Oleh: Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir
Denger namanya, tapi tidak pernah bertemu sebelumnya. Tahun 1999, saat masih di Malaysia, aku ditemui Kang Fandi dua kali. Sendirian, lalu bersama sang istri Yu Um. Bersahaja, luwes, lebih banyak bertanya dan mendengar daripada bercerita tentang dirinya. Aku curhat padanya, kalau aku sudah bosan hidup di Malaysia, sekalipun sudah ada pekerjaan dan ada beasiswa. Aku merasa: Malaysia bukan tempat yang tepat bagiku. Sekalipun ada komunitas NU yang baru tumbuh, penuh semangat, dan solid. Pengen pulang dan mengabdi, mencari pengalaman hidup bersama masyarakat di Indonesia terlebih dahulu, sebelum nanti melanjutkan lagi ke jenjang S-3 di tempat lain. Kalau bisa bukan Malayisa.
“Kalau kamu pulang, kabari ya Qih?”, katanya. “Inggih”, aku jawab. Akhir tahun 1999 menjelang Muktamar NU di Kediri, aku pulang dan berkabar. “Priben Qih?”, Kang Fandi mengawali pertemuanku di Jakarta di sebuah warung di Ciputat. Lalu bergulirlan pembicaraan. Ia membawaku ke sebuah Boarding School yang dikelolanya di Parung, juga ke komunitas anak-anak muda di Ciputat yang sebaya-ku. Di situ ada Zeky Marzuki Wahid, Abdul Moqsith Ghazali, Wendy Suwendy, Hariri, dan yang lain. Mereka sering mengadakan diskusi tentang buku-buku Hasan Hanafi, Aljabiri, Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, dan yang lain. Sementara bacaanku adalah Wahbah Zuhaily, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi, dan Abu Syuqqah. Aku sebenarnya minder, tetapi Kang Fandi meyakinkanku, dan temen-teman itu menerima dengan suportif, layaknya temen lama saja. Dari situlah jaringanku mulai berjalan, yang awalnya aku tidak kenal siapapun di Jakarta.
“Priben Qih?, mau tinggal di Jakarta?”, sapaan berikutnya di pertemuan yang lain. “Nggak kang, aku ingin di tempat yang jauh dari Kota yang seperti Jakarta ini. Mungkin untuk sementara, kalau aku pulang sama keluarga tahun depan, akan memilih tinggal di Cirebon dulu”, jawabku. Dari situlah, lalu ia membuka berbagai opsi-opsi yang mungkin menurutnya aku beminat. Aku memilih yang agak bebas, tidak terkungkung oleh suatu sistem tertentu yang bisa membuatku tidak nyaman. Sampai pada pembicaraan tentang inisiatif anak-anak muda Cirebon, yang sosial dan intelektual, yang tidak terkelola dan terorganisir dengan baik. “Aku tidak punya jangkar di Cirebon kang, dan aku tidak pernah berorganisasi di Indonesia, layaknya temen-temen itu”, jawabku. “Kamu mulai saja senyaman kamu, dan dengan orang-orang yang kamu percaya, mungkin dengan mahasiswa”, katanya.
Setelah pertemuan beberapa kali, aku, kyaiku Husein Muhammad, Kang Fandi, dan Zeky, akhirnya bulat mendirikan “Fahmindo”, yang kelak berubah menjadi “Fahmina”, dan aku yang mimpin, tanpa dana, tanpa fasilitas, dan tanpa staf satupun. Tetapi keberadaan nama seperti Buya Husein, Kang Fandi, dan Zeky, sudah cukup bagiku untuk memobilisasi dukungan kultural, dan memulai dari Cirebon, semuanya dari nol, bersama mahasiswaku sendiri di STAIN Cirebon, yang masih semester satu dan dua. Untuk ini tahun 2000 aku mulai banyak menetap di Kota Cirebon, untuk membersamai komuntias “Fahmina”, mengenal Johandi, santri setia Kang Fandi, yang sudah dulu tinggal di Kota Cirebon, yang selalu memback up kebutuhan-kebutuhan kertas, foto copi, ngeprint, dll, bagi komunitas yang aku temani, dan tempat curhatku tentang Fahmina ini. Aku memulai dari Sekretariat di Jalan Sunan Drajat 15, Gang Saleh, dan terakhir di Jalan Suratno, sebelum akhirnya pindah ke tanah sendiri dengan luas satu hektar di kawasan Majasem Cirebon.
Kang Fandi tinggal di Jakarta, dan aku di Cirebon. Setiap ada kesempatan, dia yang akan berkabar dan lalu berjanji ketemuan. “Priben Qih?”, itulah sapaan khas yang pertama dilontarkan saat ketemuan. Lalu meluncurlah berbagai pertanyaan terkait aktivitasku, terutama tentang Fahmina. Mendengar dengan seksama, dan lalu bertanya: “Lalu apa yang akan kamu lakukan?. Dari sinilah, Kang Fandi biasanya akan ikut membuka wawasan dengan berbagai opsi-opsi lain yang mungkin bisa aku ambil. Kang Fandi tidak pernah mengajak diskusi tentang diskursus, baik keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, atau gender. Ketika aku memulai dsikusi ini, dia hanya mendengar dan sepenuhnya mendukung. “Itu kamu diskusikan ama Kang Husein saja, dia lebih ahli, atau Zeky”, katanya. Praktis, semua pembicaraan denganya hanya terkait strategi, jaringan, dan opsi-opsi pengembangan Fahmina, terutama peta jalan program, strategi, wabil khusus kultural dan administrasi.
