Senin, 23 Desember 2024

Nyai Najhah Barnamij; Keberanian dan Kehati-hatian dalam Kontekstualisasi Kitab Kuning

Baca Juga

Penulis: Hilyatul Auliya (Alumni DKUP)

Mba Najhah, begitu panggilan akrab saya kepada beliau, Nyai muda dari Pondok Pesantren Khas Kempek, salah satu pesantren besar di wilayah Cirebon. Mba Najhah merupakan salah satu peserta DKUP Muda yang diadakan oleh Fahmina Institue pada tahun 2021 lalu. Pasca mengikuti DKUP, beliau menemukan perubahan yang penting untuk diceritakan kepada banyak orang.

Pertama, terbentuknya keberanian dalam berpikir kritis tentang persoalan perempuan yang terdapat dalam kitab kuning. Selma ini, menggat atau mengkritisi isi kitab kuning dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Kitab kuning yang telah ditulis oleh para salaf ash-shalih dianggap memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak dapat diapa-apakan lagi. Selain itu, masyarakat berpandangan sealim apapun ulama hari ini tidak akan bisa menyaingi kealiman salaf ash-shalih para penulis kitab kuning terdahulu. Padalah, mengkritisi kitab kuning bukan berati menyalahkan atau menolak  isinya, juga bukan berarti merendahlan kealiman para sa;af ash-shalih. Mengkritik kitab kuning bertujuan agar apa yang dikatakan oleh kitab kuning relevan dengan waktu dan tempat saat ini.

Setiap teks pasti tak akan lepas dari konteks. Artinya ada latar belakang waktu dan keadaan yang mempengaruhi tulisan seseorang. Begitu juga para salaf ash-shalih, mereka menulis kitab kuning di waktu dan tempat pada saat mereka hidup  berabad-abad yang lalu. Maka, apakah teks yang ditulis berabad-abad yang lalu tersebut masih relevan untuk diterapkan pada hari ini di tempat ini dengan segala perbeadaan sosial, geografis dan aspek-aspek yang lain? Jika seseorang kemudian memaksakan hal tersebut artinya ia tidak bijaksana dan tidak adil karena memaksakan sesuatu bukan pada tempatnya. Kalau pun iya dipaksa untuk diterapkan belum tentu akan menciptakan kemaslahatan. Maka, inilah tujuan dari proses kontekstualisasi kitab kuning, yaitu untuk mencari kemaslahatan dengan tetap mempertimbangkan teks kitab kuning yang selama ini menjadi pegangan masyarakat khususnya masyarakat pesantren.

Bagian yang perlu untuk dikritisi, dielaborasi maupun dikontekstualisasi dari kitab kuning adalah teks-teks yang jika diterapkan di tengah masyarakat dirasa kurang maslahat. Misalnya dalam kitab Safinatunnajah terdapat bab yang menerangkan tentang kewajiban perempuan untuk menutup seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram. Ini tentu sesuai ketika di terapkan di negara timur tengah yang sejak dulu memang para perempuannya terbiasa mengenakan pakaian yang menutupi sekujur tubuhnya untuk menyesuaikan mereka dengan keadaan geografis disana.

Namun jika hal tersebut juga diwajibkan kepada para perempuan di negara kita misalnya, yang perempuannya banyak beraktiftas di luar rumah, di pasar, di sawah, di ladang dan lain sebagainya, dengan iklim yang berbeda jauh dengan negara-negara di timur tengah, sehingga sebagian perempuan akan merasa tidak nyaman jika mengenakan pakaian seperti itu, apakah penerapan seperti itu akan menimbulkan kemaslahatan? Begitu kiranya salah satu cara untuk menentukan apakan teks kitab kuning masih relevan atau tidak untuk diterapkan. Selain itu masih banyak contoh pembahasan dalam kitan kuning yang perlu melewati proses kontekstualisasi dan cara berpikir kristis ketika membacanya. Kasus-kasus tersebut di antaranya juga yang berkaitan dengan isu-isu perempuan.

