Oleh: Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir, MA (Ketua Yayasan Fahmina)
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) adalah gerakan yang mendasarkan visi keislamannya pada gagasan rahmatan lil ‘âlamîn rahmatan lil ‘alamin (kerahmatan semesta) yang ditegaskan berbagai ayat al-Qur’an dan akhlâq karîmah akhlaq karimah (akhlak mulia) yang diteladankan Nabi Muhammad SAW.Saw.
Gagasan ini, dalam paradigma KUPI, diformulasikan dalam sembilan nilai dasar: ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Gagasan-gagasan dalam sembilan nilai dasar ini diimplementasikan dengan tiga pendekatan: makruf, mubadalah dan keadilan hakiki bagi perempuan.
Ketauhidan adalah fondasi dari semua nilai yang lain. Bahwa yang Tuhan itu hanya Allah SWT semata, dan yang lain, semuanya adalah ciptaan-Nya dan hamba-Nya. Ketika menciptakan, mengatur, memelihara, termasuk menurunkan wahyu-Nya adalah bentuk dari Rahmaân dan Rahiîm-Nya. Dari sini, lahir visi kerahmatan Allah SWT kepada seluruh semesta, termasuk melalui wahyu yang diturunkan kepada manusia.
Visi kerahmatan pada semesta ini (rahmatan lil ‘âlamîn), ketika diwujudkan dalam kehidupan di dunia, oleh manusia, harus didasarkan pada prinsip kemaslahatan.
Inilah misi akhlâq karîmah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Yaitu, ketika semua individu manusia, terutama antara laki-laki dan perempuan, satu sama lain, berpikir, bersikap, dan bertindak saling menghadirkan kebaikan.
Fondasi ketauhidan, visi kerahmatan, dan terutama misi kemaslahatan, akan benar-benar mewujud pada semua manusia dan semesta, hanya mungkin jika relasi yang dibentuk didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan, kesalingan, dan keadilan. Untuk memastikan ketiga nilai ini, pada konteks kehidupan kontemporer kita, kita masih perlu memastikan norma kebangsaan untuk relasi antar warganegara dalam satu negara, norma kemanusiaan untuk relasi yang lebih luas dengan semua manusia penduduk dunia, dan norma kesemestaan untuk relasi dengan alam sekitar.
Kesembilan nilai dasar dalam paradigma KUPI ini dibumikan dengan tiga pendekatan: makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki bagi perempuan.
Pendekatan makruf adalah memastikan kesembilan nilai dasar tersebut bisa menghadirkan kebaikan yang solutif dari dialektika teks dan konteks yang selaras dengan prinsip syari’ah, akal publik, dan kesepakatan-kesepakatan sosial tertentu. Pendekatan mubadalah adalah dengan menempatkan semua pihak, terutama yang berelasi seperti laki-laki dan perempuan, sebagai subyek subjek manusia utuh yang setara dalam menerima dan mewujudkan gagasan-gagasan dalam sembilan nilai dasar tersebut.
Sementara pendekatan keadilan hakiki adalah mempertimbangkan keunikan kondisi khusus yang dialami perempuan, atau seseorang dengan kondisi tertentu, baik biologis maupun sosial. Kondisi khusus ini tidak boleh mengurangi akses, partisipasi, manfaat, dan kontrol terkait implementasi gagasan dalam kesembilan nilai dasar tersebut. Ketiga pendekatan ini, makruf, mubadalah, dan keadilan hakiki, bukanlah sesuatu yang terpisah, melainkan menyatu dan koheren.
Jika disatukan, mungkin bisa diusulkan sebagai pendekatan khas KUPI. Sementara kesembilan nilai dasar itu bisa disebut sebagai paradigma KUPI. Bagi KUPI, segala aspek keimanan, keibadahan, dan amal sosial, dalam Islam adalah cerminan dari visi rahmatan lil ‘âlamîn rahmatan lil ‘alamin dan akhlâq karîmah.