Kang Fandi tidak pernah memaksakan pendapatnya. Dia hanya membuka wawasan dengan berbagai opsi, lalu mempertajam kembali dengan berbagai kemungkinan yang tersedia. Sisanya, dia menyerahkan kepadaku untuk membuat keputusan. Apapun yang sudah diputuskan, baik di tingkat pendiri: aku, Buya Husein dan Zeky, atau di tingkat menejemen bersama temen-temen pengelola Fahmina, Kang Fandi pasti mendukung. Ia hanya akan membuka berbagai kemungkinan lain: dan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tidak pernah mundur, mengeluh, atau menyalahkan yang sudah terjadi. “Sekarang harus ngapain, ayo lakukan yang paling mungkin bisa dilakukan dengan modal sdm dan sosial yang tersedia”, begitu sarannya.
Aku sering curhat tentang aktivitasku dan yang lain, tentu karena ditanya Kang Fandi. Tetapi, Kang Fandi tidak pernah curhat, atau ngobrolin masalah-masalah yang dihadapi, baik tentang kondisi dirinya, pekerjaan, kantor, organisasi, pesantren, apalagi keluarga. Ketika bertemu, selalu dengan kondisi tenang dan penuh senyum simpul, terkadang tertawa ringan jika ada yang dipandangnya lucu. Hidup ini, sepertinya, dibawa mudah dan santai saja. Termasuk ketika ada masalah yang sangat membelit dirinya, dia lebih senang ingin mendengar cerita-cerita kesuksesan Fahmina, lalu ikut berpikir tentang tantangan-tantangannya ke depan. Dibanding, bercerita tentang hal-hal yang sedang membelitnya. “Priben Qih?”, selalu itu yang dia buka dalam setiap pertemuan, lalu mengalir berbagai pertanyaan lain, yang harus aku ceritakan kepadanya. Dia mendengar dengan seksama, berjam-jam, lalu membuka berbagai opsi, jika itu diperlukan. Jika tidak, ya pertemuan disudahi dengan salam-salam saja. Dia sudah bertanya: aku sudah menjawabnya.
Fahmina mendirikan ISIF, memiliki SMK Pelayaran, lalu membawahi SD Holistik Awliya Fahmina, dan melakukan kerja-kerja yang bersifat kolosal, seperti pertama kali: Gerakan Bedug Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2001 yang mengundang Ibu Negara saat itu, dan terakhir Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Babakan tahun 2017, adalah juga hasil obrolan intensif denganya, dan dukungan moral penuh darinya. Seringkali, obrolan ini hanya berdua, berjam-jam, sambil makan, atau sekedar duduk-duduk di warung, atau kafe tertentu. Di sela-sela obrolan, seringkali Kang Fandi: menawarkanku untuk ikut bersamanya di Kementrian Agama Pusat. Mungkin dia membuka opsi-opsi lain untuku, atau menguji konsistensiku di ranah ke-LSM-an ini. Entahlah. Berkali-kali menawarkan, bahkan ketika sudah tidak lagi berada di Kementrian, dan sekarang aku sudah tidak aktif sebagai eksekutif di Fahmina. Dan berkali-kali itu, jawabanku selalu: “Itu bukan duniaku kang, aku lebih nyaman dengan posisiku sekarang, dan bisa berbuat lebih banyak, dengan modal yang aku miliki, biarlah aku bekerja dan berkontribusi dari sini saja”.
Oh ya, ada mahakarya yang membuatku menguasai berbagai buku dan kitab, hasil dari opsi yang Kang Fandi tawarkan. Dia bertanya tentang buku apa yang aku miliki di rumah, lalu aku ceritakan secara umum. Saat itu tahun 2002 kalau tidak salah. Dia minta aku menuliskan anotasi semua buku yang aku miliki, atau jika tidak semuanya, bisa semua buku menurutku penting diketahui publik. “Wah, berat kang, bukuku banyak sekali”, kataku. “Kalau kamu tulis, sekitar 150-300 kata, untuk setiap buku atau kitab di rumahmu, aku akan beli tulisan itu untuk kepentingan proyekku”, katanya. Entah proyek apa, aku tentu saja semangat sekali menuliskan anotasi buku dan kitab-kitabku sendiri. Bukan hanya uang yang aku dapat, walau mungkin jumlahnya tidak seberapa, tetapi pengetahuanku tentang buku-buku itu menjadi modal bagiku ketika aku dituntut untuk menulis oleh lembaga tertentu, atau berbicara menjadi narasumber di acara tertentu. Sepertinya, hampir semua persimpangan hidupku, terkait kerja dan aktivitas di gerakan, selalu ditanyakan: dan aku ceritaka ke Kang Fandi. Dan selalu saja, Kang Fandi akan membukakan berbagai opsi, baik yang terkait dengan diriku, maupun terkait dengan Fahmina, atau gerakan lain, sekarang, beberapa bulan ini seringkali tentang KUPI.
Hari ini, jam 11.40 tadi siang, Kang Fandi yang baik itu, sederhana, selalu menyapa: “priben Qih”, bertanya dan mendengar, membuka opsi-opsi atas berbagai tantangan yang aku hadapi, selalu mendukung, dengan penuh kekagetan lagi dan lagi, telah wafat sebagai jiwa yang muthmainnah menuju ke haribaan Allah Swt. Inna lillah wa inna ilahi rojiun. Dengan segala kebaikan yang aku terima darinya, insya Allah husnul khotimah. Sebagaimana selalu senyum di dunia, aku berdoa semoga akan disambut-Nya di surga dengan penuh senyuman. Allah yarhamuh, wa yaghfiruh, wa yudkhilhu al-jannah. Amiin. []