Oleh: Devida (Staf Dept. Islam dan Demokrasi Fahmina Institute)
Tawuran antar warga identik dengan Kapetakan. Pertikaian yang menggunakan kekerasan antar warga menjadi semacam ritual keseharian masyarakat di kawasan ini. Penyelesaiannya kerap menemui jalan buntu. Mustiyanto, pemuda setempat, memulai jalan untuk merajut perdamaian di tempat ia dilahirkan, yaitu Desa Grogol Kecamatan Kapetakan.
Kapetakan merupakan salah satu kecamatan dari 40 kecamatan yang ada di Kabupaten Cirebon. Kapetakan berada di bagian utara, sekitar 41 km dari pusat ibukota kabupaten dan menjadi bagian jalur pantura (pantai utara) Jawa Barat. Kecamatan ini jumlah penduduknya cukup banyak yaitu ada sekitar 52.412 jiwa. Mata pencaharian warga di Kapetakan beragam, tetapi yang lebih dominan berada di sektor pertanian. (BPS Tahun 2017).
Kapetakan dikenal luas sebagai kawasan tawuran antar warga desa. Sebab perkelahian massal antar desa kerap terjadi dengan alasan amat sepele. Meskipun pemicu tawuran ini diawali pertikaian dua pemuda dengan dipengaruhi minuman keras. Namun pertikaian itu tak segera diselesaikan secara damai, sehingga dari pertikaian menjadi tawuran antar desa. Kenapa demikian? Karena ada rasa persaudaraan, pertemanan, serta semangat kelompok (komunitas) yang mendorong mereka untuk terlibat ambil bagian dalam tawuran tersebut. Pola kekerabatan yang begitu kuat membuat tawuran antar desa semakin besar, bahkan sekelompok pemuda dan warga dari desa lain pun turut serta melibatkan diri.
Jika menengok ke belakang, tawuran besar pernah terjadi antar Desa Grogol dengan Desa Dukuh pada tahun 2001. Menurut Tokoh Masyarakat Desa Dukuh, Kiai Ahmad Sanusi, tawuran antar desa ini berlangsung selama satu bulan. Dampaknya adalah banyak rumah dibakar, dirusak dan dijarah. Meskipun tidak ada korban jiwa, hanya luka-luka saja. Penyebab dari tawuran ini diawali perkelahian antar dua pemuda yang dipengaruhi miras di tempat hiburan/ organ. Perkelahian dua pemuda itu tidak segera diselesaikan secara damai, sehingga permasalahan menjadi besar dan terjadilah tawuran antar desa.
Tawuran antar desa ini terhenti setelah adanya musyawarah antar desa yang difasilitasi Kapolsek dan Pemerintah Kecamatan. Dan sampai saat ini tidak ada lagi tawuran besar seperti yang terjadi pada tahun 2001. Namun saat ini yang patut diwaspadai adalah infiltrasi pemahaman wahabi yang masuk ke Desa Grogol. Kenapa perlu waspadai? Karena kelompok ini cenderung membidahkan tradisi atau ritual adat masyarakat seperti, Ngunjung Buyut (ritual tahunan masyarakat untuk menghormati leluhur yang dilaksanakan di bulan maulid) Syekh Magelung Sakti, dan sedekah bumi. Hal itulah yang membuat terjadi ketegangan antar warga, karena beda pemahaman keagamaan.
Puncaknya Desa Grogol dihebohkan dengan ditangkapnya Kasto sebagai terduga terorisme bersama 6 orang lain di wilayah Cirebon. Kasto ditangkap Densus 88 (19/11/2019) karena ikut terlibat jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Dari peristiwa itulah, Mustiyanto semakin semangat untuk menggerakan pemuda dan warga untuk menciptakan desa damai di tanah kelahirannya. Baginya, jangan sampai penangkapan teroris terulang kembali di Desa Grogol.
Memulai dengan pertemuan kecil
Pertemuan dengan Mustiyanto diawali ketika Fahmina Institute akan melakukan Focus Group Discussion (FGD) terkait sosial keagamaan di rumah Khaerudin (50 tahun), sebagai tokoh agama, sekaligus aparatur Pemerintah Desa Grogol. Fahmina Institute diwakili Devida berbincang-bincang dengan Khaerudin dan Mustiyanto (37 tahun) terkait situasi desa. Pertemuan ini sebagai asesment awal dengan mencari tokoh-tokoh kunci agar FGD bisa terlaksana.
Dalam pertemuan itu, Mustiyanto menyambut baik kegiatan yang dilakukan Fahmina. Sebab dia pun memiliki harapan untuk menghidupkan berbagai macam kegiatan di masyarakat guna mencegah pemahaman wahabi tidak meluas. Mustiyanto tidak ingin kegiatan tradisi atau ritual adat hilang. Karena melalui ritual adat inilah, masyarakat antar desa bisa berjumpa dan berkomunikasi. Pertemuan ini baginya dapat mempererat tali silaturahim, sekaligus mempupuk persaudaraan. Sehingga warga tidak mudah menjadi ekslusif (tertutup).
Namun Mustiyanto mengaku kesulitan ketika ingin menggerakan masyarakat. Nah melalui kegiatan yang digagas Fahmina ini diharapkan dapat menggerakan masyarakat desa. Berbekal pengalaman di berbagai organisasi seperti Pimpinan Anak Cabang (PAC) GP Ansor Kecamatan Kapetakan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan sebagai Wakil Kepala Sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) An-Najwa. Mustiyanto terus mengajak para warga, khususnya pemuda/i untuk mengaktifkan kembali berbagai macam kegiatan sosial keagamaan yang sesuai kultur dan budaya lokal.
Menyulam Renda-renda Keragaman
Untuk menyulam kembali memang bukan perkerjaan mudah dan bisa dilakukan oleh perorangan. Fondasi toleransi sebenarnya bukan urusan kita dan urusan kamu, melainkan urusan kita bersama sebagai anak bangsa. Ini bisa dimulai melalui kesadaran anak muda untuk menggerakan berbagai aktivitas untuk mengikis intoleransi beragama.
Mustiyanto memulai dengan merajut kembali dengan menginisiasi forum pengajian atau ceramah agama ibu-ibu yang dimulai dari Masjid Jami’ Baitul Mu’min. Tujuannya adalah untuk silaturahim, mempererat persaudaraan, dan peningkatan pemahaman keagamaan. Mustiyanto mengundang ibu-ibu pengajian melalui pengeras suara masjid dan tentunya menginformasikan ke para ketua jamiyyah.
Ceramah agama bertajuk “Islam Sebagai Agama Damai” ini disampaikan oleh Ustadz Rosidin yang diikuti sekitar 30 orang, 2 laki-laki dan 28 perempuan dari muali pukul 13-30-15.00 WIB, Sabtu, 11 Mei 2019. Dari pengajian inilah, Mustiyanto dan Khaeruddin berencama memulai kembali pengajian satu bulan sekali. Namun setelah berjalan lebih dari dua bulan atas usulan peserta lain pengajian dilaksanakan setiap dua minggu sekali mengingat antusias peserta semakin meningkat dari 40 sampai 75 orang. Ceramah agama di Desa Grogol dari bulan Mei 2019 sampai akhir Maret 2020 sudah dilaksanakan 18 kali.
Selain itu, Mustiyanto bersama warga lain menginisiasi berbagai macam kegiatan dalam rangka memperingati 17 Agustus 2019. Awal pembentukan panitia, Mustiyanto dan Khaerudin mengundang beberapa perwakilan RT/RW. Dalam pertemuan itu disepakati untuk mengadakan lomba kampung bersih dan lomba hias sepeda dengan tema “Groggol Cinta Damai” dan refleksi kemerdekan pada malam hari. Ada sekitar 70 lebih warga terlibat dalam lomba hias sepeda. Bukan hanya anak-anak saja yang terlibat, tapi ada pemuda/i, dan juga ibu-ibu. Malam dilanjut dengan refleksi hari kemerdekaan yang diisi oleh KH. Zuhri Adnan (Ketua LDNU Cirebon) dengan tema Islam dan Kebangsaan yang diikuti sekitar 133 warga (93 perempuan dan 40 laki-laki).
Adapun pertemuan yang berkaitan dengan inisiatif pencegahan kekerasan (IPK) telah disampaikan kepada warga Desa Grogol terhitung sejak bulan April 2019-Oktober 2020. Total keseluruhan kegiatan IPK yang sudah dilaksanakan yaitu 44 dengan berbagai macam kegiatan, seperti ceramah keagamaan, rembug warga, pelatihan, studi banding ke Komunitas Tanoker Jember, seminar, audiensi, workshop, pertemuan jaringan, pelatihan video kreatif dan terakhir pertemuan zoom update situasi sosial keagamaan di desa.
IPK juga tidak hanya direalisasikan dalam bentuk kegiatan, tetapi kampanye cinta damai lewat tulisan kaos dan tulisan di Buletin al-Basyar yang disebar ke warga. Semua kegiatan tersebut dalam rangka menguatkan kapasitas warga agar tidak terpapar pemahaman ekstremisme. Namun sejak mewabahnya covid-19, berbagai macam kegiatan berkaitan IPK di Desa Grogol dihentikan sementara, termasuk ceramah keagamaan.
Meski demikian, perjuangan sosial Mustiyanto bersama warga lainnya berdampak pada peningkatan kerukunan dan kesolidaritas, gotong-royong serta kepedulian. Yang terpenting adalah kedepan mereka tetap berkomitmen untuk menjaga tanah kelahirannya dari pemahaman ekstremism yang dapat membahayakan keretakan sosial di masyarakat dan kedaulatan negara. []