Oleh: Mamang M Haerudin
Barusan saya makan nasi kotak. Lumayan menguras energi setelah menyampaikan khutbah Jum’at berjudul “Menyambut Idul Adha yang Berkah di Tengah Wabah” berikut menjadi imam shalat Jum’at. Nasi kotak ini salah satu program sedekah di DKM Nuurussa’adah, Desa Kubangdeleg. Alhamdulillah setiap Jum’at selalu saja banyak yang ikutan sedekah nasi kotak, selain juga sedekah snack, sedekah kopi, sedekah air mineral, sedekah beras/sembako dan masih banyak lagi.
Ya setelah saya selesai makan itu, mata tertuju ke salah satu grup WA yang mengabarkan bahwa salah seorang Kiai di Pesantren Babakan, Ciwaringin wafat. Hari Jum’at, hari yang penuh berkah, 9 Juli 2021, pukul 11.40 WIB di Rumah Sakit Permata karena sakit. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dr. KH. Affandi Mochtar lah yang wafat hari ini. Saya sebagai orang yang mengaku menjadi santrinya, kenal dengan beliau, merasa kehilangan sosoknya yang alim dan kalem. Kiai Affandi ini orangnya simpel, taktis dan memang cerdas luar biasa.
Dulu sekali, ketika saya masih belajar di Pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan, Ciwaringin, saya termasuk santri yang beruntung karena menyaksikan kehidupan beliau dari dekat. Beliau salah satu dari sedikit saja Kiai yang bisa membawa Pesantren bertengger di dunia luar. Beliau dengan membawa kitab sederhana “Ta’limul Muta’allim” menjadi sebuah kajian akademik bermutu tinggi yang telah berhasil dipertanggungjawabkan di hadapan para penguji McGill University, Montreal, Canada.
Kiai Affandi yang juga terkenal pernah menjadi pejabat tinggi Kementrian Agama ini manakala pulang ke rumahnya di Pesantren Asrarur Rafiah, pasti akan melewati samping komplek Pesantren saya. Pesantren Raudlatut Tholibin dan Pesantren Asrarur Rafiah itu berdekatan sekali. Kiai Affandi sendiri menikah dengan salah satu putri Al-Maghfurlah KH. Muhtadi. Kiai Affandi juga sering sekali berziarah ke makam para Kiai dekat Masjid Raudlatut Tholibin. Al-Maghfurlah juga orang yang dermawan. Mau ke mana pergi di sekitar Pesantren Babakan, Ciwaringin itu pasti naik becak yang mangkal di sekitaran Pesantren, tiap kali bayar ongkos itu pakai amplop. Saya menyaksikannya berkali-kali.
Kini Kiai yang alim dan kalem itu telah pulang. Saya berdoa semoga Al-Maghfurlah mendapat tempat yang mulia di sisi Allah. Sosok yang juga telah berhasil membuat Pesantren Ikhwanul Muslimin (Pesantren yang didirikan Ayahnya Al-Maghfurlah KH. Mukhtar) menjadi modern dan unggul, bersama lembaganya Madrasah Tunas Cendekia. Saya juga beruntung masih “mendaki” Al-Maghfurlah KH. Mukhtar sebagai seorang Kiai yang juga alim dan kalem. Kiai yang setiap harinya juga istikamah shalat berjemaah di Masjid Pesantren saya. Di usia senjanya, jelang kewafatannya saja, Al-Maghfurlah KH. Mukhtar tetap shalat berjemaah.
Kesan pertama kali ketika saya melihat Kiai Affandi itu kelihatannya orang yang mungkin sulit diajak sharing. Saya memaklumi karena beliau memang orang sibuk. Namun ternyata, beliau yang juga terus memotivasi saya untuk terus menulis buku. Hampir setiap bertemu dengan beliau, pertama kali yang ditanyakan adalah buku yang saya tulis. Dengan nada bicara yang kalem dan berbahasa Sunda itulah Kiai Affandi mau ngobrol dan memotivasi saya. Saya saja sampai kaget, ketika Kiai Affandi selalu berbicara menggunakan Bahasa Sunda.
Kiai Affandi juga yang membuat saya semakin yakin jika segala impian bisa diraih. Berkat tangan dinginnya, Kiai Affandi adalah sosok yang tak terprediksi. Beliau misalnya tiba-tiba datang dengan banyak ide yang brilian. Membuat acara ini dan itu. Bahkan dalam pandangan dekat saya, hampir semua Kiai di Pesantren Babakan, Ciwaringin dan di mana-mana itu menaruh hormat yang luar biasa. Hampir tidak ada kebijakan atau apa pun itu di mana Kiai Affandi sudah turun tangan, yang kemudian tidak beres.
Itu saja sekelumit pengalaman saya dengan Dr. KH. Affandi Mochtar yang saya kenal. Sekali lagi saya merasa kehilangan. Semoga saya dan banyak santri yang lain bisa meneladani jejak kealiman dan kalemnya Kiai Affandi. Selamat jalan ya Kiai. Al-Faatihah. []