Kita mengagungkan Allah SWT, bukan karena Dia kecil lalu memerlukan kita agar menjadi Agung. Allah SWT sudah Agung dengan Dirinya, kita menyembah-Nya atau mengingkari-Nya. Alih-alih untuk Allah SWT, kita beriman kepada-Nya, mengagungkan-Nya, dan beribadah kepada-Nya adalah untuk visi rahmatan lil ‘aâlamiîn dan akhlaâq kariîmah ini yang kembali kepada kita sendiri. Yaitu dalam bentuk kehidupan yang maslahat, sejahtera, damai, menyenangkan, dan bahagia, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Dari sini, kedua sumber utama, al-Qur’an dan Hadits, juga dipandang KUPI sebagai satu kesatuan, yang integral, dan tidak kontradiktif dalam mengusung, mengadopsi, dan mendakwahkan visi mulia ini. Karena itu, pemaknaannya tidak boleh atomik, harus saling menopang (yufassiru ba’dluhu ba’dlan) dalam kerangka visi dalam sembilan nilai tersebut di atas.
Sementara warisan tradisi masa lalu dengan berbagai displin ilmunya, mulai dari tafsir al-Qur’an, kompilasi Hadits dan syuruûh-nya, fiqh dan ushul fiqh, dan tasawuf adalah potret dinamika dari proses perwujudan visi itu dalam kehidupan nyata dengan konteks yang terus berkembang dan berubah.
Begitu pun dengan kesepakatan sosial kita, perundang-undangan, kebijakan negara di berbagai bidang, adalah potret dari dinamika proses yang terus menerus agar mencapai visi tersebut. Kita tidak boleh berhenti pada kalimat yang literal dan formal, tetapi harus terus memperjuangkan menuju visi agung rahmatan lil ‘aâlamiîn dan akhlaâq kariîmah ini.
Rahmatan lil ‘aâlamiîn, artinya rahmat dan anugerah bagi seluruh semesta. Kita sebagai diri (individu maupun komunitas) adalah bagian dari semesta ini. Bukan yang utama, lalu rakus, dominatif, dan hegemonik. Begitu pun orang lain dengan berbagai latar belakang ras, suku, bangsa, agama, bahasa, kapasitas fisik dan sosial adalah juga bagian dari semesta. Begitu pun lingkungan alam sekitar adalah bagian dari semesta.
Karena itu, kita diikat oleh misi akhlaâq kariîmah yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW. Secara literal sering diartikan sebagai perilaku, karakter moral, atau kepribadian mulia. Ini benar, tetapi masih abstrak. Yang kongkrit kongkret adalah ketika perilaku ini mewujud dalam sikap dan perilaku yang saling mewujudkan kemaslahatan. Karena itu, diterjemahkan akhlaâq kariîmah ini sebagai misi kemaslahatan. Yaitu segala perilaku mulia dengan mengupayakan kemaslahatan bagi diri, keluarga, orang lain, segenap manusia, dan juga lingkungan alam sekitar.
Dengan visi rahmatan lil ‘aâlamiîn, pandangan keagamaan yang diputuskan KUPI harus memastikannya sebagai rahmat dan maslahat yang benar-benar dirasakan manusia, dengan segala perbedaannya dan semesta alam dengan segala jenisnya. Yang khas dari KUPI, untuk visi kerahmatan dan misi kemaslahatan agung ini, yaitu keharusan mempertimbangkan realitas kehidupan dan pengalaman perempuan, sehingga mereka menjadi subjek utuh dan setara, menjadi pelaku dan penerima manfaat dari visi kerahmatan dan misi kemaslahatan ini.
Gagasan paradigmatik ini menjadi perspektif, sistem pengetahuan, dan tujuan yang ingin dicapai dalam gerakan KUPI dengan berbagai kegiatan dan dalam berbagai level. Sebagai perspektif, ia akan dipakai sebagai lensa dalam memandang, mengetahui, menyikapi, menafsirkan, mempraktikkan, dan memperlakukan semua hal dalam kehidupan.