Kitab kuning yang selama ini dikaji oleh masyarakat pesantren kebanyakan ditulis oleh ulama laki-laki dengan menggunakan perspektif laki-laki. Sedikit sekali ulama berjenis kelamin perempuan yang menulis kitab kuning kemudian dibaca dan dipelajari oleh masyarakat pesantren. Selain itu, sepertinya tidak banyak juga ulama laki-laki yang menulis kitab kuning dengan mempertimbagkan sudut pandang perempuan dan melibatkan pandangan perempuan secara langsung.

Akibatnya, sudut pandang perempuan dalam isu-isu sosial yang dibahas oleh kitab kuning tidak termanifestasikan, padahal perempuan sebagai bagian dari kehidupan amat sangat penting untuk didengarkan dan diperhitungkan demi kehidupan yang lebih maslahat. Karena itulah ulama perempuan hari ini harus memiliki keberanian untuk membaca kembali kitab kuning dengan pandangan yang lebih kristis, mengelaborasi dan mengkontekstualisasi isinya agar lebih relevan dengan realitas sosial yang ada saat ini.

Ulama perempuan juga memiliki kapasitas sebagaimana ulama laki-laki. Dengan kapasitas ini, ulama perempuan juga layak untuk mengkritisi literatur keislaman yang masih bias gender demi terciptanya kemaslahatan bagi umat manusia di muka bumi ini.

Bahkan, hari ini bahkan sedikit demi sedikit ulama perempuan juga telah memiliki beberapa metode untuk menggali keadilan dan kemaslahatan dalam teks-teks keagaman, salah satunya adalah metode Mubadalah yang dicetuskan oleh KH. Faqihuddin Abdul Qodir. Mubadalah dapat dijadikan metode untuk menggali keadilan dari sebuah teks dengan cara menghadirkan laki-laki dan perempuan menjadi subjek dari teks tersebut, sehingga teks tersebut manfaatnya akan dirasakan oleh dua belah pihak. Menurut Mba Najhah, Pak Yai Faqih dengan Mubadalah-nya telah membuka akses untuk para ulama perempuan agar lebih mudah dalam melakukan kontekstualisasi kitab kuning.

Istilah Mubadalah yang artinya adalah kesalingan sebetulnya memiliki makna dan tujuan yang mirip dengan istilah keadilan gender. Namun karena Mubadalah lahir dari rahim pesantren, para ulama perempuan pesantren merasa lebih akrab dengan istilah ini dibanding dengan istilah keadilan gender yang muncul dari barat meskipun tujuannya sama, yakni menghendaki tegaknya keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Artinya, menumbuhkan perspektif ini di kalangan ulama pesantren juga membutuhkan proses.

Pesantren yang merupakan lembaga dengan budayanya yang amat sangat mengakar kuat sejak dulu dan juga menjadi tempat berakar dan bertumbuhnya budaya patriarkhi, tidak serta merta dapat menerima istilah-istilah baru apalagi yang bukan berasal dari Islam. Namun Mubadalah sedikit demi sedikit dapat menembusnya. Hari ini mulai bermunculan ulama perempuan pesantren yang terinspirasi oleh Mubadalah sehingga ketika mengkaji ayat Al-Qur’an, hadis ataupun kitab kuning, perspektif ini dijadikan ruh yang mendasarinya.

Mba Najhah menambahkan, kitab As-Sittin Al-‘Adliyah, salah satu kitab kuning yang ditulis oleh Pak Yai Faqih, yang berisi 60 hadis yang mengangkat hak-hak dan derajat perempuan, yang juga tentu dilandasi oleh ruh Mubadalah berhasil membuktikan bahwa hadis Nabi saw sesungguhnya ramah sekali terhadap perempuan. Membaca dan mempelajarinya dapat mengingatkan kita bahwa sesungguhnya diutusnya Rasulullah saw betul-betul membawa misi rahmat lil ‘alamin, tidak hanya untuk laki-laki namun juga untuk perempuan.

Kedua, kehati-hatian dalam mengkaji ayat Al-Qur’an, hadis atau teks keagamaan lainnya. Upaya ikhtiyath atau kehati-hatian ini dapat dilakukan dengan cara mempelajari asbab an-nuzul atau asbab al-wurud, kitab tafsir salaf ash-shalih dan juga kitab tafsir kontemporer. Selama ini kebanyakan orang mengabaikan tiga hal tersebut ketika mengkaji ayat Al-Qur’an dan Hadis. Alhasil apa yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadis hanya dipelajari secara tekstual melalui terjemah-terjemah yang beredar. Akibatnya, banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadis yang maksud dan tujuannya gagal dipahami.

Misalnya ayat tentang poligami dalam QS. An-Nisa yang sebetulnya menganjurkan untuk monogami dipahami sebagai ayat yang memperbolehkan atau bahkan menjadikan poligami itu sunah. Atau Hadis Nabi yang memerintahkan untuk memerangi orang kafir dimana pun mereka berada dipahami sebagai perintah untuk memerangi semua orang non muslim yang ada di muka bumi ini, padahal Hadis tersebut diucapkan oleh Rasulullah ketika sedang berperang melawan orang kafir. Kalau perangnya sudah, maka perintah itu gurur. Sikap ikhtiyath ini agaknya perlu dimiliki oleh siapapun yang membaca dan mempelajari Al-Qur’an, hadis maupun teks keagamaan lainnya.

Ketiga, pegetahuan dan  pengalaman yang Mba Najhah dapatkan dari DKUP tidak hanya berhenti di dirinya saja, namun juga ia bagikan kepada orang-orang di sekitarnya teruatama kepada para santri putrinya, harapannya tentu saja agar para santri putrinya pun turut memiliki daya untuk berpikir kritis dalam membaca teks-teks keagamaan terutama yang berkaitan dengan perempuan. Mba Najhah selalu berupaya untuk memberdayakan para santri putri di lingkup pesantrennya dengan memberikan akses dan kesempatan kepada mereka untuk berekspresi dan berkarya sesuai dengan kapasitas mereka. Mba Najhah bahkan berhasil membawa para santri putrinya untuk menampilkan sebuah pertunjukan di acara akhir tahun di lingkungan pesanternnya. Padahal, sebelum-sebelumnya menampilkan santri putri di atas panggung di lingkungan pesantren merupakan hal yang tabu.

Sebelumnya, Mba Najhah juga aktif di beberapa organisasi, salah satunya PMII. Pengalaman organisasi tersebut membuatnya sering diundang untuk mengisi forum mahasiswa yang ada di lingkungan pesantrennya. Kegitan-kegiatan tersebut membuka akses  bagi Mba Najhah untuk tidak hanya membagi ilmunya kepada pelajar perempuan saja, namun juga kepada para pelajar atau mahasiswa laki-laki. Kepada mereka, Mba Najhah turut menyampaikan pesan agar mereka saling menghormati sesama, laki-laki menghormati perempuan, perempuan juga menghormati laki-laki juga agar mereka memberikan akses dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, agar keadilan dan kemaslahatn dapat terwujudkan di lingkungan kehidupan mereka.

Menurut Mba Najhah, setiap pencapaian yang ia dapatkan tidak lepas dari dukungan sanga suami. Beruntungnya, Mba Najhah memiliki suami yang selalu mendukung langkah-langkahnya meskipun ia tinggal di lingkungan pesantren yang masih kental dengan budaya patriarkhi. Menurutnya, dukungan dari laki-laki yang ada di sekitar amat sangat penting.

“Kalau didukung oleh sesama perempuan sih sudah biasa. Tapi dukungan dari laki-laki jauh lebih penting.” begitu kurang lebih menurut Mba Najhah. Tentu saja, jika para laki-laki yang ada di sekitar kita sudah memberikan dukungan, membukaan akses dan memberikan kesempatan yang sama seperti yang mereka dapatkan, artinya budaya patriakhi di sekitar kita sedikit demi sedikit mulai terkikis. []

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terbaru

Majjhima Patipada: Moderasi Beragama dalam Ajaran Budha

Oleh: Winarno  Indonesia merupakan Negara dengan berlatar suku, budaya, agama dan keyakinan yang beragam. Perbedaan tak bisa dielakan oleh kita,...

Populer

Artikel Lainnya