Minggu, 22 Desember 2024

Musik dan Identitas Budaya

Oleh: Nur Umar

Baca Juga

Perhelatan blantika musik Nusantara telah mengalami beberapa fase pada masanya, mulai.dari musik etnik hingga musik pop yang kesemuanya telah melewati masa jayanya masing-masing serta memiliki tempat tersendiri di hati penikmatnya. Hingga pada saat ini tidak sedikit orang yang bisa melepaskan diri dari alunan musik, apapun genrenya, entah sebagai permulaan dalam mengawali aktivitas atau bahkan dalam rintih kesakitan yang sedang dialami oleh seseorang sekalipun, musik selalu merdu terdengar. Dan sebagai apresiasi terhadap musi tersebut maka presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013 menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional dalam upaya meningkatkan apresiasi terhadap musik nasional.

Berbicara selera, terdapat perbedaan pada masyarakat urban dan masyarakat pedesaan dalam menikmati alunan musik, bagi masyarakat urban atau perkotaan musik-musik semacam pop hingga trance (disko) sering diputar dibanyak tempat. Selain karena musik sebagai pelipur lara atau bisa juga sebagai gaya hidup, musik juga berfungsi sebagai daya tarik bagi konsumen seperti di swalayan atau juga di kedai bakso sekalipun. Karena pada jaman sekarang musik digunkan sebagai sarana promosi seperti iklan di televisi maupun radio yang menggukan musik sebagai alat promosinya, terutama musik instrumen yang mengalun merdu di tempat perbelanjaan seperti swalayan atau dapertement store tadi.

Pepatah mengatakan, Lain lubuk lain belalang begitu kira-kira kasat mata melihat musik di tempat yang berbeda. Desa yang memiliki keidentikan corak masyarakatnya yang sederhana serta masih menjunjung nilai-nilai kebersamaan maka pilihan musiknya pun berbeda dengan masyarakat perkotaan, musik seperti karawitan di daerah dataran yang tinggi, masyarakat sunda contohnya, atau di daerah pesisir yang di kenal sebagai musik pantura atau pantai utara, yang di dalamnya secara geografis banyak membentang dari wilayah pesisir Indramayu hingga Cirebon.

Musik Pantura sering terdengar di pelosok-pelosok desa hingga tidak sedikit rumah yang pada pagi dan sore hari memutar lagu-lagu pantura tersebut, bahkan hingga di galengan sawah pun terdengar musik pantura itu, sebab karena salah seorang petani membawa ponsel atau radio yang dikalungkan pada lehernya atau pantura atau yang biasa disebut Jawaan. Jawaan karena lirik yang ditulis oleh pengarangnya menggunakan bahasa Jawa yang biasa digunakan oleh masyarakat pesisir sebagai alat berkomunikasi.

Musik yang bergenre pantura yang berasal dari musik Tarling yang berasal dari gitar dan seruling, menurut sebagian orang dimulai sejak tahun 1931 dari Desa Kepanden Kabupaten Indramayu. Namun musiknya kini mulai mengalami pergeseran-pergeseran yang melebur dengan selera pasar, namun musik jenis ini juga memiliki fungsi yang sama seperti musik pada genre-genre lain, akan tetapi keistimewaan musik pantura ini lebih mengena menurut orang tua yang sudah terbiasa dengan lirik-liriknya yang ‘mengena’ bagi mereka. Hingga pada saat masyarakat atau sesorang mengadakan sebuah acara semacam resepsi pernikahan, khitanan, atau acara-acara seperti mapag sri (panen-red) dan lain sebagainya. Tak sedikit masyarkat pedesaan mengundang sederetan biduan lokal lengkap dengan grupnnya yang biasa disebut Organ Tunggal.

Organ Tunggal secara otomatis mampu menyedot perhatian masyarakat akan berduyun-duyun mendatangi sumber suara, bukan hanya untuk menyaksikan, namun juga ikut menggerakkan badan bersama dengan teman-temannya di atas panggung. Sebagai apresiasi terhadap para biduan, peserta yang ikut berjoget tersebut tidak segan-segan memberikan saweran kepada biduan tersebut. Entah karena disebut namanya atau memang karena salah seorang peserta joget itu meminta sebuah lagu kepada biduan tadi. Sehingga musik pantura begitu mengena pada masyarakat pedesaan dengan topografi yang sesuai dengan watak serta karakter masyarakatnya.

Lirik yang kompleks serta mengandung pesan moral akan memberikan sebuah imlplikasi tersendiri pada pendengarnya, yang juga mengalami ritme kehidupan yang sama dengan lagu yang dilantunkan, umpamanya yang paling sering muncul ialah problem rumah tangga (khususnya perempuan) hingga persoalan TKI yang mendominasi iklim desa, karena dalam liriknya sebagian besar mengeksplorasi kehidupan perempuan yang, lagi-lagi menjadi korban atas ketertindasan, baik fisik atau psikisnya.

Jawaan atau pantura merupakan musik yang berangkat dari persoalan sosial yang dielaborasikan dengan sentuhan musik dengan tempo sedang, sehingga apa yang di katakan dalam lirik mampu ‘merogoh’ perasaan seorang perempuan secara inheren (erat-red). Juga sebagai pelesatrian budaya di dalamnya, khususnya bahasa dan sastra yang terkandung dalam lirik lagu pantura tersebut. Musik secara global menurut Aristoteles, mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah. Mendengarkan musik, menurutnya merupakan terapi rekreatif yang juga dapat menumbuhkan jiwa patriotisme. Sebagian orang menilai, jenis musik yang baik didengar itu hanya masalah selera. Namun di lain pihak berkeyakinan, bahwa musik mampu mempengaruhi emosi, fisik, mental, hingga spiritual seseorang. {}

 

 

*Nur Umar adalah penulis lepas Alumnus Institut Studi Inslam Fahmina (ISIF) Cirebon.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya