Bulan Ramadan menjadi sangat istimewa terutama karena pada bulan ini, kitab suci Quran turun, nuzuulu al-Quran al-kariim. Itulah antara lain sebabnya –menurut beberapa hadis sahih– setiap malam bulan Ramadan, malaikat Jibril turun menemui Rasulullah SAW untuk ‘bertadarus’ bersama.
Quran boleh jadi merupakan satu-satunya kitab suci Allah yang paling banyak dihafal dan dibaca. Quran dibaca tanpa mengerti artinya pun mendatangkan pahala. Mereka yang membacanya dengan lancar dijanjikan akan bersama-sama para rasul yang mulia dan mereka yang membacanya gratul-gratul, tidak lancar akan diganjar double. Demikian menurut hadis shahih riwayat imam Muslim dari sayyidah A’isyah r.a.
Meskipun kita, kaum muslimin, tidak menangi, tidak mengalami hidup bersama, Kanjeng Nabi Muhammad SAW , sebenarnya kita pun tidak kesulitan mengikuti jejak dan meneladaninya. Karena Quran yang menjadi pedoman, secara otentik masih ada di tengah-tengah kita. Apalagi sejarah tentang pribadi Rasulullah SAW dengan mudah kita dapatkan dan baca.
Tapi mengapa kita –termasuk banyak tokoh yang dianggap pemimpin—kaum muslimin seperti tidak menggunakan Quran sebagai pedoman dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan hidup? Rasulullah SAW misalnya, sesuai firman Allah SWT dalam Quran, tidak pernah tertipu oleh dunia dan kemilau materi; tapi kita –termasuk yang dijuluki pemimpin agama—masih banyak yang tergiur dunia dan menganggap materi sebagai yang paling pokok.
Raslullah SAW, sesuai firman Allah dalam Quran, sangat santun dan lembut; apabila berbicara tidak kasar; tapi ada saja di antara kita kiai atau ustadz –bahkan hafal Quran—yang dengan fasih mencaci-maki orang. Rasulullah SAW, sesuai ajaran Quran, bila beramar-makruf-nahi-munkar, dilandasi kasih-sayang, dengan cara makruf dan tidak munkar; bicaranya tidak pernah menyinggung pribadi; tapi sekarang, ada saja –dan mungkin banyak—mereka yang dijuluki da’I, sarjana agama, bila beramar-makruf-nahi-munkar dilandasi kebencian, tidak dengan cara makruf dan belum merasa puas bila tidak melukai pribadi-pribadi. Mengapa?
Mungkin hal ini semua bisa kita kembalikan kepada sikap kita terhadap Quran selama ini. Jangan-jangan, selama ini, Quran hanya lebih kita anggap sebagai jimat; atau untuk nyuwuk; atau hanya kita baca setiap Ramadan secara ngebut seperti mengejar setoran (Toh sudah dapat pahala). Atau lebih jauh, Quran kita telaah untuk mencari dalil pembenar bagi sikap atau kepentingan duniawi kita.
Itulah sebabnya beberapa kali saya mengusulkan agar MUI –dari pada hanya mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial—melakukan survey yang serius tentang perlakuan kaum muslimin terhadap kitab sucinya, Quran ini. Kaum muslimin yang mayoritas di negeri ini, berapa persenkah yang membaca Quran? Dari sekian persen yang membaca Quran itu, berapa persen yang mengerti maknanya? Dari sekian persen yang mengerti maknanya itu, berapa persen yang mengamalkannya? Kalau MUI atau organisasi-organisasi Islam yang lain tidak mampu, bisa minta tolong kepada salah satu lembaga-lembaga survey yang biasa mensurvey hasil pemilu atau pilkada itu.
Jika hal itu dilakukan, insyaAllah hasilnya akan bisa menjawab banyak pertanyaan; misalnya, kenapa banyak kaum muslimin yang kelakuannya bertentangan dengan Quran dan tidak sesuai dengan teladan Rasul mereka seperti beberapa yang saya contohkan di atas. Dan tidak mustahil hasil survey itu bisa menjadi bahan utama untuk memecahkan banyak permasalah bangsa; mengingat bahwa kaum muslimin, pemilik Quran, adalah mayoritas penduduk negeri ini.
Sumber; Gus Mus Online