Di atas kereta api Bima, dalam perjalanan pulang ke Cirebon, kemarin, 12.02.18, aku ditanya teman sekursi soal ibadah (kebaktian) non muslim di masjid. Aku bilang persoalan ini sesungguhnya sudah lama sekali dibicarakan para ulama. Berpuluh abad lampau. Mereka berbeda pendapat soal itu dengan segenap argumennya dan perspektifnya atau kecenderungan ideologinya masing-masing. Ada hadits mengenai ini, tetapi ditanggapi secara berbeda, terutama dari sisi validitas nya (kesahihannya). Ini dikemukakan oleh antara lain Ibnu Ishaq, ahli sejarah Islam klasik.
Syahdan, suatu hari yang cerah di Madinah, Nabi kedatangan rombongan umat Nasrani, berjumlah sekitar 60 orang. Beliau lalu menyambutnya dan menempatkannya di masjidnya yang agung itu. Menurut seorang perawi, ketika rombongan sampai di sana, Nabi sedang melaksanakan shalat Ashar.
Tak lama kemudian tiba waktu kebaktian mereka. Disebutkan di situ : “Fashallu Fihi” (mereka shalat di situ). Para sahabat keberatan jika mereka melaksanakannya di masjid. Tetapi Nabi mengatakan :
«دَعُوهُمْ»، فَاسْتَقْبَلُوا الْمَشْرِقَ، فَصَلَّوْا صَلَاتَهُم
“Biarkanlah mereka melaksanakan ibadahnya di masjid itu”. Mereka lalu berdiri menghadap ke Timur dan melakukan shalat (kebaktian).
Usai itu mereka kaum mengajak Nabi berdiskusi soal ajaran agama. Beliau menyambutnya dengan senang hati dan pikiran terbuka. Manakala mereka kalah dalam berdebat, Nabi tidak memaksa mereka masuk Islam. Beliau memberikan kebebasan memilih.
Hadits itu diakhiri dengan kata-kata yang menarik :
وقد أسلم بعضهم بعدما رجعوا إلى نجران
“Ketika mereka kembali ke Najran, desa tempat tinggal mereka, sebagian dari mereka masuk Islam”.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, ulama besar, ahli hadits besar, murid utama Ibnu Taimiyah mengatakan dalam karyanya : Ahkam Ahl al-Dzimmah”, I/397 :
” وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَنْزَلَ وَفْدَ نَصَارَى نَجْرَانَ فِي مَسْجِدِهِ وَحَانَتْ صَلَاتُهُمْ فَصَلوا فِيهِ وَذَلِكَ عَامَ الْوُفُودِ
“Ada hadits Sahih, bahwa Nabi menerima rombongan utusan komunitas Nasrani Najran, di masjidnya, lalu tiba waktu shalat mereka. Mereka pun shalat di situ. Ini terjadi pada tahun datang para delegasi dari luar negeri”.
Ibnu Qayyim juga menyampaikan hal yang sama dalam karya besarnya : “Zaad al-Ma’ad”, juz III/549).
Ibnu Qayyim selanjutnya menjelaskan bahwa kebolehan non muslim shalat di masjid tersebut sepanjang diperlukan dan tidak menjadi kebiasaan.
Ibnu Hajar dalam kitabnya yang terkenal “Fathul Bari” , komentar atas kitab Sahih Bukhari, juz II/107 mengatakan bahwa masalah ini diperdebatkan ulama fiqh. Mazhab Hanafi membolehkan orang non muslim masuk masjid mana pun, tak terkecuali masjid al-haram.
Mazhab Maliki melarang sama sekali. Mazhab Syafi’i membolehkan selain di masjid al-Haram.
قال ابن حجر في فتح الباري “ج 2 ص 107” عن هذه المسألة فيه مذاهب، فعن الحنفية الجواز مطلقًا، وعن المالكية والمزنى المنع مطلقًا، وعن الشافعية التفصيل بين المسجد الحرام وغيره، للآية، وقيل: يُؤْذَنُ للكتابي خاصة، وحديث الباب يَرُدُّ عليه، فإن ثمامة ليس من أهل الكتاب أهـ.
Uraian tentang pandangan para ahli fiqh di atas berikut argumentasi mereka cukup panjang. Pertanyaan kita adalah mengapa tidak boleh?.Apa yang salah dari mereka sehingga dilarang masuk dan shalat di masjid?. Yang dibutuhkan oleh pertanyaan ini bukan soal “sanad” (transmisi) hadits, tetapi logikanya, rasioningnya, rasio legisnya?. Jika larangan itu terjadi dalam situasi permusuhan, konflik atau perang, maka bisa dipahami, masuk akal. Bagaimana jika dalam situasi damai?.
Atau mengapa dibolehkan?.