Baik teks-teks sumber pengetahuan, maupun kasus-kasus realitas sumber pengalaman dan pembelajaran. Sudahkah cara pandang kita rahmatan lil ‘alamin âlamîn dan akhlâq karîmah akhlaq karimah dengan sembilan nilai dasar tersebut? Cara menafsir kita sudahkah menggunakan pendekatan makruf, mubadalah dan keadilan hakiki bagi perempuan? Hasil menafsir dan narasi kita koherenkah dengan paradigma tersebut? Sikap, pernyataan, perilaku dan perbuatan kita selaras tidak dengan perspektif tersebut?
Sebagai sistem pengetahuan ia mengikat dan mengintegrasikan seluruh sumber-sumber tekstual dalam Islam, terutama al-Qur’an dan Hadits, sebagai satu kesatuan yang holistik, di mana teks-teksnya, satu sama lain saling menopang (yufassiru ba’dluhu ba’dlan), dalam kerangka gagasan ini.
Termasuk sumber-sumber pengetahuan di luar kedua teks tersebut, seperti ilmu-ilmu sosial, eksak, filsafat, atau fakta-fakta realitas kehidupan juga diintegrasikan dengan kerangka yang sama. Hal ini semua adalah sumber-sumber yang harus dilihat sebagai sistem yang utuh, holistik, dan koheren dalam kerangka paradigma rahmatan lil ‘aâlamiîn dan akhlaâq kariîmah.
Sebagai tujuan, gagasan ini turun dalam ruang dan waktu, berproses dengan konteks sosial dan budaya, untuk mentransformasikan semua norma kehidupan menjadi benar-benar rahhmatan lil ‘aâlamiîn dan akhlaâq kariîmah bagi seluruh manusia dan semesta. Yang kita pahami dan kita lakukan, merupakan proses ke arah tujuan rahmatan lil ‘aâlamiîn dan akhlaâq kariîmah. Karena proses dan tujuan ini, kita siap untuk berbagi, bekerja sama, bersedia untuuk dikritik dan menerima masukan, mengubah, dan menyesuaikan.
Bagi KUPI, keimanan dan ketakwaan diukur dengan kesadaran transendental ketuhanan di satu sisi, dan kebermanfaatan sosial semaksimal mungkin di sisi yang lain. Baik untuk individu, pasangan hidup, anggota keluarga, komunitas warga terkecil, bangsa, penduduk dunia, dan semesta. Kekhasan KUPI adalah memastikan perempuan diposisikan sebagai subjek utuh, pelaku dan penerima dari manfaat gagasan ini, setara dengan laki-laki.
Pandangan-pandangan keagamaan yang dikeluarkan KUPI, yang biasa disebut sebagai fatwa, tentang masalah-masalah kehidupan, merupakan bagian dari proses mewujudkan gagasan kerahmatan (rahmatan lil ‘alaminâlamîn) dan kemaslahatan (akhlaâq kariîmah) dalam kehidupan. Pandangan keagamaan ini dikeluarkan melalui proses yang semuanya juga mengacu pada perspektif dan sistem pengetahuan dari gagasan agung ini.
Hasil fatwanya diharapkan memenuhi, atau bisa mendekati gagasan tersebut. Mandat utama KUPI adalah memastikan pandangan keagamaan yang dianggap sebagai kerahmatan Allah SWT Swt bagi semesta (rahmatan lil ‘alaminâlamîn), yaitu ketika proses dan hasilnya benar-benar menjadi rahmat dan anugerah, tidak hanya bagi laki-laki, melainkan juga perempuan sebagai bagian dari semesta-Nya, dan tidak hanya bagi manusia, melainkan juga seluruh semesta.
Sebagai salah satu anugerah-Nya, dengan cara pandang kerahmatan khas KUPI ini, realitas perempuan tidak dinafikan dan kapasitas perempuan tidak dipinggirkan. Melainkan, keterlibatan mereka dalam proses kelahiran pandangan keagamaan, justru dianggap sebagai keterpanggilan sejarah dan keniscayaan peradaban Islam. Sebagai manusia utuh, hamba dan khalifah di muka bumi, perempuan telah dianugerahi akal budi dan jiwa raga oleh Allah SWT Swt yang membuatnya kompeten dan kapabel dalam mengemban peran tersebut. Anugerah ini tidak boleh dikurangi oleh siapa pun dan atas nama apa pun. Hasil dari ijtihad pandangan keagamaan, baik berupa fatwa atau yang lain, seharusnya pun secara nyata menjadi anugerah, terutama bagi perempuan dan semesta.
Begitu pun pandangan keagamaan dianggap sebagai kemaslahatan, yaitu ketika proses dan hasilnya menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai sama-sama subjek, yang dilibatkan, disapa, dan dipastikan benar-benar memperoleh manfaat darinya. Perempuan dengan dua kondisi khusus, yang biologis dan sosial, diperhatikan dan difasilitasi agar tidak lagi mengalami keburukan dampak dari kondisi khas tersebut.
Seharusnya, pandangan keagamaan yang dikeluarkan tidak malah melestarikan keburukan, ketimpangan, kekerasan, dan ketidak-adilan bagi perempuan. Sebaliknya, seluruh institusi keadamaan keagamaan memfasilitiasi perempuan, dengan seluruh potensi akal budinya, bersama laki-laki, agar memiliki kenyamanan untuk ikut berkontribusi sebagai khalifah yang memakmurkan bumi, dan merasakan kemakmurannya dalam kehidupan nyata.
Saat ini, pandangan keagamaan dengan perspektif demikian adalah penting untuk dikembangkan dan disebarkan, mengingat terlalu banyaknya narasi intoleransi, kebencian, bahkan kekerasan, perusakan, dan pembunuhan. Narasi-narasi ini sering kali dibungkus dalam bahasa dan argumentasi keagamaan. Lebih-lebih lagi, basis-basis warisan tradisi keislaman sering kali dirujuk sedemikian rupa justru untuk melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Di sisi yang lain, kesadaran keadilan relasi gender semakin menguat di kalangan ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia. Juga, semakin banyak lahir para perempuan Muslimah yang berkapasitas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu teks-teks agama. Dua hal ini meniscayakan dan menuntut lahirnya fatwa, pandangan keagamaan, dan narasi-narasi keagamaan populer yang lebih adil dan ramah terhadap perempuan, sebagai alternatif narasi yang sebaliknya. Narasi-narasi ini akan membekali generasi sekarang dalam memahami Islam yang kaâffah, rahmah, dan adil, terutama dalam relasi laki-laki dan perempuan.
Diskursus dalam buku yang aku tulis ini lahir untuk memperkuat upaya tersebut di atas. Tentu saja, cara pandang dan metodologi yang menjadi basis dari fatwa KUPI, yang tertulis dalam buku ini, masih merupakan upaya awal. Ia memerlukan respons dari berbagai kalangan. Diharapkan buku akan dibaca, dikritik, diteruskan, dan disempurnakan para sahabat jaringan KUPI, para pengkaji dan pemerhati studi keislaman, terutama kajian hukum atau fiqh dan ushul fiqh.
Setidaknya, apa yang aku tulis ini dengan berbagai masukan yang sudah diterima bisa, dan kemudian akan ada masukan lagi, menjadi pertanggung-jawaban akademik kita semua pada isu ini, sekaligus amal shaâlih, yang pahalanya jaâriyah, dan bukti kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu mewasiatkan kepada seluruh umat untuk selalu berbuat baik kepada perempuan (istawshuû bi an-nisaâ’ khairan). []
**
Buku ini dibagikan gratis oleh Fahmina Institut, untuk para pengkaji hukum Islam dan relasi keadilan gender, para alumni pelatihan lembaga jaringan KUPI, dan atau mereka yang hadir di perhelatan KUPI tahun 2017 di Cirebon.
Syaratnya cuma satu: kunjungi website kupipedia.id dan tulis kesannya di form hibah buku ini, yang telah disediakan:
https://bit.ly/FormulirBukuMetodologiFatwa
Ayo buruan, hibah ini berlaku sampai tanggal 25 Februari 2022, dan stok juga terbatas ya.