Kamis, 19 Desember 2024

Merawat Kasih Sayang Ala Nabi

Baca Juga

Oleh: Zain Al Abid

Kohesi sosial masyarakat saat ini sedang terkoyak, terlebih bersinggungan langsung dengan isu agama. perbedaan tafsir dan pemahaman sebuah teks lantas menjadi pembeda untuk saling menjatuhkan bahkan menyalahkan yang lain. Terjadinya pelarangan ibadah umat lian, perusakan rumah ibadah, caci maki yang berbeda pendapat bahkan sampai kejahatan teror masih kerap kita alami dan temui di negeri ini.

Jelas hal ini kontradiktif dengan ajaran Islam. Umat Islam Indonesia harus bisa mengedepankan nilai keberislaman yang ramah, mengedepankan persaudaraan, kasih sayang dan cinta perdamian. Pandangan etika terhadap relasi beragama harus mampu memberikan kesejukan yang merujuk pada akhlak Nabi Muhammad.

Hal ini jelas diamanatkan Allah untuk Rasulullah Nabi Muhammad SAW  yakni untuk menebarkan kasih sayang bagi alam semesta. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al Anbiya ayat 107.

Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamin

“Allah swt tidak mengutusmu Muhamad kecuali untuk menebar kasih sayang”.

Bahkan ketika Nabi direndahkan dan diancam tapi tidak membalasnya dengan hal serupa. Nabi tidak diutus untuk melaknat, mengutuk atau mencaci maki yang liyan, tetapi Nabi  diutus untuk menebar kasih sayang.  Ma buistu laanan. wainnama buistu rahmatan.

Ada kisah menarik yang jelaskan dalam kitab Fannutta`amul Annabawi Ma`a Ghoiril Muslimin karya Syeikh Dr. Rogib Assurjani, Mesir yang membabarkan keseharian Nabi dalam bersosialisasi dengan umatnya  kaum non muslim.  Pada suatu hari Siti Aisyah mendapati seseorang mengetuk pintu rumahnya seraya ingin bertamu. Namun ada hal yang janggal di mata istri Nabi itu, sang tamu tidak mengucapkan salam selayaknya sesama muslim.

“Assamu `alaikum” ucap sang tamu dengan suara kerasnya.

Siti Aisyah merasa tidak nyaman dengan pernyataan ini, menurutnya ini adalah penghinaan untuk keluarganya.

“wa`alaikumussam wa laknatullah,” dengan reflek Siti Aisyah membalas ucapan sang tamu.

Saat mendengar dialog tersebut, Nabi keluar dari kamar dan merespon percakapan itu

“Aisyah tenang saja jangan emosional. Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan di dalam semua hal.” Jelas Nabi.

“Hindarilah melakukan kekerasan dan jangan berkata-kata kasar dan buruk”.Nabi berusaha mengingatkan dan  menenangkan Siti Aisyah.

Lalu Aisyah bertanya pada Rasul, “Rasul tidakkah engkau mendengar apa yang dia (tamu) katakan begitu kasar?.

“Aku sudah menjawabnya dengan kalimat Waalaikum,” tukas Nabi.

Namun Nabi tidak serta merta membalasnya dengan hal yang sama, hanya menjawabnya dengan “wa’alaikum”. Dengan kelembutannya Nabi, orang Yahudi itu meminta maaf, mengakui perangai Nabi yang sangat santun dan menyadari kekeliruannya seraya bertaubat dan masuk Islam.

Belakangan diketahui bahwa tamu itu adalah sekolompok Yahudi yang sengaja datang kekediaman Nabi untuk menghardik keluarganya. Kalimat Assamu `alaikum adalah bahasa metafor bermakna “semoga kamu mati atau binasa” yang ditunjukkan untuk keluarga Nabi. Seketika  Aisyah membalasnya dengan kalimat wa`alaikumussam wa laknatullah “semoga kamu juga binasa dan Allah melaknatmu.”

Dari kisah ini menggambarkan Nabi faham betul jika sang Yahudi itu dibalas dengan keburukan lainnya, mereka akan meneguhkan persepsinya akan kejelekan Nabi bahkan akan lebih dari ini. Namun Nabi membalasnya dengan kesantunan, sehingga terbukti mereka menyadari kesalahannya tanpa pedang.

Kaidah sufi mengatkan Al insanu majbulun bihubbi ahsana ilaihi. Wabughduman asa ilaihi. Bahwa manusia diberi karakter senang terhadap orang yang berbuat baik kepada dirinya. Dan tidak menyukai orang yang berbuat jahat kepada dirinya.

Oleh karena rasa kasih sayang kepada Allah menjadi karakter Nabi, maka dia memberikan tutur kata laku yang lembut. Adalah sebuah keharusan setiap manusia untuk saling menyayangi satu dengan yang lainnya baik seiman maupun tidak. Perbedaan pandangan hal yang wajar bisa diselesaikan dengan dialog yang baik.

Imam Bukhori meriwayatkan dalam kitab shahihnya, “Seorang muslim adalah orang yang tidak melukai saudara muslim lainnya baik dengan lisan dan tangannya, orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan larang Allah SWT. (HR. Bukhori)

Yuk, mulai sekarang kita hijrah saling merawat relasi umat beragama kita dengan mengedepanakan kasih sayang, empati, berbuat baik kepada siapapun. Tidak menggunakan kekerasan, pemaksaan kehendak, teror, persekusi, ujaran kebenciaan apalagi teror. Karena inti ajaran islam adalah kasih sayang bagi seluruh alam. []

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya