Sabtu, 23 November 2024

Negara Mesti Jamin Segala Bentuk Penyiaran Radio

Baca Juga

Tuntutan ini didasarkan atas penyalahgunaan perizinan gedung radio tersebut, yang awalnya merupakan gedung umum kemudian dijadikan kegiatan umat Kristiani dengan sajian siaran radio yang berisi dakwah-dakwah kerohanian umat Kristen. Selain itu kelompok (yang mengatasnamakan FUI, FUUI dan GAPAS) ini menganggap bahwa ada misi-misi tertentu dalam siaran dakwah di radio itu, sehingga mereka menuntut penghentian siarannya.

Boleh atau tidaknya siaran sebuah radio, tentu terkait izin siarannya. Mengenai izin siaran, pihak pengurus radio menegaskan bahwa izin siaran radio Gratia memang diperuntukkan untuk umum,  bukan perizinan khusus mengenai siaran berdakwah. Pengurus Radio Gratia menyatakan bahwa siaran tersebut ditujukan untuk komunitas Kristiani, akan tetapi oleh kelompok yang menggugatnya, siaran radio Gratia dianggap berpotensi menyebabkan pemurtadan ummat Muslim di Cirebon.

Sebenarnya, beberapa radio lokal di Cirebon, mempunyai keragaman corak dalam siaran, tidak hanya bernuansa rohani belaka. Siaran mengenai kebijakan pemerintah daerah, isu-isu politik lokal, serta siaran-siaran mengenai informasi-informasi yang muatannya lebih pada konteks lokal, baik komersil maupun sosial, sudah menjadi hal lumrah dan wajar. Radio dengan keberagaman siarannya merupakan representasi dari masyarakat Cirebon yang plural. Dimana dari sisi sejarahnya, Cirebon adalah daerah yang plural sejak dulunya, kaya akan akulturasi budaya lokal yang bersentuhan dengan budaya India, Arab dan China. Secara historis, masyarakat Cirebon terbiasa dengan segala perbedaan yang ada. Banyaknya peninggalan-peninggalan budaya Cirebon, seperti makna simbol-simbol yang ada di Paksi Naga Liman merupakan salah satu bukti nyata bahwa masyarakat Cirebon tidak merasa resah dan khawatir akan sebuah perbedaan. Karena jauh-jauh hari Cirebon merupakan salah satu sentra perdagangan dan didalamnya banyak interakasi antar pemeluk agama Hindu, Budha dan Islam.

Dalam hal ini, penulis sependapat dengan tulisan H. Ilih Permana MM selaku Kepala Departemen Agama Kabupaten Cirebon yang dimuat Radar Cirebon pada, 18 Maret 2008 lalu. Beliau menyatakan bahwa sebagian masyarakat mengalami ketakutan dan kekhawatiran mengenai perbedaan yang muncul atas sikap teologis dan ideologis. Ketika kelompok masyarakat lain berbeda pandangan mengenai pemahaman ideologis dengan kelompok lain, maka salah satu kelompok akan melakukan penguatan-penguatan terhadap apa yang diyakininya selama ini. Tentunya sebagian masyarakat dimaksud adalah kelompok masyarakat yang melakukan intimidasi dan diskriminasi terhadap Radio Gratia ini. Tentunya fakta diatas berlaku juga dengan siaran Radio Gratia yang berisi dakwah kerohanian yang ditujukan untuk ummatnya saja.

Namun demikian, adanya kelompok masyarakat yang melakukan “penyerangan” terhadap radio Gratia hendaknya dilihat dari sisi berbeda. Kekhawatiran mereka selama ini lebih karena faktor keputusasaan atas kehidupan ini. Mereka menganggap Radio Gratia dengan siaran religiusnya meresahkan ummat dan berpotensi menyebabkan pemurtadan. Padahal, apa yang dilakukan Radio Gratia dengan siarannya adalah suatu kewajaran, serta dilindungi oleh konstitusi negara (hukum dengan segala perundang-undangannya). Hal ini tertuang dalam UU No.32 Tahun 2002 Bab II Pasal 1, dinyatakan bahwa Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan, dan tanggung jawab. Tentunya hal ini berlaku bagi Radio Gratia dan Radio-radio lain, selama tidak melanggar asas dan nilai yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, menjaga integritas nasional, meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa, mempererat persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan partisipasi masyarakat didaerah, serta mendorong meningkatnya perekonomian ditingkat daerah.

Mengkaji Ulang Peran dan Tanggung Jawab Negara

Negara seharusnya menjamin segala bentuk penyiaran radio selama tidak bertentangan dengan jati diri bangsa. Jaminan tersebut sepatutnya dibarengi pula dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak siar sebuah radio. Dimana penyiaran mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat social dalam kerangka terwujudnya kerukunan antar umat beragama di Kota Cirebon. Dalam hal ini, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibangun dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan ummat beragama sepatutnya dapat memberikan peran dan fungsinya untuk menjaga integritas dan kesatuan bangsa. Termasuk didalamnya menangani berbagai persoalan mengenai rumah peribadatan, memfasilitasi tiap permasalahan yang menyangkut kerukunan umat beragama, serta dapat memberikan solusi dalam penyelesaian konflik antar ummat beragama. Akan tetapi, selama ini tidak hanya FKUB Kota Cirebon, hampir ditiap daerah di Indonesia, FKUB tidak berperan sebagimanamestinya. FKUB dengan pembentukannya lebih diwarnai berbagai persoalan intern. Semisal mengenai jumlah keterwakilan agama dalam forum tersebut sehingga disinyalir sarat akan muatan kepentingan elit politik di daerah.

Sepatutnya FKUB dapat berperan sebagimana diatur dalam Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama (Menag) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 9/2006 dan No. 8/2006. Selain mengenai peran dan fungsi FKUB, konstitusi negara yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 Pasal 18, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 18 Butir 1-4, serta dalam instrumen hukum nasional Pasal 28 E Amandemen Ke II UUD 1945, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Pasal 18 (Yang sudah Diratifikasi Pemerintah dalam UU No 12 Tahun 2005), Undang-Undang No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 22 menjamin kebebasan individu maupun kelompok untuk memepercayai, menjalankan dan mengamalkan aktivitas ibadahnya sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara selama ini cenderung melakukan pelanggaran baik yang bersifat pembiaran (by commission) ataupun bertindak terang-terangan melakukan pelanggaran (by ommission) terhadap hirarki hukum yang ada.

Oleh sebab itu, kekhawatiran kelompok tertentu dalam masyarakat harus dipandang sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap realitas sosial, realitas ekonomi dan budaya. Negara seharusnya dapat memfasilitasi dan melakukan pendekatan sosial, ekonomi dan budaya serta meningkatkan penegakan dan sosialisasi hukum dan perundang-undangan dalam kerangka membangun kesadaran bersama merupakan salah satu cara dalam memecahkan berbagai persoalan menyangkut kerukunan antar ummat beragama di Indonesia.


**Penulis aktif sebagai Pemantau Jaringan Kerja (JAKER) Kebebasan Beragama dari Fahmina Institute.

Fahmina bekerjasama dengan beberapa NGO: LBH dan PBHI Bandung, GKP Bandung, JIMM dan Desantara serta aktif sebagai melakukan Pemantauan Diskriminasi Berbasis Agama dan Kepercayaan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Sosialisasi Pilkada Serentak 2024: Serukan Pemilih Cerdas dan Tolak Politik Uang

Oleh: Zaenal Abidin Cirebon, Fahmina Institute- Dalam rangka memperkuat demokrasi dan keberagaman, KPU Kabupaten Cirebon gandeng Fahmina Institute mengadakan acara...

Populer

Artikel Lainnya