban kolektif masyarakat semua, untuk saling bahu membahu mengemban dan melaksanakannya.

Tetapi realitas sosial masyarakat muslim menyodorkan paradoks-paradoksnya, ketika banyak sekali angka kematian ibu karena menjalankan amanah reproduksinya; terutama karena melahirkan. Dalam catatan UNFPA, diperkirakan pada setiap tahun, sekitar 500.000 perempuan di dunia meninggal karena gangguan-gangguan yang berkaitan dengan kehamilan. Jika dihitung perhari, maka setiap hari, sebanyak 1500 perempuan meninggal karena gangguan kehamilan. Di Indonesia, sebagai negeri muslim terbanyak, dari tahun 1986-1990, setiap kelahiran hidup 100.000 sebanyak 450 orang ibu meninggal dunia karena proses melahirkan. Dari tahun 1990-1997, 390/100.000 kelahiran hidup. Karena itu, dalam poster yang disebarkan oleh UNFPA, dalam setiap menit seorang perempuan meninggal dunia karena melahirkan. Dan, yang terbanyak adalah di Mataram, negeri seribu masjid.

Ini adalah bentuk pengabaian yang nyata terhadap amanah mulia yang telah diwanti-wanti Allah SWT. Bahkan merupakan bentuk pelecehan yang secara sadar dibiarkan terjadi dan menimpa para perempuan, sebagai pemegang amanah tersebut. Hal ini memiliki keterkaitan yang langsung dengan pandangan sosial dan budaya, bahwa persoalan reproduksi adalah urusan perempuan. Beberapa pemahaman keagamaan yang berkembang di masyarakat, yang tentu bertentangan dengan semangat dua ayat al-Qur’an di atas, juga banyak menyumbang terjadinya kenistaan-kenisataan reproduksi yang menimpa para perempuan. Dalam pandangan ini, proses reproduksi dianggap sebagai amanah dan kewajiban yang harus diemban perempuan. Bahkan, lebih jauh lagi ia dianggap sebagai kodrat perempuan yang diberikan Allah SWT, yang mau tidak mau harus dilakukan oleh perempuan. Pandangan yang seperti ini, pada prakteknya banyak membebani dan menistakan perempuan. Dalam peroses reproduksinya, perempuan harus menanggung beban-beban yang tidak dibarengi dengan hak-hak yang selayaknya. Semestinya, fungsi reproduksi sebagai kewajiban berat untuk umat manusia, diimbangi dengan hak-hak yang seimbang dengan beban yang diterimanya.

Misalnya, hadits kesyahidan seorang ibu karena melahirkan, sering dipahami sebagai motivasi terhadap perempuan untuk terus melahirkan dan melahirkan, karena kalau mati sekalipun ia akan memperoleh pahala kesyahidan yang sepadan dengan pahlawan perang. Anehnya, masyarakat juga ikut membentuk sebuah opini yang memperburuk keadaan. Ketika mereka mendengar seorang ibu meninggal karena melahirkan, biasanya mereka berkata: “Ya udah, dia mati syahid kok”. Bahkan, ada yang berani mengatakan: “Alhamdulillah, dia telah memperoleh kesyahidan”. Pandangan seperti ini sayangnya membuat pelayanan reproduksi untuk memperkecil kemungkinan kematian, menjadi luput dari perhatian mereka. Sehingga banyak kejadian nista menimpa para perempuan ketika melakukan proses reproduksi.

Kesyahidan dalam reproduksi

Dalam riwayat dari sahabat Jabir bin Atik ra, disebutkan bahwa Nabi Saw bertanya kepada para sahabat: “Apa yang kamu anggap sebagai kesyahidan?” Mereka menjawab: “Terbunuh dalam perang sabilillah”. Kemudian Nabi Saw bersabda: “Kesyahidan itu ada tujuh, selain terbunuh dalam perang sabilillah; orang yang mati karena keracunan lambungnya, yang tenggelam dalam air, yang pinggangnya terserang virus, yang terkena lepra, yang terbakar api, yang tertimbun bangunan dan perempuan yang mati karena melahirkan”. (Hadits riwayat Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban, lihat: al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib min al-Hadits asy-Syarif, II/335).

Menurut Ibn Hibban, teks hadits ini shahih. Al – Mundziri juga menurunkan beberapa lafal hadits lain dari berbagai riwayat yang memiliki makna sama dengan teks tersebut. Pertama, yang diriwayatkan Imam Ahmad dan ath-Thabrani dari sahabat Ubadah bin Shamit ra, kedua yang diriwayatkan Imam Ahmad dari sahabat Rashid bin Hubaisy dan ketiga yang diriwayatkan an-Nasai dari sahabat Uqbah bin Amir ra. (al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib min al-Hadits asy-Syarif, II/332-335). Imam al-Bukhari, sekalipun tidak meriwayatkan hadits dengan lafal ‘tujuh kesyahidan’, tetapi beliau juga nampak setuju dengan isi hadits tersebut, karena ia menamakan satu bab ‘asy-Syahadah Sab’un Siwa al-Qatl/kesyahidan ada tujuh selain karena berperang’ dalam kitab ‘al-jihad wa as-sayr’. (lihat: Ibn Hajar, Fath al-Bari, VI/127).

Ibn Hajar menjelaskan bahwa ada dua macam kesyahidan; pertama kesyahidan dunia akhirat dan kedua kesyahidan akhirat saja. Terbunuh dalam perang sabilillah termasuk yang pertama, sementara tujuh macam kesyahidan yang lain, termasuk meninggal karena proses reproduksi, merupakan kesyahidan akhirat. Artinya, ia memperoleh kehormatan syahid di akhirat, sementara di dunia, mereka dianggap seperti kematian biasa yang harus dimandikan, dikafani dan dishalati. Berbeda dengan kesyahidan dunia akhirat yang juga memperoleh penghargaan di dunia, dengan tanpa perlu dimandikan atau dikafani.

Pandangan seperti ini, kemudian berimbas pada pemilahan bahwa segala kekuatan dan kekayaan masyarakat dikerahkan semaksimal mungkin bagi kemenangan perjuangan syahid perang sabilillah, dengan memperkecil korban sebisa mungkin. Sementara pada syahid reproduksi, tidak ada pemikiran atau pandangan tentang perlunya pengerahan kekuatan masyarakat agar proses reproduksi bisa dimenangkan dan diselamatkan dengan tanpa mengorbankan seorangpun. Di sini perlu ditekankan, bahwa keyakinan proses reproduksi sebagai perjuangan syahid, menuntut adanya penghormatan, penghargaan dan upaya pengerahan kekuatan untuk menyelamatkan orang yang terlibat dalam proses tersebut.

Seperti dinyatakan Musthofa Muhammad Imarah, bahwa teks hadits ini menjelaskan tentang perlunya kesabaran dalam menghadapi kematian akibat penyakit dan tugas melahirkan (al-Mundziri, at-Targhib wa at-Tarhib min al-Hadits asy-Syarif, II/332-335). Tetapi keyakinan akan kesyahidan reproduksi tidak cukup dengan sebatas kesabaran dan ketangguhan untuk menerima kematian. Kesabaran dan ketangguhan memang diperlukan. Lebih dari itu, yang sangat diperlukan adalah penghormatan dan penghargaan dengan mengupayakan pelayanan lebih baik terhadap proses reproduksi. Karena Islam bukan agama kematian atau kerusakan.

“Janganlah kamu ceburkan diri kamu ke dalam kehancuran” (QS. Al-Baqarah, 2: 195). Dalam hal reproduksi tentu diperlukan penguatan-penguatan agar tidak terjadi kenistaan, kerusakan, apalagi kematian. Dalam banyak teks hadits juga, bahwa nyawa kehidupan harus dihormati, dijaga dan dilestarikan, terutama nyawa dan kehormatan manusia, dan lebih utama lagi nyawa pengemban amanah pelangsungan generasi manusia. Ketika Rasulullah Saw bersabda: “Apabila kiamat tiba dan di tanganmu ada benih tumbuhan, jika masih sempat menanamnya, lakukanlah” (Musnad Imam Ahmad, juz II, hal. 191) adalah sebuah peneguhan akan pentingnya melestarikan dan menyelamatkan kehidupan. Dalam kaitannya dengan proses reproduksi, tentu penghormatan kehidupan tidak bisa terjadi tanpa mempertegas dan memperhatikan hak-hak yang mesti diperoleh perempuan.

Hak Reproduksi

Hampir semua orang mendengar bahwa dalam Islam hak seorang ibu lebih besar daripada hak seorang ayah, tiga berbanding satu. Hal ini berangkat dari suatu teks hadits Nabi Muhammad Saw. Suatu saat ada orang yang bertanya kepada beliau: Siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? “Ibumu”, jawab Nabi. “Kemudian siapa?” “Ibumu”. “Lalu?”, “Ibumu”, baru kemudian Bapakmu dan keluarga terdekat yang lain”, tegas Nabi. (Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat: Jâmi’ al-Ushûl, I/333).

 

Penyebutan tiga kali terhadap ibu merupakan penegasan bahwa proses reproduksi, yang oleh al-Qur’an dianggap sesuatu yang menyusahkan [wahnan ‘ala wahnin] dan melelahkan [kurhan ‘ala kurhin], harus dihormati, diberi perhatian dan yang lebih penting diimbangi dengan perlakuan baik [ihsan] terhadap mereka. Perlakuan baik yang paling dekat adalah yang terkait dengan amanah reproduksi yang diemban sang ibu. Dalam konteks sekarang, harus ada komitmen yang jelas dan tegas dari semua komponen masyarakat untuk mewujudkan hak-hak reproduksi bagi perempuan.

Hak reproduksi, secara umum dikaitkan dengan keleluasaan perempuan untuk menjalankan fungsi reproduksi biologisnya secara tepat dan aman; baik jasmani, mental maupun sosial. Secara lebih luas, hak reproduksi bisa dikaitkan dengan kekuasaan dan sumber daya. Yaitu, kekuasaan untuk dapat memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan fertilitas, kehamilan, perawatan anak, kesehatan gineakologis, aktivitas seksual serta sumber daya untuk melaksanakan keputusan-keputusan secara aman dan efektif. Perkawinan dan perceraian juga memiliki keterkaitan langsung dengan keberlangsungan fungsi-fungsi reproduksi perempuan, karena perempuan yang dipaksa kawin misalnya, akan mengalami tekanan-tekanan psikologis ketika ia harus mengandung benih dari suaminya.

Dengan demikian, hak reproduksi bisa diartikan sebagai kesempatan dan cara membuat perempuan mampu dan sadar untuk memutuskan serta melaksanakan keputusan-keputusannya yang berkaitan dengan fungsi reproduksinya, secara aman dan efektif. Mulai dari yang menyangkut fungsi reproduksinya secara langsung, seperti fertilitas, kehamilan, kesehatan gineakologis, aktivitas seksual, kontrasepsi, menyusui, perawatan anak dan penghentian kehamilan, hingga hal-hal yang menyangkut perlindungan terhadap ibu, penguatan posisi perempuan dalam perkawinan dan perceraian, serta posisi sosialnya ketika ia menjalankan fungsi reproduksinya.

Ketika hak-hak ini terpenuhi, maka kwalitas perempuan akan terjamin, bisa sehat dan selamat dalam menjalankan proses reproduksi, dan dengan sendirinya manusia-manusia yang dilahirkan darinya, dididik dari asuhannya dan didampingi oleh kebersamaannya akan sehat dan tinggi kemampuan dan kwalitas. Kwalitas perempuan ini, atau perempuan yang berkwalitas, dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah al-mar’ah ash-shâlihah, atau perempuan yang shalih. Shâlih, secara literal diartikan sebagai lawan kata dari fâsid, atau rusak. Makna-makna yang menunjukkan bahwa sesuatu itu tidak rusak, adalah makna-makna shalih. Seperti sehat, kuat, kokoh, layak, sesuai, tepat, bermanfaat, damai dan baik. (lihat: Lisân al-‘arab, II/516-517 dan al-Mu’jam al-Wasîth, I/520). Dalam bahasa Inggris, shalih diartikan dengan; good, right, proper, sound, solid, virtuous, useful, fitting, suitable, appropriate. (lihat: Mu’jam al-Lughah, 523). Berarti perempuan yang shalihah, adalah yang memiliki makna-makna tersebut di atas. Dalam kaitannya dengan hak-hak reproduksi, perempuan yang shalihah adalah yang secara sadar dan mengerti, dapat menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, dengan benar, sesuai, tepat dan sehat, baik secara fisik-biologis, mental, maupun sosial.

Hanya dengan kwalitas perempuan yang demikian, kita bisa memperbaiki takdir kematian ibu karena melahirkan, yang di Indonesia cukup tinggi dan mengenaskan. Bukan hanya itu, kwalitas perempuan shalihah akan banyak menjadi tumpuan dan harapan masyarakat, sama seperti harapan mereka terhadap laki-laki shalih dan anak shalih. Dengan orang-orang shalih seperti ini, kehidupan akan menjadi lebih baik. Bahkan, dengan merujuk pada apa yang dikatakan Nabi Muhammad Saw: “Bahwa surga itu ada di bawah telapak kaki ibu” (Riwayat Ahmad, Nasa’i, Ibn Majah dan al-Hakim. Lihat: Kasyf al-Khafâ, I/335), kita bisa mewujudkan kehidupan surgawi bagi ibu pengemban amanah reproduksi di dunia ini, sebelum di akhirat nanti. Tentu, hal ini merupakan tugas kita bersama yang harus diupayakan secara bersama-sama. Semoga demikian. Wallahu al-Musta’an. ]

Sumber: www.rahimah.or.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya