Oleh: Dr. KH. Husein Muhammad (Ketua Umum Yayasan Fahmina)
Farid al Din Attar, penyair besar Persia, melantunkan gubahan puisinya yang memesona sekaligus menggetarkan hati tentang Isra Mi’raj Nabi. Katanya :
Pada malam hari datanglah Jibril
Dan dengan suka cita ia berseru :
“Bangunlah, Duhai pemimpin dunia!
Tinggalkan tempat gelap ini
dan pergilah kini
Ke Kerajaan Abadi Tuhan
Langkahkan kakimu menuju
‘di mana tiada tempat’
Dan ketuklah pintu tempat suci itu
Dunia bersuka cita karena engkau
Dari Masjid Al Haram di Makkah Nabi menuju Bait Maqdis di Pa bertemu Tuhan di Sidrah al-Muntaha, puncak alam semesta, di atas langit tujuh. Ruang misteri yang tak bisa dimasuki siapapun termasuk Jibril yang membawanya. Usai berintim indah, Nabi pamit untuk kembali ke bumi. Beliau selalu teringat umat manusia di sini. Mereka harus diselamatkan dan dibebaskan dari kebodohan, penindasan dan beragam kejahatan kemanusiaan.
Iqbal, pemikir terkemuka Pakistan, mengomentari : “Seorang sufi enggan kembali dari suasana tenang dalam “pengalaman manunggal dengan Sang Kekasih itu”.
Tetapi Nabi Muhammad tidak. Meski masih merindukan keintiman bersama-Nya, beliau tetap ingin pulang menemui orang-orang di bumi yang hatinya luka. Ialah mereka yang sakit, yang lapar, yang kehausan, yang disisihkan, yang direndahkan dan yang disakiti.
Tuhan lalu memberikan jalan agar bisa sering bertemu. “Shalatlah lima waktu”. Ya. Shalat itu Mi’raj orang beriman.
Iqbal meneruskan komentarnya :
“Nabi kembali untuk menempatkan dirinya ke dalam lingkungan waktu dengan tujuan mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah, dan dengan demikian untuk menciptakan suatu dunia ideal yang segar”.